tirto.id - Realisasi penerimaan pajak pada Februari 2019 tercatat hanya sebesar Rp160,85 triliun atau tumbuh 4,66 persen. Padahal, pada periode yang sama di tahun lalu, penerimaan pajak bisa tumbuh sebesar 13,48 persen.
Direktur Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyampaikan, penyebab utamanya adalah pertumbuhan PPN yang minus 10,4 persen di bulan lalu.
Setoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang masuk ke kantong pemerintah hanya mencapai Rp57,44 triliun, merosot drastis dibandingkan capaian tahun lalu sebesar Rp63,8 triliun dan tumbuh 18,02 persen.
Mengingat tantangan ekonomi yang lebih besar di tahun ini, realisasi penerimaan dua bulan awal itu seharusnya jadi alarm dini buat pemerintah. Sebab, jika tren penurunan PPN terus berlanjut, maka bayang-bayang shortfall yang lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya makin mengintai.
"Kami mengusulkan peningkatan pengawasan PPN, antara lain melalui ekstensifikasi Pengusaha Kena Pajak (PKP) di sektor-sektor yang berisiko tinggi dan kontribusinya besar, pengawasan yang lebih ketat di setiap lini rantai pasok, dan pencegahan dan penindakan terhadap penyalahgunaan faktur pajak," ujarnya pada Tirto, Kamis (21/3/2019).
Berdasarkan paparan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, faktor yang menyebabkan rendahnya kinerja penerimaan PPN dipengaruhi oleh melambatnya penerimaan PPN Impor.
Di sektor non migas, pertumbuhan pajak industri pengolahan (manufaktur) dan perdagangan yang kontribusinya mencapai lebih dari hingga 48 persen juga terpangkas. Masing-masing sektor cuma menyetor Rp36,87 triliun dan Rp36,03 triliun.
Dilihat dari pertumbuhannya, manufaktur minus 11,3 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang masih jauh tumbuh 13,2 persen. Sementara perdagangan cuma mencatatkan growth 1,7 persen, jauh lebih rendah ketimbang periode yang sama di tahun 2018 yang tumbuh 32,5 persen.
Sri Mulyani Indrawati berdalih bahwa rendahnya kontribusi dua sektor tersebut merupakan implikasi dari kebijakan pemerintah terkait dengan percepatan restitusi di bulan Januari dan Februari.
Namun, menurut Yustinus, hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan lantaran percepatan restitusi adalah kebijakan yang sudah sejak awal dibuat untuk kemudahan wajib pajak.
"Pertumbuhan negatif sektor industri pengolahan dan penerimaan PPN patut dicermati. Ini dikarenakan sektor dan jenis pajak ini merupakan andalan utama dari tahun ke tahun dan relatif mudah diprediksi dinamika dan realisasinya," pungkasnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno