tirto.id - Pemerintah dinilai telah melakukan politik "antem kromo" atau politik tidak bermoral terkait keputusan Menteri BUMN Rini Soemarno mencopot Elia Massa Manik sebagai Direktur Utama PT Pertamina (Persero) yang diikuti sejumlah direksi lainnya.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara menilai alasan pencopotan pencopotan Elia Massa Manik dan perombakan sejumlah direksi Pertamina itu terkesan janggal dan tidak objektif.
"Politik mungkin okelah, tapi caranya itu melanggar aturan merusak lingkungan, mengorbankan kepentingan orang banyak di jangka [waktu] panjang, ketahanan energi makin lemah, ya itu namanya politik antem kromo, tidak bermoral. Itu saya bilang politik tidak bermoral," ungkap Marwan kepada Tirto pada Minggu (22/4/2018).
Alasan pemerintah mencopot Elia Massa Manik, pertama, adanya kelangkaan BBM jenis Premium di wilayah pulau Jawa, Madura, dan Bali (Jamali), seperti Tangerang, Jakarta.
Mengacu pada Perpres No.191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, Pertamina hanya diwajibkan menjaga ketersediaan di wilayah di luar dari wilayah-wilayah Jamali. Peraturan itu berlaku dari 31 Desember 2014 dan ditandangani oleh Presiden Joko Widodo.
"Penugasan ini sendiri kalau bicara harga yang ditetapkan pemerintah membuat rugi [Pertamina]. Rugi di tahun 2017 Rp24 triliun. Sampai akhir Maret [diperkirakan] sudah Rp8,7 triliun kerugiannya," ujarnya.
Alasan kedua, terkait pembangunan kilang yang terlambat tidak sesuai Refinery Development Master Plan (RDMP). Marwan menilai hal itu tidak terlepas dari keuangan Pertamina yang sudah tidak sehat karena penugasan Premium.
"Dengan sikap pemerintah yang merugikan Pertamina ini, itu semua rencana pembangunan kilang tertunda. Bisa dibilang kebijakan pembangunan kilang dengan kebijakan penugasan BBM Premium sangat kontradiktif," ucap Marwan.
Indonesia masih mengimpor BBM sekitar 50 persen dari total kebutuhan BBM sebesar 1,6 juta barel per hari. Bila tak ada pembangunan kilang baru dan upgrading untuk meningkatkan kapasitas kilang, ketergantungan impor BBM akan semakin besar dan membahayakan kedaulatan energi nasional.
Ketiga, alasan perombakan direksi Pertamina karena terjadi tumpahan minyak di Teluk Balikpapan. Tumpahnya minyak memang karena patahnya pipa minyak Pertamina, tapi penyebab utama patahnya pipa masih dalam penyelidikan. Hasil investigasi sementara Polda setempat bahwa patanya pipa karena faktor eksternal.
"Sementara ini laporan itu kan karena jangkar kapal batu bara [MV. EVER JUDGER], yang bisa ditelusuri [pemiliknya]. Apa penyebabnya itu kan tinggal mau enggak? Jangan-jangan udah enggak mau pemerintah karena udah enggak penting lagi. Kalau tujuan mau menurunkan apa saja bisa dipakai dan rakyat tidak akan banyak bertanya benar enggak sih," ucapnya.
Alasan pemerintah merombak direksi Pertamina, keempat, karena terkait tindak lanjut pembentukan holding BUMN minyak dan gas (migas). Namun, menurut Marwan, nomenklatur ini masih belum dijalankan dengan benar.
"Ini kan sebetulnya yang masih belum dijalankan adalah koordinasi yang intensif antara Kementerian BUMN dengan manajemen Pertamina, karena dalam aturan anggaran dasarnya kan ada mestinya. Holding baiknya seperti apa. Ada tahapan-tahapan," ujarnya.
Elia Massa Manik menjabat sebagai Dirut Pertamina selama 13 bulan sejak di dapuk sebagai petinggi perusahaan migas plat merah pada 16 Maret 2017. Elia pernah dikenal cukup “dingin” untuk membereskan sejumlah masalah pada korporasi negara yang ditanganinya.
Utang menggunung, rugi membengkak, dan inefisiensi finansial perusahan plat merah merupakan beberapa hal yang pernah ia benahi. Di antaranya, masalah keuangan PT Elnusa dan PT Perkebunan Nusantara III (PT PN III).
Sementara itu, jika alasan pemerintah mencopot Elia Massa Manik karena terkait kinerjanya, Marwan menyanggah hal itu. Menurutnya pencopotan Elia bukan semata terkait kinerjanya, melainkan perbedaan orientasi kerja antara Pertamina dengan pemerintah.
Manajemen Pertamina di bawah kepemimpinan Elia mengarah pada konsep kehati-hatian (prudence) dan berkelanjutan (sustainable). Sementara pemerintah ia pandang terlalu populis. "Itulah perbedaannya," terangnya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Yuliana Ratnasari