tirto.id - Pemerintah bakal segera merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 7 tahun 2015 tentang tata cara pembentukan dan pelaksanaan transfer pricing atau Advance Pricing Agreement (APA).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan, revisi itu dilakukan untuk menyederhanakan sejumlah poin yang tercantum dalam beleid tersebut.
Salah satunya, soal kepastian jangka waktu dalam proses pengajuan APA.
"Penyederhanaan itu kami lakukan untuk meningkatkan pelayanan agar tingkat kepatuhan juga semakin baik ke depannya," ujar Hestu saat dihubungi Tirto, Senin (25/3/2019).
Jika tak ada aral melintang, lanjut Hestu, relaksasi beleid yang sudah masuk pipe line sejak akhir tahun 2018 bisa dirilis dan diterapkan akhir tahun 2019.
"Kita kejar sampai akhir tahun ini, tapi Insya Allah, pertengahan tahun selesai draft-nya," ucap Hestu.
APA sendiri merupakan kesepakatan antara kedua negara yang meliputi harga transaksi baik dari perusahaan terafiliasi atau anak usahanya.
Dengan adanya kesepakatan tersebut, lanjut dia, harga transaksi di atara sebuah perusahaan yang ada di dua negara harus ditentukan sejak awal, termasuk perhitungan metodenya sebelum jumlah pajak ditentukan oleh otoritas berangkutan.
Agreement itu juga merupakan strategi untuk mencegah timbulnya masalah transfer pricing di masa yang akan datang. Sebab, dengan adanya APA, maka perbedaan interpretasi mengenai transfer pricing atau kewajaran dari nilai transaksi hubungan istimewa akan terproteksi dalam 3 tahun atau 4 tahun ke depan.
Jika hal tersebut tidak dilakukan, jelas Hestu, maka perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia bisa kena pajak ganda.
"Perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia bisa kena pajak gandajika melakukan kegiatan transfer pricing yakni oleh otoritas pajak di Indonesia serta negara asalnya," pungkasnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno