Menuju konten utama

Absennya Regulasi Pemerintah Sebabkan Pasar Ayam Tidak Terkendali

Absennya regulasi pemerintah dalam mengatur segmentasi pasar daging ayam dinilai Lokataru menimbulkan masalah dan menyebabkan membuat peternak mandiri kehilangan porsi pasar.

Absennya Regulasi Pemerintah Sebabkan Pasar Ayam Tidak Terkendali
Peternak berbagai daerah bersama Pinsar Indonesia, Gopan, PPUN dan Lokataru menggelar aksi di depan Istana Negara pada Selasa (5/3/2019). Dalam aksinya peternak memberikan ayam ternaknya secara percuma sebagai bentuk protes kepada pemerintah. tirto.id/Vincent fabian thomas

tirto.id - Pendiri dan Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar menilai, absennya regulasi pemerintah dalam mengatur segmentasi pasar daging ayam menimbulkan masalah.

Pasalnya, masuknya perusahaan ayam terintegrasi (menguasai hulu-hilir) ke pasar tradisional membuat peternak mandiri kehilangan porsi pasarnya.

“Ada diskriminasi ke peternak. Tidak ada regulasi yang membatasi mereka. Padahal mereka menguasai sektor produksi dan budi daya,” ucap Haris dalam pertemuan antara Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dengan perwakilan peternak mandiri di Gedung ORI pada Jumat (8/3/2019).

Hal ini sejalan dengan temuan Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara (PPUN) yang menyatakan terdapat perpres 22 tahun 1990 yang membatasi segmentasi pasar perusahaan terintegrasi untuk tidak menyentuh pasar tradisional.

Namun, pada tahun 1999, peraturan itu dicabut tanpa penggantinya yang menyebabkan pasar ayam menjadi tidak terkontrol.

Masuknya perusahaan terintegrasi dan peternak mandiri dalam pasar yang sama menyebabkan pasar terintegrasi menguasai pasar hingga menurut PPUN porsinya di angka 80 persen untuk 3 perusahaan terintegrasi.

Kondisi itu, kata Haris, dipengaruhi oleh kemampuan perusahaan terintegrasi yang mampu menekan biaya produksinya serendah mungkin sehingga dapat menjual di bawah harga Kementerian Perdagangan.

Di sisi lain, peternak mandiri yang sektor hulunya masih bergantung pada perusahaan terintegrasi harus selalu sedia membeli alat produksi dengan harga tinggi, sehingga biaya produksinya membengkak.

Namun, di saat yang sama, absennya regulasi yang membatasi pasar memaksa mereka bersaing dengan perusahaan terintegrasi yang mampu menjual lebih murah sehingga peternak mandiri mengalami kerugian. Baik karena porsi pasarnya terenggut maupun tak tertutupnya biaya produksi akibat harga yang tak menguntungkan.

"Harusnya perusahaan besar diarahkan ke pasar macam transmart dan segala macam nya. Jadi pasar tradisional bisa dimiliki peternak mandiri," ucap Haris.

Hal ini semakin buruk saat anggota sekaligus perwakilan PPUN Guntur Rotua mengaku, tidak pernah dilibatkan kembali dalam pembahasan regulasi itu. Kalau pun mereka memberikan masukan, Guntur menuturkan bahwa hal itu jarang didengar.

Di sisi lain, pemerintah menurut Guntur hanya lebih sering mengurusi pasar dalam konteks pengendalian harga oleh satgas pangan. Ia pun mengeluhkan bilamana harga pasaran sedang tinggi, maka peternak sepertinya yang menjadi sasaran operasi satgas pangan. Namun, ketika harga jatuh, satgas pangan apalagi pemerintah katanya tidak pernah hadir.

"Ada momen-momen tertentu saat harga tinggi, kami dikejar suruh turun. Kami minta fair saja seharusnya ada market share ekonomi diatur karena tidak mungkin kami bisa melawan mereka," tukas Guntur.

Baca juga artikel terkait PETERNAK AYAM atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno