tirto.id - Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang terdiri dari berbagai kelompok masyarakat sipil, mendesak pemerintah berlaku demokratis dalam penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Apalagi pemerintah tidak melibatkan elemen masyarakat sipil dalam sosialisasi terkini.
"Aliansi mendesak pemerintah untuk membuka pembahasan RKUHP secara transparan, perluasan pembahas dan para ahli yang kritis untuk perbaikan RKUHP, apa yang dibahas oleh pemerintah selama ini," ujar Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu dalam keterangan tertulis, Selasa (8/6/2021).
ICJR merupakan salah satu lembaga sosial kemsyarakatan (LSM) yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP bersama puluhan LSM lainnya.
Pembahasan RKUHP memanas pada 2019. Gelombang protes dari masyarakat sipil, mahasiswa, buruh, dan pekerja media terjadi di beberapa kota di Indonesia. Melihat situasi panas, Presiden Joko Widodo memutuskan menunda pembahasan RKUHP pada 20 September 2019. Alasan penundaan Jokowi demi "pendalaman lebih lanjut."
Memasuki 2021, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM melakukan sosialisasi RKUHP. Pertama, di Medan pada 23 Februari 2021. Berlanjut ke Semarang pada 4 Maret, Bali 12 Maret, Yogyakarta 18 Maret, Ambon 26 Maret, Makassar 7 April, Padang 12 April, Banjarmasin 20 April, Surabaya 3 Mei, Lombok 27 Mei, dan Manado 3 Juni.
Menurut Aliansi Nasional Reformasi KUHP, tidak ada perubahan isi dalam draf RKUHP yang disosialisasikan kemarin dan masih sama dengan draf yang menjadi pemantik gelombang aksi massa pada 2019. Bahkan pembahasan RKUHP diinformasikan ke publik terakhir pada September 2019.
Dalam proses sosialisasi pemerintah tidak melibatkan kehadiran para terdampak RKUHP seperti kelompok masyarakat adat dan kelompok rentan sebagai pembicara dan elemen masyarakat sipil sebagai pembicara.
"Sosialisasi ini lebih seperti hanya searah, bukan untuk menjaring dan menindaklanjuti masukan masyarakat," tandas Erasmus.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz