tirto.id - Di penutupan Kongres ke-6 PDIP di Bali, Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, menyampaikan pernyataan terkait masa depan partainya. Megawati menegaskan bahwa PDIP tidak akan menjadi partai oposisi bagi pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Dia menyebut bahwa partai berlogo banteng moncong putih tersebut akan menjadi penyeimbang bagi kekuasaan rezim saat ini.
"Peran kita adalah memastikan bahwa pembangunan nasional tetap pada rel konstitusi," kata Megawati di Bali Nusa Dua Convention Center, Bali, Sabtu (5/8/2025) dikutip dari Antara.
Pilihan untuk menjadi penyeimbang, menurut Megawati, adalah amanat konstitusi. Sebab, dalam sistem ketatanegaraan, Indonesia adalah demokrasi presidensial dan bukan parlementer. Dia menekankan bahwa kedaulatan tertinggi bagi Indonesia adalah rakyat dan konstitusi.
“Demokrasi Indonesia bukanlah demokrasi blok-blokan kekuasaan, tetapi demokrasi yang bertumpu pada kedaulatan rakyat dan konstitusi,” ujarnya.
Sikap Megawati yang memilih untuk menjadi penyeimbang, menuai pertanyaan publik. Sikap yang melunak kepada pemerintahan Prabowo dinilai sebagai bentuk barter kekuasaan, karena sang kader, Hasto Kristiyanto, telah dihadiahi amnesti dan langsung bebas dari jeruji besi Rutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Prabowo.
Kepala Laboratorium Indonesia 2045, Jaleswari Pramodhawardani, menganalisa bahwa ada alasan lain mengapa Megawati lebih memilih diksi 'penyeimbang' daripada 'oposisi' bagi partainya, di hadapan kekuasaan Prabowo selama lima tahun mendatang.
Menurutnya, PDIP saat ini enggan secara frontal dalam menentang kekuasaan, masih ada pertimbangan pragmatis demi menjaga kepentingan partai.

"Ini adalah sebuah upaya untuk mempertahankan otonomi dan relevansi politik dengan cara yang halus, namun berpotensi sangat efektif," kata Jaleswari dalam keterangan yang diberikan kepada Tirto, Selasa (5/8/2025).
Pilihan PDIP untuk tetap berada di luar arena pemerintahan dapat membuat partai tersebut tidak terikat dari cengkeraman hutang budi yang diberikan Prabowo, setelah Prabowo membebaskan Hasto. Menurutnya, Prabowo berupaya menarik PDIP dalam blok hegemoni kekuasaan pemerintahan baru, namun Megawati berusaha menolaknya secara halus dan perlahan.
"Jika mereka memilih berada di luar pemerintahan, mereka dapat menggunakan posisi ini untuk mengkritisi kebijakan, menyuarakan aspirasi rakyat, dan mendorong agenda yang berbeda dari pemerintah," ungkapnya.
PDIP Kian Lunak di Hadapan Pemerintahan Saat Ini?
Sikap PDIP untuk menjadi penyeimbang kekuasaan, istilah halus dari oposisi, bukanlah yang pertama kali bagi partai ini sejak awal mula berdiri. Lima belas tahun lalu, di pidato Kongres ke-3 PDIP, Megawati menyampaikan hal yang sama untuk menjadi penyeimbang bagi kekuasaan yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Saat itu, Megawati beralasan bahwa berada di luar pemerintahan menjadikan PDIP lebih terhormat, karena bisa mengawal secara lebih objektif seluruh kebijakan Kabinet Indonesia Bersatu.
"Tidak berarti kita anti kekuasaan, tetapi lebih terhormat jika kita berada pada posisi sebagai kekuatan penyeimbang, agar check balance berlangsung semakin baik," kata Megawati dikutip dari Antara, Selasa (6/4/2010).
Saat itu, pidato Megawati terdengar gahar dan tegas menolak segala tawaran untuk bergabung dalam koalisi yang dipimpin oleh SBY. Dia berulang kali menyebut bahwa PDIP adalah partai ideologi dan tidak akan bergabung dalam pemerintahan hanya sekedar demi iming-iming kekuasaan.
"Satu hal yang aneh, kalau saya disuruh terus menerus untuk bergabung (dengan kekuasaan). Saya punya visi misi tersendiri dengan rakyat kita," kata Megawati.
Namun di pidato kali ini, Megawati terlihat kian kompromistis terhadap rezim. Bahkan, dalam sejumlah pemberitaan, PDIP disebut telah mendapat tawaran khusus untuk bergabung ke dalam Kabinet Merah Putih. Namun, kabar itu kemudian ditepis oleh Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, dan oleh internal PDIP.
Ketua DPP PDIP, Deddy Yevri Hanteru Sitorus, mengungkap ada sejumlah alasan mengapa partainya kini lebih bersahabat terhadap rezim Prabowo Subianto dibanding SBY, walaupun sama-sama menjadi penyeimbang. Alasan pertama adalah program dan kebijakan yang dinilai lebih liberal dibanding Prabowo yang memiliki jargon nasionalis.
"Dulu program dan kebijakan rezim SBY cenderung lebih liberal sementara Prabowo kuat dengan slogan nasionalis," kata Deddy, saat dihubungi Tirto, Selasa (5/8/2025).

Tanpa menyebut nama Joko Widodo, Deddy menjelaskan bahwa pemerintahan Prabowo saat ini memiliki beban masa lalu akibat penguasa sebelumnya. Oleh karenanya, Prabowo butuh dukungan stabilitas politik demi menghadapi segala tantangan baik di dalam maupun luar negeri.
"Dulu SBY tidak direcoki dengan beban masa lalu pemerintahan sebelumnya. Saat ini Pak Prabowo membutuhkan stabilitas politik, karena beban pemerintahan masa lalu dan tantangan geopolitik yang besar," jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa Megawati ingin mengembalikan aturan konstitusi sesuai dengan perundang-undangan. Menurutnya, dalam sistem konstitusi Indonesia, tidak dikenal oposisi maupun koalisi namun kerja sama politik.
"Kenapa sekarang jadi penting istilah penyeimbang karena Bu Mega ingin menegakkan kembali konstitusi dengan sistem presidensil agar tidak rancu dalam teori dan praktik," terangnya.
Solusi Menyenangkan Banyak Pihak
Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Herman Khaeron, mengenang partainya sempat bernasib serupa dengan PDIP selama 9 tahun masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Menurutnya, PDIP telah melakukan pilihan tepat karena dapat mewakili aspirasi rakyat untuk lebih objektif dalam memberikan masukan bagi pemerintah.

"Kalau kebijakan negara sesuai dengan aspirasi dan harapan rakyat kami mendukungnya, tetapi kalau ada hal-hal yang tentu bertentangan dengan aspirasi dan harapan rakyat, mengkritisinya, mengkritisi secara proporsional," kata Herman di Kompleks MPR/DPR RI, Selasa (5/8/2025).
Perihal kursi kabinet yang akan ditawarkan kepada PDIP, Herman menyerahkan sepenuhnya kepada Prabowo. Menurutnya, keputusan penempatan menteri dan kepala lembaga adalah hak prerogatif dari presiden.
"Penetapan kabinet itu hak prerogatifnya presiden, jadi selama bahwa presiden menetapkan pilihan-pilihan itu ya kita hormati, karena itu hak prerogatifnya. Karena kemudian tidak bisa dipertentangkan dengan pihak-pihak lainnya," terangnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyebut bahwa dirinya bersama Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, sempat bertemu dengan Megawati. Dalam pertemuan yang diikuti oleh putra dan putri Megawati, Prananda Prabowo dan Puan Maharani, ia menyampaikan pesan ucapan selamat dari Prabowo terkait Kongres PDIP. Sejumlah pihak menilai, ucapan selamat itu sebagai bentuk jaminan atas kongres yang dilaksanakan di Bali.
"Sehingga dalam kesempatan itu, Pak Prabowo sebagai ketua umum, menitipkan pesan selamat atas kongres dan beberapa hal yang terkait dengan masalah undang-undang Pemilu," kata Dasco, Senin (4/8/2025).
Sebagai utusan Prabowo, Dasco dan Prasetyo Hadi menerima pesan dari Megawati terkait pembangunan Museum Bung Karno.
"Ada beberapa hal mengenai Museum Bung Karno," terangnya.
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya, mengungkapkan bahwa sikap PDIP untuk berada di luar pemerintahan menjadi pilihan yang menyenangkan bagi banyak pihak. Bagi PDIP, berada di luar pemerintahan akan membuat partai berideologi Marhaen tersebut menjadi fleksibel, tak segan untuk berkawan, namun tak takut untuk melontarkan kritik.
"PDI Perjuangan berada di luar, membuatnya mendapat keuntungan lebih fleksibel dalam bersikap," kata Yunarto saat dihubungi Tirto, Selasa (5/8/2025).
Selain itu, Yunarto berpendapat bahwa keputusan PDIP untuk menjadi penyeimbang kekuasaan muncul atas restu Prabowo. Hal itu menguntungkan Prabowo karena dapat menyelamatkannya dari citra negatif antidemokrasi, karena masih membiarkan eksistensi partai politik untuk menempati posisi di luar pemerintahan.

"Di sisi lain juga Prabowo Subianto kemudian mendapat keuntungan yaitu image Prabowo Subianto untuk tetap menempatkan check and balances dalam rezimnya," jelasnya.
PDIP yang tidak mendapat kursi menteri juga membuat senang partai-partai yang tergabung dalam Kabinet Merah Putih. Sebab, kursi menteri dan kepala lembaga, yang saat ini telah dibagi kepada partai dan relawan, akan tetap aman dan tidak tergoyang oleh Megawati yang bersahabat dengan Prabowo.
"Mereka (partai politik) akan merasa tidak nyaman ketika ada partai baru masuk, jadi menurut saya ini win-win solution, ketika mereka akhirnya melihat bahwa mencairnya hubungan politik antara Megawati dengan Prabowo tanpa harus mengorbankan kursi kue kekuasaan yang mereka miliki," pungkasnya.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































