tirto.id - Pelaksanaan pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2021 di DKI Jakarta masih bermasalah. Sejumlah orangtua siswa pun mengeluhkan sulitnya untuk mendaftarkan anak mereka pada hari pertama pendaftaran, Senin (7/6/2021). Mereka mengalami kesulitan mengakses laman pendaftaran online yang dibuka di situs resmi https://ppdb.jakarta.go.id/#/.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Ketua Panitia PPDB DKI Jakarta 2021 Slamet mengakui adanya kesulitan dalam akses pendaftaran ini. Ia mengaku sistem pendaftaran yang terkendala akibat akses sistem yang terlalu padat.
“Hari ini memang sudah dimulai pendaftaran, yang barangkali informasi yang terjadi pada hari ini memang sistem terlalu padat, traffic yang masuk dari berbagai penjuru," kata Slamet dalam diskusi daring, Senin, 7 Juni 2021.
Slamet mengklaim sistem pendaftaran PPDB DKI selalu berjalan dan tidak down. Ia pun menegaskan, Pemerintah DKI Jakarta sudah menindaklanjuti permasalahan pendaftaran yang terjadi di hari pertama itu agar tidak terulang di masa depan.
“Jadi sekali lagi sistem hari ini tidak down, tapi mengalami perlambatan. Kami tim sedang berupaya untuk mengatasi perlambatan-perlambatan ini, tentunya secara teknis kami sudah siapkan baik peningkatan bandwidth-nya maupun penambahan-penambahan seperti server dan lain-lain," kata Slamet.
Bukan Kali Pertama
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menganggap pendaftaran secara daring dengan hambatan di DKI ini bukan kali pertama terjadi. Ia memaklumi pendaftaran hari pertama tinggi karena sebagian publik masih ingin anak mereka sekolah dengan status sekolah favorit atau sekolah unggulan.
“Memang di hari pertama itu membludak karena orang takut ketinggalan, takut orang enggak masuk karena masih ada sisa-sisa paradigma memilih sekolah favorit atau sekolah unggulan padahal melalui PPDB kan kasta-kasta sekolah favorit unggulan itu yang ingin dihilangkan," kata Salim kepada reporter Tirto, Senin (7/6/2021).
Akan tetapi, kata Salim, kendala koneksi tidak bisa menjadi alasan. Pemprov DKI Jakarta seharusnya bisa mengantisipasinya dengan menerapkan pendaftaran secara hybrid (daring maupun luring).
Ia beralasan, tidak sedikit warga masih merasa lebih nyaman untuk mendaftar secara langsung karena kebingungan dalam mengikuti tahapan pendaftaran. Hal tersebut diakui Salim karena sejumlah orangtua mengeluhkan kendala dalam pendaftaran PPDB 2021 kepada P2G secara langsung.
“Mereka, ibu-ibu ini juga merasa dia bagusnya kalau langsung ke sekolah, tapi kalau pendaftarannya itu online, dia gak tahu harus buka apa, link apa, gitu-gitu. Jadi saya rasa sosialisasinya yang belum atau yang masih kurang optimal ya dari Pemda DKI Jakarta," kata Salim.
Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji berpendapat bahwa permasalahan daring bukanlah masalah. Ia justru melihat Pemprov DKI Jakarta justru lebih parah daripada PPDB di daerah lain karena DKI punya semua akses.
Dalam pemberitaan media, memang ada daerah yang terkendala dalam penerapan PPDB 2021. Sebagai contoh, PPDB di Surabaya mengalami kendala karena sekolah tidak merata di setiap kecamatan. Selain itu, Kalimantan Utara juga mengalami masalah PPDB akibat koneksi internet. Kemudian, ada juga permasalahan di Bali karena sebaran sekolah yang tidak merata. Namun DKI justru mengalami masalah sulitnya peserta mengakses pendaftaran online ini.
“Kalau Anda pernah tinggal di daerah-daerah sana itu, mungkin sehari bisa 5 kali mati listrik, itu mungkin saya bisa maklumi kalau ada kendala jaringan segala macam, listrik bermasalah apalagi internet," kata Ubaid kepada reporter Tirto.
Ubaid menambahkan, “Yang membuat DKI Jakarta parah adalah DKI Jakarta adalah pusat ibu kota, tempatnya jaringan internet, ya di sini semua. Kalau ada masalah, itu bukan soal problem jaringan internetnya, tapi human error yang mengoperasikan, yang membikin sistem itu yang eror.”
Solusi Jangka Panjang
Dalam kasus ini, JPPI dan P2G mempunyai persamaan pandangan permasalahan PPDB DKI Jakarta, yakni jumlah sekolah yang tidak sesuai dengan jumlah siswa yang ingin mendaftar. Karena itu, perlu solusi jangka panjang agar permasalahan PPDB tidak terulang di masa mendatang.
P2G, kata Salim, melihat permasalahan PPDB tahun ini tidak akan jauh berbeda dengan tahun lalu. Ia beralasan, Pemprov DKI kembali berusaha mengakali keterbatasan jumlah sekolah dengan menggunakan sistem usia tanpa menambahkan kelas atau sekolah baru padahal masalah keterbatasan sekolah sudah terjadi bertahun-tahun sejak PPDB pertama dilaksanakan pada 2017.
“Mestinya saya rasa 4 tahun itu bisa sekolah itu bertambah di DKI ketimbang membuat aturan misalnya terkait dengan usia tahun lalu atau yang sekarang yang ukuran kedekatannya adalah satu kelurahan,” kata Salim.
P2G juga memahami bahwa Permendikbud Nomor 1 tahun 2021 soal PPDB berusaha menyelesaikan masalah PPDB secara nasional dengan melibatkan sekolah swasta. Namun sistem saat ini masih menciptakan masalah karena tidak semua daerah memiliki sekolah di tiap kelurahan, apalagi di Jakarta.
Oleh karena itu, solusi jangka pendek yang bisa diambil pemerintah adalah dengan menambah jumlah kelas demi menampung minat warga menyekolahkan anak. Secara jangka panjang, P2G menyarankan tidak hanya menambah kapasitas kelas, tetapi juga menambah jumlah unit sekolah baru atau mengakuisisi sekolah swasta menjadi sekolah negeri.
Hal senada diungkapkan Ubaid dari JPPI. Ia mengingatkan, sistem PPDB DKI lebih kompleks karena menggunakan sistem prioritas 1 (penerimaan siswa berbasis sama RT), 2 (penerimaan siswa berbasis beda RT, tetapi berdekatan) dan 3 (penerimaan siswa berbasis umur).
Ia menuturkan, sistem ini menyulitkan orangtua untuk mendaftarkan anak sekolah karena masih ada potensi sistem "lotre umur" atau seleksi siswa berbasis umur. Hal tersebut, kata Ubaid, bertentangan dengan semangat PPDB yang memudahkan dan memberikan akses semudah-mudahnya anak untuk sekolah.
Ubaid menilai, DKI Jakarta saat ini masih berpikiran sekolah sebagai lembaga kursus. Ia mengingatkan bahwa pendidikan adalah hak asasi dan hak konstitusi. Ia beranggapan, masalah keterbatasan kelas bisa ditangani karena DKI Jakarta punya anggaran dan sumber daya lebih baik.
Sebagai contoh, Ubaid menyarankan agar Pemprov DKI Jakarta menggunakan sistem kerja sama dengan swasta dengan membayar uang sekolah anak DKI Jakarta di sekolah swasta tanpa harus membangun sekolah baru.
“Kalau memang jumlah sekolah di DKI Jakarta daya tampung kurang, maka bisa jadi tidak perlu membangun sekolah negeri baru, tetapi bisa bekerja sama dengan sekolah swasta," kata Ubaid.
“Jadi pemerintah memastikan seluruh anak DKI Jakarta yang usia sekolah itu masuk sekolah mau ke sekolah negeri boleh, sekolah swasta boleh. Pemerintah DKI Jakarta menjamin itu," tutur Ubaid.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz