Menuju konten utama
Kisruh Peru

Pemakzulan Presiden Peru: Lagi-Lagi Ulah Sayap Kanan?

Menurut kongres, Pedro Castillo berusaha melakukan "self-coup" dengan membubarkan parlemen. Menurut pendukungnya, kongres justru sudah mengudeta Castillo.

Pemakzulan Presiden Peru: Lagi-Lagi Ulah Sayap Kanan?
Pendukung Presiden Peru terguling Pedro Castillo memprotes di Pan-American North Highway sementara petugas polisi tiba untuk membersihkan puing-puing, di Chao, Peru, Kamis, 15 Desember 2022. AP/Hugo Curotto

tirto.id - (Artikel sebelumnya: Tragedi Presiden Peru: Dipilih Rakyat, Dilengserkan Parlemen)

Pedro Castillo mencoba melakukan apa yang dia bisa untuk mempertahankan kekuasaan sebagai Presiden Peru. Salah satunya adalah membubarkan kongres yang dikontrol oleh kubu sayap kanan terutama pendukung lawannya dalam pemilihan lalu, Keiko Fujimori.

Tapi rencana gagal dan justru berbalik kepada dirinya.

Beberapa jam setelah mengumumkan langkah mengejutkan tersebut, mayoritas anggota kongres sepakat memakzulkan Castillo. Anak petani ini kemudian resmi ditahan atas tuduhan “pemberontakan dan konspirasi”.

Rencana untuk memerintah sendirian dengan membubarkan badan legislatif dipandang sebagai percobaan kudeta, lebih spesifiknya “self-coup” atau populer disebut “autogolpes” di Amerika Latin. Di mata pemerintahan baru, termasuk oposisi dan lembaga penegak hukum, tindakan ini tak hanya melanggar aturan, tapi juga mengancam demokrasi. Langkah ini pernah diambil oleh Alberto Fujimori pada 1992 dan memuluskan jalannya jadi diktator Peru.

Tapi self-coup itu sendiri masih menjadi perdebatan yang belum selesai. Karena itu langkah Castillo bisa jadi tidak keliru dari sudut pandang yang lain.

Menurut Maxwell A. Cameron, definisi self-coup itu tergantung dari bagaimana demokrasi dimaknai. Hal ini dia ungkapkan dalam studi perbandingan self-coup di Peru, Guatemala, dan Rusia yang terbit di Journal of Democracy(1998).

Jika demokrasi (atau tepatnya polyarchy) dipahami sebagai pemilihan wakil rakyat secara bebas dan adil, self-coup tentu saja melenceng dari prinsip pemerintahan demokratis meskipun hanya berlangsung sebentar. Akan tetapi, lanjut Cameron, makna self-coup akan terdengar lain—dan kelak meninggalkan jejak problematik—apabila demokrasi dipahami sebagai suatu sistem pemerintahan yang pemimpinnya punya alasan kuat untuk bertindak apa pun demi membela kepentingan rakyatnya.

Pendukung Castillo memilih interpretasi kedua. Akibatnya, mereka melihat Castillo sebagai korban kekejian kongres dan musuh politik sayap kanan yang sudah menjebak dan memojokkannya agar tidak bisa menjalankan roda pemerintahan. Keinginan Castillo untuk membubarkan kongres dipandang sebagai reaksi alamiah atas segala tekanan bertubi-tubi yang diterima dari oposisi.

Alih-alih sebagai pelaku self-coup, para pendukungnya justru menganggap kongres-lah yang telah melakukan kudeta terhadap Castillo.

Narasi bahwa kongres sudah bertindak zalim terhadap Castillo juga digaungkan oleh sebagian pemerintah di kawasan Amerika Latin. Empat negara yang presidennya condong ke haluan kiri, meliputi Meksiko, Argentina, Bolivia, dan Kolombia, merilis pernyataan bersama bahwa mereka masih mendukung Castillo sebagai presiden sah yang dipilih secara demokratis. Menurut mereka, Castillo adalah korban dari “perundungan antidemokratis” yang dilakukan oleh oposisi kanan di kongres sejak hari pertama menjabat.

Aliansi kerja sama dagang negara Amerika Latin dan Karibia yang haluan politik kirinya lebih kuat, Grup ALBA (seperti Venezuela, Kuba, Bolivia, Nikaragua, Dominika) bahkan lebih blak-blakan menyalahkan musuh politik Castillo. Menurut mereka kubu sayap kananlah yang bertanggung jawab memaksa Castillo “mengambil langkah-langkah tertentu yang kemudian dimanfaatkan oleh musuh politik di parlemen.”

Pembelaan gigih dari pendukung Castillo dapat dipahami sebagai bagian dari “kisah tentang viktimisasi oleh kalangan progresif selama satu dekade terakhir, tentang bagaimana pemimpin yang terpilih dengan populer secara demokratis bisa direnggut kekuasaannya melalui aksi kudeta, protes jalanan, parlemen, atau pengadilan,” demikian disampaikan Carlos Malamud, pakar Amerika Latin di Real Instituto Elcano, Madrid, dilansir dari Financial Times.

Pengalaman Castillo memang pernah dirasakan oleh sederet pemimpin lain di masa lalu.

Tahun 2009, masih dalam balutan piama, Presiden Honduras Manuel Zelaya diasingkan oleh militer sendiri ke luar negeri atas perintah mahkamah agung. Sebelum diboyong pergi, Zelaya berencana melakukan referendum yang hasilnya berpotensi mengubah masa jabatan presiden jadi dua periode. Tindakan Zelaya, menurut kongres, sudah melanggar konstitusi.

Menariknya, Honduras tidak punya prosedur pemakzulan. Solusi kilat untuk mengatasi konflik dengan presiden waktu itu adalah dengan mengusir alih-alih menyidangnya—langkah yang dikecam komunitas internasional sebagai kudeta atau tindakan ilegal.

Pada 2012, presiden berhaluan kiri pertama di Paraguay Fernando Lugo juga dimakzulkan oleh kongres. Lugo dianggap sudah gagal menjalankan roda pemerintahan, terutama dalam memenuhi janji meredistribusi lahan kepada petani miskin. Lugo, yang juga didukung oleh sebagian pemerintahan kiri di Amerika Latin, menyebut pemakzulannya sebagai “kudeta parlementer”.

Tahun 2016, Presiden Brasil Dilma Rousseff dari Partai Buruh juga dimakzulkan oleh kongres karena skandal korupsi dan pada saat yang sama didesak demonstran agar mundur. Rousseff kelak membela diri bahwa itu merupakan “sabotase sistemik” terhadap administrasinya. Kata dia, “plot kudeta yang melibatkan kongres, media, berbagai sektor dari sistem peradilan dan pasar keuangan” itu tujuannya tak lain adalah untuk meloloskan “agenda neoliberal”.

Tiga tahun yang lalu, presiden sosialis sekaligus pemimpin paling lama berkuasa di Amerika Latin, Eva Morales, mengundurkan diri sebagai Presiden Bolivia setelah ditekan oleh polisi, tentara, dan massa karena tuduhan kecurangan pemilu. Morales, kelak mendapat perlindungan dari pemerintah Meksiko, menepis segala tuduhan yang menurutnya adalah rekaan musuh politik.

Pakar politik heboh memperdebatkan apakah Morales merupakan korban kudeta atau tidak, bahkan peneliti dari kampus elite Massachusetts Institute of Technology di AS sampai melakukan riset untuk membuktikan soal kecurangan pemilu.

Infografik Telenovela Pemerintah Amerika Latin

Infografik Telenovela Pemerintah Amerika Latin. tirto.id/Fuad

Karut-marut yang melatarbelakangi drama politik Castillo, Morales, dan kawan-kawan berbeda dari era 1960-1970-an. Ketika itu jenderal-jenderal militer menjadi aktor yang terang-terangan merebut kekuasaan dari pemerintahan—di antaranya di Brasil (1964), Bolivia (1969-80), Chili (1973), dan Argentina (1976).

James Bosworth dalam analisisnya di World Politics Reviewmenuturkan bahwa kudeta militer kala itu adalah insiden yang sudah pasti. Tidak perlu waktu lama bagi publik, media, dan pemerintah di negara-negara sekitar untuk mengakui dan mencapai konsensus bahwa memang terjadi perebutan kekuasaan secara ilegal.

Sementara pada hari ini, katanya, “gangguan demokrasi tidak lagi terlihat jelas dan lebih sering diperdebatkan oleh beragam front ideologis di seluruh belahan bumi.”

Masih menurut Bosworth, perdebatan terkait transisi pemerintahan akhir-akhir ini menunjukkan setidaknya masih ada dua tantangan besar yang akan dihadapi oleh belahan bumi Amerika selama beberapa waktu ke depan.

Pertama terkait otoritarianisme atau kediktatoran, merujuk pada usaha seorang pemimpin untuk mempertahankan kekuasaan dengan cara tidak demokratis tanpa batasan waktu jelas. Kedua adalah penyangkalan hasil pemilu, ketika pihak yang kalah berusaha menyebarkan narasi kecurangan dan memakai cara hukum untuk menolak kemenangan lawan (seperti dilakukan Jair Bolsonaro di Brasil dan Keiko Fujimori di Peru) bahkan mengajak massa pendukung beraksi rusuh (dicontohkan dengan sempurna oleh Donald Trump di AS).

Baca juga artikel terkait PERU atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino