tirto.id - Front Pembela Islam (FPI) jatuh dan tertimpa tangga. Organisasi ini dibubarkan pemerintah dan rekening bank mereka diblokir sejak 30 Desember lalu. Sekretaris Bantuan Hukum FPI Aziz Yanuar mengatakan pemblokiran ini adalah perbuatan zalim. “Sudah dibubarkan, uang umat juga diduga digarong,” katanya ketika dihubungi reporter Tirto, Senin (4/1/2021).
Dia bilang rekening FPI yang dibekukan terdapat di Bank Muamalat dan Bank Syariah Mandiri. Soal jumlah uang, Aziz menjawab “banyak, jelasnya kurang tahu.”
Meski terkait dengan pembubaran organisasi, dia enggan menuding pelakunya adalah pemerintah atau aparat. “Tidak tahu siapa yang menggarong,” katanya, Selasa (5/1/2021), juga kepada reporter Tirto.
Pada 31 Desember, Hayunaji, Sekretaris Perusahaan PT Bank Muamalat Indonesia Tbk, mengatakan tidak dapat berkomentar sebab “data atau informasi keuangan nasabah merupakan rahasia bank yang tidak dapat diungkap ke publik, yang mana hal tersebut dilindungi oleh undang-undang.”
Polisi mengaku tak terkait dengan pemblokiran rekening. Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Pol Andi Rian Djajadi mengklaim “tidak ada langkah pemblokiran” ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa. Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan bahkan mengaku polisi belum mendapatkan informasi pemblokiran. Seandainya tahu pun menurutnya bukan wewenang kepolisian untuk mengungkapkan hal tersebut.
Meski telah dibubarkan, FPI dan para anggota/pimpinannya masih terkait dengan beberapa perkara hukum. Salah satunya pengusutan penembakan polisi hingga menyebabkan enam anggota Laskar FPI tewas. Sementara Rizieq Shihab kini ditahan karena kasus pelanggaran protokol kesehatan.
Selain penyidik (Polri, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai), yang berwenang menyita dan/atau memblokir rekening adalah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Hal ini diatur dalam Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU): “PPATK dapat meminta penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf i.”
Pada Selasa 5 Januari malam, lewat keterangan resmi, PPATK mengonfirmasi bahwa memang merekalah instansi yang memblokir rekening FPI dan afiliasinya. Per 5 Januari, PPATK telah menerima “59 Berita Acara Penghentian Transaksi dari beberapa Penyedia Jasa Keuangan atas rekening FPI, termasuk pihak terafiliasinya.”
“Tindakan penghentian sementara transaksi dan aktivitas rekening FPI berikut afiliasinya dilakukan dalam rangka pelaksanaan fungsi analisis dan pemeriksaan laporan dan informasi transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain,” kata mereka. Lebih eksplisit, PPATK mengatakan pemblokiran “untuk mencegah adanya upaya pemindahan atau penggunaan dana dari rekening yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana.”
Sehari sebelumnya, Ketua Kelompok Humas PPATK M. Natsir Kongah mengklaim belum mengetahui soal itu. “Saya belum ada info,” aku dia kepada reporter Tirto.
Tepat?
Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengatakan meski diberikan wewenang, PPATK tetap perlu menyertakan “bukti permulaan yang cukup bahwa pemilik rekening tersebut terkait atau terafiliasi dengan kelompok atau kegiatan pendanaan yang mengarah kepada tindak pidana pencucian uang.”
Kepada wartawan, Rabu (6/1/2021), dia tanpa bukti permulaan yang cukup, pemblokiran “merupakan tindakan sewenang-wenang.”
Dosen hukum dari Universitas Indonesia Aristo Pangaribuan mengatakan rekening yang semestinya diblokir bukan milik FPI sebab mereka secara organisasi tak berstatus tersangka. Dalam Pasal 12 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000 disebutkan bahwa “pemblokiran dan atau penyitaan simpanan atas nama seorang Nasabah Penyimpan yang telah dinyatakan sebagai tersangka atau terdakwa oleh polisi, jaksa, atau hakim, dapat dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa memerlukan izin dari Pimpinan Bank Indonesia.”
Namun, ia juga mengatakan barangkali pertimbangannya adalah FPI telah mengganggu kedaulatan. “Jika sudah kedaulatan, hukum [jadi] nomor dua. Hukum bisa dicari-cari untuk menjustifikasi langkah pemerintah,” ujar Aristo kepada reporter Tirto, Selasa.
FPI bisa saja tak tinggal diam. Mereka dapat mengajukan keberatan. Berdasarkan Pasal 67 ayat (1) UU TPPU, jika tidak ada orang dan/atau pihak ketiga yang mengajukan keberatan dalam waktu 20 hari sejak tanggal penghentian sementara transaksi, PPATK menyerahkan penanganan harta kekayaan yang patut diduga merupakan hasil tindak pidana kepada penyidik.
“Artinya [penyidik] menunggu. Justru mereka [FPI] harus bisa mengklaim itu [rekening] punya siapa, atas nama siapa, dan tidak terkait dengan tindak pidana. Menjelaskan sesuai fakta, bukan opini,” ujar ahli anti-pencucian uang dari Universitas Indonesia Paku Utama kepada reporter Tirto, Selasa.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino