tirto.id - Pemerintah tak berniat menunda Pilkada 2020, yang hari pencoblosannya direncanakan 9 Desember nanti, kendati pandemi COVID-19 tak menunjukkan tanda-tanda penurunan. Hingga Rabu 23 September 2020, kasus harian tembus rekor baru, yaitu 4.465.
Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman, Senin (21/9/2020), mengatakan Presiden Jokowi menegaskan pilkada tak bisa ditunda karena tak ada yang tahu kapan pandemi berakhir. “Karenanya,” kata Fadjroel, “penyelenggaraan pilkada harus dengan protokol kesehatan ketat.”
Salah satu yang dikhawatirkan dari tetap digelarnya pilkada di masa pandemi adalah ia jadi sumber penularan baru; jadi klaster baru. Untuk mengantisipasi ini pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu telah sepakat melarang kerumunan massa, termasuk konser. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian juga memastikan tak ada pengerahan massa saat pengumuman resmi penetapan pasangan calon.
Masalahnya, potensi penularan tidak hanya ada di kerumunan massa. Pakar epidemiologi dari Universitas Airlangga Surabaya Laura Navika Yamani mengatakan pendistribusian logistik pilkada juga “rawan jadi mata rantai penularan virus Corona,” kepada reporter Tirto, Rabu (23/9/2020).
Virus dapat berasal dari petugas. Tak ada yang tahu jika mereka membawa Corona, apalagi memang banyak orang tak bergejala (OTG). Potensi semakin besar jika para petugas dan tidak menerapkan protokol kesehatan: menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan, serta berasal dari daerah zona merah.
“Begitu pun sebaliknya, kalau petugas dari zona hijau ke zona merah rawan juga mereka jadi tertular. Kegiatannya akan berisiko karena ada mobilitas orang.”
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo bahkan mengatakan “tidak ada sejengkal pun tanah yang aman ketika masyarakatnya masih terpapar COVID-19.”
Sumber penularan pun bisa lewat barang-barang yang didistribusikan: kotak suara, surat suara, dan sebagainya. Barang-barang itu berbahan kertas dan kardus atau karton kedap air yang dikemas dengan plastik.
“Logistik bisa jadi media penularan. Tidak hanya droplet, tapi bisa jadi benda yang terkontaminasi,” kata Laura.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat, virus dapat bertahan hidup di kertas selama kurun waktu 4-5 hari dan plastik 5 hari sejak disentuh oleh orang yang membawa virus tersebut. Sementara menurut ahli virus dari National Institutes of Health (NIH) AS Neeltje van Doremalen dan rekan-rekannya di Rocky Mountain Laboratories, Hamilton, Montana, COVID-19 dapat bertahan lebih lama pada permukaan kardus atau kertas karton, yaitu hingga 24 jam. Pada jenis permukaan ini, virus menempel dengan lebih stabil.
Oleh karena itu Laura menyarankan agar pemerintah dan penyelenggara pemilu melakukan tes swab kepada petugas distribusi. Dengan demikian dapat dipastikan yang bersangkutan sehat. Kemudian, bekali mereka dengan alat pelindung diri seperti masker, face shield, dan sarung tangan.
Kemudian, logistik yang dibungkus plastik harus disemprot disinfektan sebelum didistribusikan dan setelah sampai ke tujuan. “Kalau bisa diamkan beberapa hari sesuai masa bertahan virusnya, sampai virus mati,” katanya.
Tak Menjamin
Plt Ketua Umum KPU Ilham Saputra mengatakan mereka tengah memetakan strategi distribusi peralatan pemilu, termasuk bagaimana caranya agar aman dari Corona.
“Kami akan menerapkan protokol COVID-19 yang ketat,” katanya kepada reporter Tirto, Rabu. “Kami sudah berkoordinasi dengan para panitia. Kalau diperlukan, daerah-daerah yang geografisnya sulit akan berkoordinasi dengan TNI-Polri.”
Janji KPU tidak lantas membuat petugas distribusi merasa aman. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Logistik dan Forwarding Indonesia (ALFI) Akbar Djohan mengatakan mereka, sebagai “garda terdepan dalam men-support logistik, pihak pertama yang akan bersentuhan dan bertemu dengan pihak yang melakukan pemilu”, tetap saja khawatir akan tertular.
“Pemilu itu periodenya pun cukup lama, kampanye, bertemu ini itu, kan berpotensi terjadi penularan,” katanya kepada wartawan Tirto, Rabu. “Saya takut akan jadi bom waktu jumlah pasien yang akan tidak bisa lagi tertangani,” apalagi biasanya distribusi peralatan pemilu dilakukan gotong royong bersama warga yang kesadaran terhadap “protokol kesehatan itu rendah.”
Ketakutannya tidak mengada-ada. Ada anggotanya tertular Corona saat menyalurkan bantuan logistik Corona--“mulai dari importasi rapid maupun alat kesehatan lain seperti masker, obat”--ke berbagai wilayah. Bahkan, hingga sekarang sudah ada dua pengurus asosiasi yang meninggal dan dinyatakan positif COVID-19.
Penularan terjadi ketika prosedur kesehatan sudah terbilang ketat. “Bahkan kami berikan ke SDM cuma-cuma, jadi pasti paham protokol. Tapi nyatanya ada korban dua pengurus kami meninggal karena COVID-19.” Pesan yang ingin Akbar sampaikan adalah, distributor alat kesehatan yang paham protokol saja ada yang tumbang, apalagi pengurus logistik pilkada yang bisa dibilang lebih awam.
Atas dasar itu semua menurutnya “akan sangat bijak kalau kita bisa menunda pilkada.”
“Menunda itu, kan, bukan membatalkan. Sebagian besar kepala daerah itu habisnya di Januari, Februari, sebagian lagi ada di Maret, Mei. Tapi kan ada mekanisme plt (pelaksana tugas). Mudaratnya akan jauh lebih besar,” katanya. “Pemerintah berulang kali bilang Desember sudah ada vaksin, sudah diedarkan Januari 2021. Nah [waktu pelaksanaan pilkada] itu yang kami harapkan.”
Pendapat serupa disampaikan Ketua Pusat Kajian Kesehatan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Puskakes Uhamka) M Bigwanto. “Risiko kelelahan membuat petugas rentan paparan virus,” katanya kepada wartawan Tirto, Rabu.
Selain itu, dampak negatif pelaksanaan pilkada di tengah pandemi juga tak melulu soal kesehatan. Masyarakat yang khawatir dengan pandemi sedikit banyak bisa memengaruhi tingkat partisipasi. “Jumlah pemilih kemungkinan turun karena orang pilih enggak ke luar rumah.”
Sama seperti akbar, atas dasar itu semua menurutnya tak ada solusi lain selain menunda pelaksanaan Pilkada 2020.
“Kalau kita ingat pemilu serentak ketika itu yang merenggut banyak korban nyawa dari petugas karena kelelahan (Pemilu 2019), sekarang ini risikonya dua kali lipat. Tidak ada cara pencegahan yang paling efektif selain ditunda.”
Penulis: Riyan Setiawan & Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino