tirto.id - Kasus positif COVID-19 di Malaysia kembali meningkat dalam tiga pekan terakhir. Penambahan tertinggi terjadi pada 6 Oktober, 691 kasus, menurut Worldometer. Kurva sempat menurun hingga 10 Oktober dengan 374 kasus, akan kembali menanjak sehari setelahnya dengan 561 kasus dan 660 kasus pada 14 Oktober.
Peningkatan ini merupakan yang tertinggi sejak Malaysia melaporkan kasus positif pertama pada 1 Maret lalu. Penambahan kasus ini juga membuat mereka memasuki gelombang ketiga pandemi.
Peningkatan signifikan diduga kuat dipicu Pilihan Raya Negeri (PRN)--semacam pemilu--di Sabah pada 26 September. Sabah, negara bagian terbesar kedua setelah Sarawak, berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Utara, berkontribusi terhadap 65 persen kasus positif nasional.
Sepanjang dua pekan terakhir Sabah terus mencatat kasus positif terbanyak. Per 16 Oktober, berdasarkan data Kementerian Kesehatan Malaysia, di sana terdapat 489 kasus baru. Sebagai perbandingan, Selangor, kota dengan penambahan kasus tertinggi kedua, ‘hanya’ mencatat 50 kasus baru.
Sementara Pulau Pinang 33 kasus; Labuan 19 kasus; Kuala Lumpur 10 kasus; Perak 9 kasus; Kedah 7 kasus; Johor 5 kasus; Melaka 3 kasus; Putrajaya 2 kasus; Negeri Sembilan dan Johor masing-masing 1 kasus.
Salah satu yang menuding PRN jadi sebab peningkatan kasus adalah mantan Perdana Menteri Malaysia Tun Dr Mahathir Mohamad. "Seharusnya PRN Sabah tidak diadakan," ujar pendiri Partai Pejuang Tanah Air (Pejuang) di Twitter, Senin (12/10/2020).
PRN SABAHhttps://t.co/C7WvmMGTVS
— Dr Mahathir Mohamad (@chedetofficial) October 12, 2020
1. Sepatutnya PRN Sabah tidak diadakan.
2. Sabah sudah ada PRN pada 2018. Warisan menang dan tubuh Kerajaan. Tapi Kerajaan pintu belakang Pusat berhasrat kuasai Sabah juga melalui pintu belakang.
Bubarnya DPRD, katanya, adalah imbas dari kisruh di tingkat nasional, yaitu mundurnya Mahathir pada 24 Februari 2020 dan digantikan Muhyiddin Yassin. Mahathir sendiri mengatakan "pemerintah pusat ingin menguasai Sabah dengan main belakang."
"Dari negeri yang selamat, Sabah jadi klaster. Ribuan orang akan jadi korban, meninggal pun ada. Kata pemimpin tertinggi, kalau menang, Pilihan Raya Umum (PRU) akan diadakan. Jangan mangkir janji. Adakan Pemilu biar ratusan ribu dijangkiti, biar lebih banyak mati," tulis Mahathir.
Perdana Menteri Muhyiddin Yassin juga mengakui "kampanye pemilu di Sabah adalah salah satu penyebab meningkatnya kasus COVID-19." "Tapi," katanya, "pemilu negara bagian harus berlangsung setelah kepala negara Sabah membubarkan majelis negara bagian pada 30 Juli."
Pelajaran untuk Indonesia
Pemilu juga dilaksanakan di Indonesia saat pandemi. Beberapa pihak memprediksi ini bakal memicu klaster baru dalam skala yang sangat luas.
Presiden Joko Widodo bahkan menyinggung soal 'klaster pilkada', meski ia sendiri--lewat juru bicaranya--menegaskan hajatan elite tersebut tidak dapat ditunda. Hanya ditekankan semua pihak harus patuh terhadap protokol kesehatan, meski dalam tahap awal saja itu sudah diabaikan.
Salah satu alasannya, pemerintah tidak ingin daerah serempak dipimpin oleh pelaksana tugas (Plt). Menurut Menkopolhukam Mahfud MD, seorang Plt tidak boleh ambil kebijakan strategis sehingga khawatir mengganggu roda pemerintahan, apalagi di tengah situasi pandemi.
Alasan lain, pemerintah sesumbar ingin menjamin hak konstitusi rakyat untuk memilih maupun dipilih.
Potensi penularan tak hanya terjadi dalam kerumunan, misalnya saat kampanye langsung yang diputuskan ditiadakan, tapi juga pada distribusi logistik. Selain itu, klaster pilkada juga mungkin semakin besar ketika para petugas di lapangan kelelahan, kata ahli kesehatan. Ini mirip seperti Pilpres 2019. Ketika itu banyak sekali petugas pemilu meninggal.
Pilkada akan diselenggarakan serentak di 309 daerah, dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Dengan skala sebesar itu, pemilu Sabah semestinya jadi peringatan bahwa super klaster adalah keniscayaan. Satgas Penanganan COVID-19 bahkan mengatakan lebih dari 60 persen dari daerah penyelenggara masuk zona rawan penularan.
Editor: Rio Apinino