Menuju konten utama

Kisah Transgender Bisa Punya E-KTP: Terkendala Stigma & Birokrasi

Transgender bisa membuat KTP dan KK, seperti Emy Mades yang kini memiliki kartu identitas. Transpuan ini sebelumnya mengeluhkan hidup susah tanpa KTP.

Kisah Transgender Bisa Punya E-KTP: Terkendala Stigma & Birokrasi
Ilustrasi transgender. Getty Images/iStockphoto.

tirto.id - Kehidupan terasa mudah saat Emy Mades memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Namun, kemudahan itu berhenti sejak 2012. Emy merasa seperti penumpang kapal gelap, setiap akan bepergian hatinya empot-empotan, takut terjaring operasi yustisi.

Bahkan ia terpaksa menyimpan uang secara konvensional karena tidak bisa membuat rekening bank. Ia tidak bisa mengakses layanan kesehatan dan pelatihan keterampilan. Dan batin Emy teralienasi.

Kondisi tak berubah membaik saat pandemi Covid-19, Emy kehilangan hak atas bantuan sosial dari pemerintah. Ia bahkan nyaris kehilangan layanan tes swab gratis, beruntung ia tertolong oleh sebuah organisasi.

“Rasanya tanpa KTP itu seperti terasing,” ujarnya kepada Tirto, Kamis (3/6/2021).

KTP adalah dokumen kependudukan yang diperlukan untuk mengakses berbagai layanan kesehatan, keuangan, telekomunikasi, hingga pendidikan. Negara wajib mendata penduduk rentan administrasi kependudukan sesuai amanat Permendagri Nomor. 96 Tahun 2019. Dan setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan kartu identitas, tak terkecuali transpuan seperti Emy.

Ia hanya sempat merasakan memiliki KTP saat masih tinggal di kampung, begitu usia beranjak dewasa ia merantau ke DKI Jakarta dan memiliki KTP Sementara dengan masa berlaku hanya tiga bulan.

Ketika memiliki KTP saat itu, Emy masih menutupi ekspresi gendernya sebagai transpuan. Ia tampil selayaknya pria heteroseksual. Semua orang tidak memicingkan mata saat berhadapan dengannya. Kondisi tersebut memudahkan mengurus segala administrasi kependudukan.

Namun, sejak 9 tahun lalu, begitu Emy membuka diri. Ia mulai kesulitan mengurus pembuatan KTP baru. Emy terjegal stigma masyarakat.

Suatu ketika Emy pernah terpaksa mendapat penghakiman dari salah satu pengurus RT tempatnya bermukim. Ia diminta untuk menjalani takdir sebagai seorang pria. Hal itu mengusik kenyamanan Emy.

Lain waktu, kolom jenis kelamin di KTP selalu menjadi bahan pelecehan orang-orang buat Emy. Bahkan ia pernah dijanjikan akan mendapatkan KTP akan tetapi dengan syarat, harus kembali berdandan seperti pria. Sejak saat itu ia enggan mengurus KTP.

“Kenapa sih kami harus dipersulit dengan hal-hal yang tidak sepantasnya mereka omongkan,” keluh transpuan 39 tahun ini.

Pada 2 Juni 2021, Direktorat Jenderal Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Dukcapil Kemendagri) memberikan layanan administrasi kependudukan (Adminduk) berupa KTP elektronik dan Kartu Keluarga bagi kawan-kawan transpuan.

Menurut Team Advokasi Adminduk Transpuan sekaligus Ketua Suara Kita, Hartoyo sebanyak 350 transpuan mengikuti layanan tersebut di Disdukcapil Tangerang Selatan. Mereka berasal dari 9 provinsi: Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Lampung, dan Papua. Dan Emy salah satunya.

Kini Emy sudah memiliki KTP. Meskipun nama lengkap masih mengikuti nama pada akta kelahiran, kolom jenis kelamin masih tertulis laki-laki, dan hanya penampilan foto saja yang menyesuaikan dengan kondisi Emy terkini. Namun, Emy gembira.

“Kalau aku punya KTP aku sudah jadi warga negara Indonesia. Aku bisa kemana-mana,” pikirnya.

Sayangnya, kehidupan Emy tak sepenuhnya termudahkan. Dua hari setelah mendapatkan KTP baru, ia mencoba membuka rekening di salah satu bank swasta. Dan Emy mendapat penolakan.

Sebabnya karena perbedaan antara foto Emy terkini dengan keterangan jenis kelamin di KTP. Emy berusaha menjelaskan dirinya seorang transpuan. Namun nihil. Tetap saja petugas meminta Emy menyesuaikan diri dengan data.

“Kayaknya punya KTP juga kayak enggak efektif,” keluh Emy.

E-KTP Transgender Terkendala Stigma

Perihal kolom jenis kelamin di KTP transpuan, menurut Direktur Riset SETARA Institute, Halili Hasan bisa mengacu kepada negara-negara dengan pemahaman HAM mumpuni ketimbang Indonesia; untuk mengosongkan kolom tersebut sebagai upaya menangkal stigma masyarakat.

“Tapi untuk konteks Indonesia ada implikasi lain yang butuh diskusi lebih lanjut. Misal, terkait hukum perkawinan,” ujarnya kepada Tirto, Kamis (3/6/2021).

Pemahaman masyarakat terhadap kesetaraan hak bagi setiap warga negara masih lemah, hal ini yang memantik stigma kepada kawan-kawan transpuan. Perlu upaya-upaya kultural untuk membenahi meski hal itu membutuhkan proses waktu tidak sebentar.

“Yang paling pokok melalui dunia pendidikan, tidak hanya di ranah lembaga pendidikan formal, tetapi juga di level keluarga dan masyarakat,” ujarnya.

Persoalan transpuan tanpa identitas tidak hanya terjadi di Jabodetabek. Di Yogyakarta, Nendi Mikha Azkia dan Yayasan Keluarga Besar Waria Yogyakarta (Kebaya) sedang berupaya mengumpulkan kawan-kawan transpuan tanpa KTP. Per Juni 2021, mereka sudah mendapatkan 23 orang. Namun, Nindi meyakini jumlah tersebut hanya riak-riak lautan.

Dari 23 nama yang tercatat, 15 nama sudah Nindi serahkan ke Bagian Tata Pemerintahan dan Kesra Setda Kota Yogyakarta untuk mengurus adminduk. Namun, satu bulan berlalu tidak mengalami kemajuan.

Nindi menduga ada ketidaksinkronan antara pemerintah pusat dan daerah. Sehingga ia berharap Ditjen Dukcapil Kemendagri mengeluarkan surat edaran ke daerah, agar kawan-kawan transpuan terfasilitasi.

Rerata transpuan yang sedang ia advokasi mengalami latar belakang permasalahan berbeda. Ada yang tidak punya KTP karena terusir dari rumah, pihak keluarga sudah tiada, hingga tidak memiliki orangtua sedari kecil.

Sehingga Nindi berharap pelayanan pemberian KTP dan KK di Tangerang Selatan terjadi di Yogyakarta.

“Apakah Dukcapil Kemendagri ini bisa terakses untuk seluruh provinsi di Indonesia atau hanya Tangsel saja, sebagai uji coba,” ujar transpuan 38 tahun tersebut kepada Tirto, Kamis.

Dirjen Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh mengatakan program layanan KTP dan KK untuk transpuan akan berlaku untuk seluruh provinsi di Indonesia. Ia menjamin Disdukcapil akan memberikan pelayanan optimal tanpa stigma.

“Boleh kapanpun kawan-kawan transpuan datang,” ujarnya kepada Tirto, Kamis (3/6/2021).

Perihal KTP transpuan yang tidak bisa dipergunakan untuk layanan keuangan. Zudan akan berkoordinasi kepada pihak-pihak terkait.

“Kami bisa undang untuk rapat,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait TRANSGENDER atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri