tirto.id - Pemerintah mengatakan tekanan WTO agar Indonesia membuka pasar impor produk unggasnya terus meningkat.
Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen PKH, Fajar Sumping Tjatur Rasa menyatakan bahwa negara-negara dunia terus memberi tekanan lantaran ingin menjual produk daging ayam dan telurnya ke Indonesia.
Dengan jumlah penduduk 264 juta orang, kata Fajar negara lain melihat Indonesia sebagai pasar potensial. Sebab konsumsi daging ayamnya diyakini sangat tinggi.
Datangnya tekanan impor ini menurut Fajar sudah terjadi sejak lama. Namun, ia meyakini desakan WTO akhir-akhir ini semakin kuat.
"Sekarang tekanan dari WTO meningkat terus. Banyak yang ingin berjualan. Potensi pasar di Indonesia kan tinggi," ucap Fajar kepada reporter Tirto saat usai Rembuk Petani-Peternak Indonesia 2019 di Gedung Perwayangan TMII pada Kamis (21/3).
Saat ini, impor yang sudah mulai dilakukan Indonesia salah satunya adalah daging merah yang berasal dari sapi dan kerbau.
Namun, untuk daging putih (ayam) dan telur, saat ini Indonesia mencatatkan jumlah yang surplus dari waktu ke waktu.
Menghadapi tekanan itu, Fajar mengatakan pemerintah telah berupaya menahan perkembangan fenomena itu.
Hal itu kata Fajar dilakukan untuk melindungi peternak lokal dari gempuran daging dan telur impor.
"Pemerintah sudah berupaya dengan sekuat mungkin melindungi peternak di Indonesia dari tekanan negara pengekspor yang ingin masuk ke Indonesia dengan persyaratan yang dibuka WTO," ucap Fajar.
Pada 2018, Brazil tercatat sebagai negara yang berupaya menerobos larangan ekspor daging ayam ke Indonesia. Namun, belakangan ditolak lantaran metode penyembelihan daging Brazil tidak memenuhi standar halal.
Brazil akhirnya mengajukan gugatan ke Badan Perdagangan Dunia karena keberatan terhadap kebijakan Indonesia yang melarang impor daging dari Brazil sejak 2009.
Namun, Indonesia keluar sebagai pemenang usai Brazil gagal membuktikan bahwa label halal bertentangan dengan Artikel III:4 GATT 1994.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Nur Hidayah Perwitasari