tirto.id - Pandemi Covid-19 di Indonesia membuat gerak hidup kelompok transgender kian sempit, sementara kebutuhan hidup harian tak mengenal kata kasihan.
Yulianus Rettoblaut atau yang akrab disapa Mami Yulie selaku Ketua Forum Komunikasi Waria se-Indonesia mengatakan, hal tersebut dikarenakan mereka kehilangan pekerjaan selama masa pandemi.
"Hampir 3.000 waria di DKI Jakarta rata-rata mereka urban dari daerah 80 persen, bekerja sebagai PSK dan pengamen jalan. Saat ini mereka terancam kelaparan," ujarnya kepada Tirto, Senin (13/4/2020).
Selain dihantui kelaparan, Mami Yulie mengatakan, para transgender terancam kehilangan tempat tinggal.
"Saya sendiri selaku ketua bingung," ujarnya.
Untuk menyiasati bertahan hidup, Mami Yulie menggalang bantuan dari beberapa jemaat gereja. Ia bersama Rumah Singgah Anak Raja juga menginisiasi dana untuk dibelikan sembako.
Hal yang sama juga diinisiasi oleh Sanggar SWARA. Mereka menggalang donasi untuk membantu teman-teman sesama transgender agar dapat menjalani hidup dalam situasi pandemik.
Ketua Sanggar SWARA Kanzha Vinaa mengatakan total donasi terkumpul sekitar Rp100 juta dalam rentang waktu 28 Maret 2020 hingga 7 April 2020. Uang itu untuk pemberian dalam bentuk donasi dan membayarkan uang sewa tempat tinggal.
"Hampir Rp90 juta sudah kami distribusikan baik ke Jakarta dan luar Jabodetabek," ujarnya kepada Tirto, Senin.
Inisiatif tersebut muncul, selain karena para transgender kehilangan pemasukan selama pandemik. Dilatarbelakangi pula oleh ketidaksiapan para transgender menghadapi Covid-19 yang begitu cepat merebaknya di Indonesia.
"Mereka juga tidak punya dana simpanan. Situasinya mendadak dan kita tidak punya persiapan," ujarnya.
Program penggalangan donasi masih terus dilakukan oleh Sanggar SWARA. Ia berharap pada kloter kedua, uang yang terkumpul akan cukup untuk menutupi kebutuhan dasar kawan-kawan transgender dan membayarkan uang sewa tempat tinggal mereka.
Tak Ada KTP, Tak Ada Bantuan
Kanzha Vinaa bergerak secara mandiri, sebab sampai dengan saat ini ia belum mendengar kawan-kawan transgender mendapatkan bantuan hak dasar dari pemerintah. Terlebih lagi mereka terhalang oleh urusan administrasi. Para transgender tidak memiliki KTP.
Persoalan tidak memiliki identitas tersebut yang membuatnya khawatir kelompok transgender tidak terjamah bantuan pemerintah.
"Kalau diberlakukan by name, by address, otomatis tidak bisa diakses teman-teman. Harusnya ada alternatif lain di tengah situasi sekarang," ujarnya.
Kepemilikan KTP merupakan persoalan pelik yang ditanggung kelompok transgender. Menurut data survei yang dilakukan oleh Jaringan Gaya Warna Lentera Indonesia (GWL-INA) pada 2017 menunjukkan, 34,1 persen dari 989 responden transpuan tidak memiliki KTP. Survei tersebut dilakukan di empat kota di Indonesia, yakni Bandar Lampung, Jakarta, Bandung, dan Manado.
Data dari Survei Kualitas Hidup Waria di Jakarta pada 2015 yang dilakukan oleh Pusat Penelitian HIV dan AIDS Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta memperlihatkan hal serupa. Dari 100 responden waria yang diwawancarai, 29 persen di antaranya tidak memiliki KTP.
Persoalan tersebut, menurut Kanzha Vinaa, ditengarai oleh penolakan dan stigma yang dialami oleh transgender. Semisal diusir dari kediaman orang tua dan terpaksa kabur saat usia masih belia. Hal-hal semacam itu turut memengaruhi para transgender kesulitan tak memiliki KTP.
"Mau bikin KTP di perantauan harus pakai surat pindah, RT, RW sampai kecamatan. Tapi banyak teman-teman yang tidak bisa akses itu," ujarnya.
Kepala Dinas Sosial (Dinsos) DKI Jakarta Irmansyah mengatakan penerima bansos ditujukan untuk masyarakat kalangan miskin dan rentan miskin yang terdampak virus corona atau Covid-19. Sejauh ini, pihaknya sudah mendata 1,2 juta Kepala Keluarga (KK).
Untuk dapat mengaksesnya, ia meminta masyarakat yang membutuhkan Bansos segera mendaftar, dengan mengisi formulir yang telah disiapkan RT lalu diberikan ke RW. Nanti RW akan meneruskan ke kelurahan. Data tersebut nantinya akan diverifikasi untuk penentuan jadwal dan lokasi distribusi.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati tak sependapat jika dalam kondisi darurat pandemik seperti ini, para transgender tidak bisa mengakses bantuan pemerintah karena terhalang kepemilikan KTP.
"KTP bukan syarat negara melakukan atau tidak melakukan kewajiban dalam konstitusi," ujarnya kepada Tirto, Senin.
Kelompok transgender yang tidak memiliki KTP pun, menurutnya, merupakan kesalahan pemerintah. Meski belum ada aturan hukum mengenai pemuatan data identitas gender selain yang sudah ditetapkan negara, transgender tetap berhak memiliki KTP.
"Sebenarnya tidak ada hambatan menurut saya untuk menuliskan apa yang dikatakan si pemilik identitas. Karena mereka pencatat bukan penentu. Catatan sipil. Bukan penentuan sipil," tandasnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri