Menuju konten utama

Hidup dan Mati Pekerja Seks Transpuan Depok

Para pekerja seks transpuan di Depok bertahan hidup dengan kaki sendiri di antara dinginnya rel-rel kereta api yang beristrahat.

Hidup dan Mati Pekerja Seks Transpuan Depok
Angel menunggu tamu dengan sabar di Jalan Baru Plenongan, Depok, Jawa Barat, Kamis (21/1/2021). Foto/Dheny R. Firmansyah

tirto.id - Djamila sedang gelisah menanti seorang pria ketika rangkaian terakhir KRL Commuter Line arah Bogor melintasi Jalan Baru Plenongan Depok. Ia dan dua kawan menunggu di depan toko servis barang elektronik yang sudah tutup.

Telepon pintar Djamila atau kerap disapa DJ berulang kali berbunyi. Ada pesan masuk dari si pria dan DJ akan langsung khusyuk merespons. Sambil menunggu balasan, ia memainkan kakinya maju mundur seolah menyapu debu aspal.

Si pria bukanlah kekasih DJ. Ia adalah tamu pertama DJ untuk malam itu. DJ adalah transpuan penjaja seks yang biasa mangkal di Plenongan.

Hari-hari DJ kerap dikelilingi pria tapi belum ada yang tersangkut di sanubari. Mereka datang dan pergi sekedar menuntaskan hasrat sesaat. “Sekarang sih aku deket doang, belum ada yang real serius, takut diPHP-in [terkibuli]. Laki-laki, kan, begitu,” ujar transpuan berusia 25 tahun ini seraya tertawa, Kamis (21/1/2021) lalu.

Terakhir DJ menjalin asmara tiga tahun lalu dan kandas. Si pria meninggal dunia karena HIV/AIDS.

Teman DJ, bernama Angel, juga memiliki kisah asmara yang sama mendung. Transpuan 35 tahun itu kehilangan pria saat api cintanya bergelora. Si pria lebih dulu meninggalkan dunia.

“Aku mah, janda seumur hidup,” ujar Angel sembari tertawa.

“Kalau aku ditinggal kabur,” celetuk Intan Cania diikuti tawa lepas dan seketika terdiam.

Ia mengehela napas panjang dan kedua bola matanya berbinar. Ada kisah masa lalu yang mendadak menyesakkan dada yang enggan ia ceritakan lebih dalam. “Terakhir aku dapat pasangan itu tahun lalu. Dan itu bikin aku enggak percaya lagi dengan orang,” hanya itu yang bisa dia katakan.

Dalam usia ke-39, Intan hanya mau pasangan yang konkret; sanggup memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarga di kampung sehingga tidak perlu lagi menjajakan diri di jalan. “Aku tuh matre. Kalau aku mau minta, harus detik itu juga.”

Intan, DJ, dan Angel adalah perantau. Intan paling senior, berasal dari suatu daerah di Jawa Timur dan termasuk transpuan pertama yang mejeng di Plenongan.

Intan berangkat ke DKI Jakarta ketika keluarga menerima orientasi seksualnya pada 2003 lalu. Pertama kali ia mejeng di Pasar Minggu Jakarta Selatan dan tidak lama. Seorang tetua transpuan meminta Intan menjadi wakilnya di Kota Depok.

Mereka awalnya mejeng di samping Universitas Pancasila untuk beberapa waktu sebelum pangkalan digusur warga. Mereka terpaksa pindah ke perbatasan Jakarta Selatan-Depok atau sekitar 1 kilometer dari pangkalan sebelumnya. Belum sempat ada aktivitas apa pun, warga kembali menolak.

Stasiun Depok Baru (Stadebar) menjadi basis mereka selanjutnya. Setelah dapat izin dari preman dan organisasi masyarakat setempat, Intan mejeng di sana pada 2006. Ia hanya diberikan syarat dan menyanggupi: tidak berbuat gaduh.

Sejak saat itulah malam di Stadebar berubah. Peron dan pinggiran rel menjadi etalase transpuan penjaja seks.

Mereka jugalah saksi hidup perubahan Stadebar dari bebas akses dan semrawut menjadi ketat dan teratur—berdampak pada bergesernya pangkalan transpuan ke bebatuan rel yang gelap sebelum akhirnya pindah ke Jalan Baru Plenongan.

“Dulu kami kerja sama dengan wali kotanya enak loh, sebelum ganti. Kami ini dilindungi wali kota. Kalau ada acara di sana [Balai Kota] kami disertakan,” akunya.

Saat menjadi wakil ketua wilayah, Intan bertanggung jawab mendata transpuan baru dan lama di pangkalan, termasuk soal kesehatan dan isu HIV/AIDS.

Ketika mendiang kekasih DJ meregang nyawa karena HIV/AIDS, Intan termasuk yang menolong. Sejak kejadian pilu itu DJ dan Intan menjadi dekat. Sampai mereka memutuskan untuk tinggal satu atap.

“Ini tuh mami aku,” ucap DJ sembari menunjuk Intan. Sebutan mami bukan merujuk status muncikari melainkan orang yang disegani.

Hukum Jalanan

Sepuluh tahun lalu Fitri mejeng di Pendongkelan Jakarta Barat. Begitu pangkalannya digusur, ia pindah ke Kota Depok dan mengganti nama menjadi Angel. Di Depok, Angel rehat menjajakan diri. Ia mencoba peruntungan lain dengan mengamen keliling. Ia bahkan tidak tahu para transpuan sering mejeng di Plenongan.

“Pulang [mengamen] lewat [Plenongan]. Kok, banyak waria-waria yang nongkrong. Terus disamperin sama dia [Intan],” kenang transpuan kelahiran Indramayu ini.

Menjadi transpuan baru di suatu wilayah bukan perkara mudah. Angel merasakan betapa sengitnya penataran dari para senior kala itu. Tak jarang ia mendapat perlakukan kasar dan kerap diminta menyetorkan pendapatan ke para tetua.

“Zaman dulu enggak mudah nongkrong di sini. Baru nongkrong aja nanti disamperin ke kontrakan, apa yang kita punya diambil sama ketua yang di situ,” ujar Angel.

“Kalau kita tidak kenal pawang [pemegang wilayah] bener-bener, dulu tuh kasar,” imbuh Intan.

Perilaku kasar dan rampus para senior, menurut Intan, bukan tanpa sebab. Tak jarang sikap transpuan penjaja baru menjadi pemicu, semisal menyerobot tamu atau berperangai buruk.

Seiring bergulirnya waktu dan meningkatnya pemahaman Hak Asasi Manusia di kalangan transpuan penjaja seks, budaya kekerasan dan setoran meluntur. Setiap ada persoalan mereka mengedepankan dialog.

Namun perubahan tersebut malah menimbulkan persoalan baru: Persaingan tidak sehat dalam menjaring tamu.

“Aku tuh maunya semua TG [transgender] di sini sedikit saling menghargai. Tamu siapa ditanya dulu jangan main dibawa kabur,” ujar Intan.

Iklim kompetisi tidak sehat berakibat ketimpangan tarif. Angel, Intan, dan DJ sama-sama pernah kehilangan tamu hanya karena tarif mereka lebih mahal ketimbang transpuan penjaja lain.

Tarif terendah transpuan penjaja seks di sana berkisar Rp20 ribu hingga Rp50 ribu untuk satu kali ‘main’ dengan durasi tergantung vitalitas tamu. Sementara Intan, DJ, dan Angel punya standar harga sendiri. Mereka pasang harga minimum Rp50 ribu dan maksimun Rp200 ribu, untuk durasi tak berbatas.

“Kalau [mainnya] cepet, ya syukur. Kalau lama, ya, kami layanin,” ujar DJ.

Perkara kesenjangan tarif beberapa kali coba Intan diskusikan dengan transpuan lain. Namun hasilnya selalu bertepuk sebelah tangan padahal ia hanya mendambakan persaingan sehat tanpa menurunkan martabat.

“Kalau Allah kasih rezeki ke kami, ya dapat, kalau enggak mungkin udah disamber kanan kiri.” kata Intan pasrah.

Meredup

Jalan Baru Plenongan temaram dan lampu kota tidak banyak membantu. Beberapa pemilik toko kelontong yang masih buka menyalakan api dalam drum kecil di depan toko masing-masing. Menambah sedikit pencahayaan sekaligus menahan hawa dingin Kota Depok.

Rel kereta mulai mendingin, tapi kendaraan roda empat dan dua masih hilir mudik tanpa mengindahkan kehadiran para transpuan di balik bayangan reklame toko atau di bawah naungan lampu jalan.

“Hiburannya HP dan headset, dengerin lagu aja. Kalau ada yang nyamperin, kita matiin dulu [musiknya]. Tawar-tawaran,” ujar DJ.

“Kadang HP juga bosen,” celetuk Angel. “Mondar-mandir aja cari siapa yang mau.”

Menurut Intan, Plenongan hari ini tidak lagi bisa mendatangkan banyak tamu seperti tahun-tahun yang lalu. Dulu mereka terbiasa mengantongi paling sedikit Rp 1 juta dan paling banyak Rp 3,5 juta dalam satu bulan. Kini kadang terpaksa pulang tanpa melayani satu pun orang, padahal untuk biaya makan saja perlu tiga tamu.

Penyebab sepinya Plenongan ada dua: perilaku sesama transpuan yang tidak kooperatif soal tarif dan ketiadaan sosok ketua yang mampu merangkul.

Kehidupan mereka semakin limbung dihajar COVID-19. Mereka tidak termasuk penerima bantuan sosial dari negara. Bantuan mereka peroleh dari komunitas transpuan dalam jumlah seadanya.

Hidup mereka bertopang pada kebaikan pemilik rumah kontrakan yang merelakan biaya sewa ditunggak dan warung-warung yang bisa memberikan utang sembako.

Mereka sempat mencoba menjajakan diri melalui aplikasi daring, tapi tidak kerasan karena kerap ditawar murah oleh calon tamu. “Pernah pas gua buka harga 300 ribu, [calon tamu bilang] 'emang lu perempuan punya barang?' Ditawar 50 ribu. Disitulah gua emosi enggak mau pake apps lagi,” ujar Angel.

Sebagai transpuan, mereka sadar betul lapangan pekerjaan sangat terbatas. Angel bisa saja kembali mengamen, tapi DJ dan Intan tidak. Hidup dan mati mereka berada di Plenongan.

Kegeruhan di Plenongan semakin berlapis setiap kali menjadi korban kejahilan pengendara. Tidak hanya celaan yang melayang ke mereka saat mejeng, tetapi balok kayu dan batu dan air kencing. Sialnya mereka hanya bisa marah karena tak punya bukti untuk memperkarai.

“Orang pulang salat sering mulutnya enggak bisa diam. Itu bikin dongkol. Kita udah sepi, diledekin. Kesel,” aku Angel.

Rentetan kesengsaraan dan pundi-pundi yang kian menyempit membuat mereka harus berkorban lebih, semisal tidak lagi melakukan perawatan. “Mending buat makan daripada perawatan,” kata Angel.

Angel mendaku hanya cukup, “sabunan doang.”

Kalau DJ, “tergantung kantong. Kalau memungkinkan, ya, cobalah. Kalau enggak buat yang lain aja.”

Sementara Intan sudah benar-benar tidak peduli. “Aku masih punya bapak dan kakakku ngejatahin kirim uang ke kampung setiap bulan.”

Intan Transpuan Plenongan Depok

Intan menyiasati sepi di sela menanti kedatangan tamu di Jalan Baru Plenongan, Depok, Jawa Barat, Kamis (21/1/2021). Foto/Dheny R. Firmansyah

Plenongan kini memberikan ketidakpastian dan menyulut banyak rencana di benak mereka. Angel ingin pindah ke Pulo Gadung Jakarta Timur dan membuka peruntungan di sana; DJ berharap keluarga di Yogyakarta bisa menerima orientasi seksualnya dan ia bisa pulang ke kampung dengan damai; sementara Intan menginginkan usaha di kampung atau di mana saja.

“Aku sebetulnya udah capek. Pengin istirahat. Kalau di sini sudah enggak bisa diapa-apain. Aku mau bantuin usaha kecil-kecilan kakak,” ujar Intan.

Malam semakin larut. DJ bersiap berpetualang dengan si pria yang sejak tadi telah berkomunikasi dengannya lewat ponsel. Sementara Intan dan Angel pergi berjalan kaki mencari titik mangkal yang lebih mudah terlihat mata.

Selagi azan subuh belum mengumandang, sepanjang itu pula harapan mereka menyala: Semoga pulang ke kontrakan tanpa kekosongan.

Baca juga artikel terkait PEKERJA SEKS KOMERSIL atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino