Menuju konten utama

"Pedang Bermata Dua" Bernama Beauty Filter

Pemakaian beauty filter bisa menjadi sarana hiburan yang menyenangkan sekaligus ancaman bagi kesehatan mental seseorang. Bisakah diseimbangkan?

Header diajeng Beauty Filter. tirto.id/Quita

tirto.id - Siapa yang tidak ingin terlihat sempurna?

Hampir semua orang, baik perempuan maupun laki-laki, pasti memiliki aplikasi beauty filter di telepon selulernya. Aplikasi beauty filter seakan memenuhi kebutuhan untuk tampil tanpa cela. Dengan sekali klik, wajah kita seakan bisa dibuat sesuai keinginan.

Kebiasaan menggunakan beauty filter berawal dari budaya swafoto (selfie) yang dipopulerkan kanal media sosial Facebook dan MySpace pada awal tahun 2000-an.

Di awal kemunculannya, beauty filter sekadar berperan sebagai “gimmick” untuk pemasaran aplikasi penyunting foto yang biasa digunakan untuk mengoreksi hasil swafoto.

Namun kini, beauty filter justru memegang peran dominan dalam berbagai aplikasi penyuntingan gambar. Kanal media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Snapchat juga memiliki fitur filter sebagai bagian terintegrasi dari aplikasi utamanya.

Saat ini kita juga bisa “mendandani” tampilan video dengan fitur Studio Effects yang tersedia di aplikasi Zoom saat menghadiri pertemuan daring.

Selayaknya riasan yang bisa digunakan untuk mengoreksi penampilan seseorang, beauty filter juga demikian, bahkan dengan daya koreksi yang jauh lebih besar daripada riasan.

Ingin punya hidung mancung, kulit mulus, dan wajah tirus? Semua bisa terwujud dalam waktu sekian menit saja dengan filter. Tak heran bila jumlah pengguna beauty filter terus bertambah jumlahnya dari waktu ke waktu.

Sayangnya, seiring meningkatnya pemakaian beauty filter, banyak penelitian yang menyoroti dampak negatif pemakaian fitur ini.

Menurut penelitian di International Journal of Eating Disorder (2015), gadis remaja yang secara teratur mengunggah swafoto yang sudah diedit dengan filter memiliki tingkat ketidakpuasan tubuh lebih tinggi, harga diri lebih rendah, dan penurunan tingkat kepuasan hidup.

Itu semua bisa meningkatkan risiko munculnya gangguan dismorfik tubuh/ body dysmorphic disorder (BDD)—gangguan mental yang ditandai obsesi berlebihan untuk memperbaiki kekurangan yang menurut anggapan seseorang bisa ditemukan pada tubuhnya.

Padahal, sering kali, kekurangan tersebut sebenarnya tidak signifikan atau bahkan tidak terlihat oleh orang lain.

diajeng Beauty Filter

Ilustrasi Beauty Filter. (FOTO/iStockphoto)

“Ketika menggunakan beauty filter, orang akan merasa senang karena hasil selfie mampu mendekati standar kecantikan ideal sesuai konstruksi masyarakat. Rasa senang tadi akan diperkuat ketika selfie diunggah di media sosial dan mendapatkan apresiasi berupa pujian. Rasa senang ini merupakan bentuk reward positif yang membuat ia ingin kembali menggunakan beauty filter,” ungkap Wesmira Parastuti Mia, S.Psi, M.Psi, psikolog dan co-owner Klinik Psikologi Rumah Tumbuh Bintaro.

Perlu dipahami, cara orang menyikapi reward positif yang didapat dari pemakaian beauty filter sangat subjektif, tergantung latar belakang dan kondisi psikologis bawaan masing-masing.

Ada yang pada akhirnya memutuskan untuk memakai filter sesekali saja, namun ada pula orang yang terus mengulangi pemakaian beauty filter demi memanen reward positif, meski sadar bahwa sosok di dalam foto selfie bukanlah dirinya yang sebenarnya.

“Biasanya tindakan seseorang menggunakan beauty filter secara terus-menerus didasari oleh body image negatif dan rasa percaya diri yang kurang baik. Ia merasa tidak nyaman dan tidak percaya diri kalau hasil selfie tidak memenuhi standar kecantikan ideal yang berlaku di masyarakat,” jelas Wesmira.

Infografik Nofilter
Infografik Nofilter. tirto.id/Quita

Munculnya obsesi berlebihan terhadap standar kecantikan ideal ini menarik perhatian dan keprihatinan dari banyak orang, tak terkecuali para influencer yang notabene merupakan pelopor penggunaan beauty filter di kanal-kanal media sosial. Salah satunya adalah Sasha Pallari, influencer asal Inggris yang berprofesi sebagai model dan penata rias.

Sasha adalah penggagas kampanye #filterdrop di Instagram yang mengajak pengguna media sosial untuk menyadari kondisi ketika sebuah filter digunakan untuk konten promosi. Kampanye viral ini menjadi salah satu dorongan yang mendasari regulasi pembatasan pemakaian filter di Inggris.

Belakangan ini juga viral kreasi video dari lagu Tear in My Heart oleh Twenty-One Pilots di kanal TikTok dengan penggalan lirik “The songs in the radio are okay, but my taste in music is your face.”

Video ini menampilkan wajah seseorang dengan polesan make up dan beauty filter yang kemudian secara tiba-tiba berubah menjadi wajah tanpa make up dan beauty filter tepat pada lirik “your face”.

Influencer TikTok seperti Charli D’amelio dan Meg DeAngelis juga mengikuti tren ini dan menuai banyak komentar positif pada akun TikTok miliknya. Rata-rata mengapresiasi keberanian para influencer ini untuk tampil polos tanpa editan sehingga lebih relevan dan terhubung dengan realitas yang ada di masyarakat.

diajeng Beauty Filter

Ilustrasi Beauty Filter. (FOTO/iStockphoto)

Tren penghapusan beauty filter di media sosial yang digulirkan oleh para influencer ini, menurut Wesmira, patut diapresiasi meski akan lebih bijaksana apabila kampanye ini merangkul isu-isu lain yang sifatnya lebih umum, seperti isu mencintai diri sendiri (self-love), menjadi diri sendiri (be yourself), pencitraan tubuh secara positif, dan menonjolkan kekuatan pribadi.

“Isu-isu tersebut lebih menjangkau pangkal permasalahan yang menyebabkan seseorang menggunakan beauty filter secara berlebihan, sehingga barangkali akan lebih efektif menghalau dampak negatif pemakaian beauty filter.

Pasalnya, dalam takaran wajar, beauty filter sebenarnya bisa bermanfaat sebagai sarana hiburan dan merangsang kreativitas,” jelasnya.

Meski begitu, tak dimungkiri bahwa pemakaian beauty filter secara berlebihan bisa berdampak buruk, terutama pada diri mereka yang memiliki latar belakang dan kecenderungan kondisi psikologis tertentu.

Itu sebabnya, Wesmira menyarankan pemakai beauty filter untuk menggunakan fitur tersebut dengan kesadaran diri yang baik.

“Kita harus mulai waspada apabila merasa sudah menghabiskan terlalu banyak waktu untuk mengedit foto dengan beauty filter. Atau apabila ternyata lebih dari separuh unggahan di media sosial merupakan hasil editan dengan beauty filter. Jangan sampai pemakaian filter ini menimbulkan ketergantungan dan menghalangi diri kita untuk merasa nyaman menampilkan diri apa adanya,” ujar Wesmira.

Dengan memanfaatkan filter, kita bisa mencoba “memakai” busana dan make up yang menjadi incaran. Di satu sisi, pemakaian beauty filter memang bisa menimbulkan tantangan berupa masalah psikologis pada sebagian orang.

Namun dengan modal dasar berupa kesadaran diri, penghargaan diri yang baik, dan pencitraan tubuh secara positif, setiap orang semestinya mampu dan memiliki kesempatan yang sama untuk memanfaatkan keberadaan filter di dunia maya sebagai sarana mengekspresikan diri dan mencicipi pengalaman baru yang memperkaya wawasan.

* Artikel ini pernah tayang di tirto.idpada 5 September 2022.Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk keperluan redaksional Diajeng.

Baca juga artikel terkait BEAUTY atau tulisan lainnya dari Nayu Novita

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Nayu Novita
Penulis: Nayu Novita
Editor: Lilin Rosa Santi