Menuju konten utama

Pelecehan di Jeneponto, Aparat Perlu Gunakan Perspektif Korban

Aparat penegak hukum harus berhati-hati dan berperspektif korban dalam memproses kasus pelecehan seksual terhadap staf Dinas Koperasi Jeneponto.

Pelecehan di Jeneponto, Aparat Perlu Gunakan Perspektif Korban
Masyarakat dari berbagai aliansi melakukan aksi damai bertajuk stop kekerasan seksual di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Sabtu (8/12/2018). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/hp.

tirto.id - Tindakan Kepala Dinas Korporasi Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan berinisial S terhadap stafnya berinisial J berbuntut panjang. Dia harus menghadapi hukum dan kini berstatus terduga pelaku pelecehan seksual.

Kasat Reskrim Polres Jeneponto, AKP Boby Rachman, mengatakan yang melaporkan langsung korban.

"Dari keterangan pelapor, [pelaku] diduga melakukan perbuatan cabul dengan cara mengajak selfie (swafoto), kemudian mencium pipi," jelas Boby kepada reporter Tirto, Jumat (30/8/2019).

Sejauh ini polisi baru memeriksa satu saksi, yakni saksi pelapor. Sejumlah saksi lain akan segera dipanggil. "Sudah kami jadwalkan panggilan saksi untuk hari Selasa."

"Bila terbukti perbuatannya, akan diterapkan Pasal 289 KUHP," kata Boby.

Pasal tersebut mengatur soal pencabulan. Isi lengkapnya: "barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul, dihukum karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana selama-selamanya sembilan tahun."

Boby menyampaikan polisi sedang berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk memulihkan dan melindungi korban.

Komisioner Komnas Perempuan Magdalena Sitorus mengatakan polisi harus paham mencium tanpa persetujuan seperti dalam kasus ini adalah bentuk pelecehan seksual. Dia berkomentar demikian karena aparat penegak hukum seringkali menganggap kekerasan seksual hanya berbentuk kekerasan fisik.

"Kalau dia tidak punya perspektif korban, sulit sekali untuk bisa memahami bahwa itu tindakan yang tak bisa dibenarkan," ujar Magdalena kepada reporter Tirto.

"Apakah kepolisian melihat itu sebagai suatu tindakan yang bisa dipahami? Karena pelecehan ini seringkali tidak dipahami, toh enggak ada bekasnya. Tetapi kan dia enggak nyaman dengan tindakan itu," lanjutnya.

"Apalagi itu atasan dan bawahan. Ada relasi kuasa di situ. Itu tidak dibenarkan. Apakah saat selfie, kita bisa dicium?" tanyanya, retoris.

Bukan hanya polisi, Magdalena berharap setiap orang mengerti bentuk-bentuk pelecehan seksual, mulai dari yang tanpa sentuhan seperti catcalling, hingga yang berbentuk kekerasan fisik.

RUU PKS

Selain perspektif para penegak hukum, masalah lain dalam isu pelecehan seksual adalah tidak adanya perlindungan hukum yang memadai.

Karena itu Magdalena bilang sejak jauh-jauh hari Komnas Perempuan mendesak DPR untuk segera menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Di sana ada beleid yang menjelaskan bentuk-bentuk kekerasan seksual secara lebih komprehensif.

"Ini kan sentuhan, tidak terlihat kasat mata dampak terhadap korban. Nah, ini pentingnya payung hukum tersebut," lanjutnya.

Aturan ini juga berguna untuk melindungi korban dikriminalisasi. Contohnya adalah kasus Baiq Nuril, guru SMAN 7 Mataram yang divonis MA dengan hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Nuril adalah korban pelecehan seksual Muslim, mantan kepala sekolah SMA 7 Mataram.

Meski telah mendapatkan amnesti dari Presiden, tapi sebelum itu dia harus melewati perjalanan panjang mendapatkan keadilan.

Selain Baiq Nuril, ada pula kasus RA, sekretaris pribadi di Dewan Pengawas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS TK). Setelah membongkar tingkah bejat mantan atasannya, RA justru di PHK dan dilaporkan ke polisi oleh pelaku.

Ratna Batara Munti, pengacara publik yang fokus pada isu perempuan, menilai kasus-kasus pelecehan seksual masih banyak yang sulit dibuktikan. Kebanyakan kasus pelecehan terjadi di ranah privat. Dalam kasus ini bisa saja tak ada saksi lain selain korban.

Hukum di Indonesia baru mengatur kekerasan seksual dalam dua pasal, yakni pencabulan dan pemerkosaan (Pasal 285 KUHP), kata Ratna.

"Belum ada pengakuan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang menggunakan relasi kekuasaan," kata Ratna kepada reporter Tirto.

Maraknya kasus pelecehan seksual semakin mempertegas pentingnya aturan khusus terkait itu.

Baca juga artikel terkait PELECEHAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Widia Primastika