Menuju konten utama

PBB: Lindungi Kebebasan Berekspresi Veronica Koman

Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mendesak pemerintah Indonesia melindungi Veronica Koman agar tetap dapat melaporkan isu Papua dan Papua Barat.

PBB: Lindungi Kebebasan Berekspresi Veronica Koman
Ilustrasi UU ITE. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights) mengeluarkan pernyataan terkait aktivis HAM, Veronica Koman.

Dalam pernyataannya, Indonesia harus melindungi hak semua orang untuk melakukan unjuk rasa damai. Kemudian memastikan akses ke internet dan melindungi hak-hak pembela hak asasi manusia Veronica Koman dan semua orang yang melaporkan aksi unjuk rasa di Papua dan Papua Barat.

"Kami menyerukan langkah-langkah segera untuk memastikan perlindungan kebebasan berekspresi dan mengatasi tindakan pelecehan, intimidasi, campur tangan, pembatasan yang tidak semestinya, dan ancaman terhadap mereka yang melaporkan aksi unjuk rasa," kata para ahli PBB.

Polda Jawa Timur menjerat Veronica Koman dengan pasal berlapis: UU ITE, KUHP pasal 160 KUHP, UU Nomor 1 Tahun 1946, dan UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

"Kami mengapresiasi tindakan pemerintah terhadap insiden rasis, tetapi kami mendesaknya untuk mengambil langkah segera untuk melindungi Veronica Koman dari segala bentuk pembalasan dan intimidasi dan membatalkan semua tuduhan terhadapnya," katanya.

"Sehingga ia dapat terus melaporkan secara independen tentang hak asasi manusia dan situasi di negara ini," kata mereka.

Para ahli juga menyatakan keprihatinan serius atas laporan yang mengindikasikan Polda Jawa Timur untuk mencabut paspornya, memblokir rekening banknya dan meminta Interpol untuk mengeluarkan Red Notice untuk menemukannya. Hal ini terkait dugaan polisi, Veronica Koman berada di luar negeri.

Para ahli menekankan, pembatasan kebebasan berekspresi tidak hanya merusak diskusi tentang kebijakan pemerintah, tetapi juga membahayakan keselamatan para pembela HAM yang melaporkan dugaan pelanggaran.

"Aksi unjuk rasa ini tidak akan bisa dihentikan oleh penggunaan kekuatan yang berlebihan atau dengan menindak kebebasan berekspresi dan akses ke informasi," kata para pakar PBB.

"Kami mendesak pemerintah Indonesia untuk mengakui hak-hak semua pengunjuk rasa dan untuk memastikan kelanjutan layanan internet. Kami menyambut baik pemulihan internet pada 4 September di hampir semua provinsi Papua dan Papua Barat," tulis laporan ini

Kemenkominfo telah membatasi internet sepenuhnya pada 21 Agustus di Papua dan Papua Barat dengan alasan memulihkan keamanan dan ketertiban dengan dalih mencegah hoaks selama protes.

"Pembatasan internet dan akses ke informasi secara umum berdampak buruk pada kemampuan individu untuk mengekspresikan diri, dan untuk berbagi dan menerima informasi. Di sisi lain, akses ke internet berkontribusi untuk mencegah disinformasi dan memastikan transparansi dan akuntabilitas," ujar para ahli.

Pernyataan ini dikeluarkan oleh para ahli PBB, Senin, 16 September 2019, oleh sejumlah pelapor yakni:

  1. Pelapor Khusus tentang hak untuk berkumpul dan berkumpul secara damai, Clement Nyaletsossi Voule (Togo).
  2. Pelapor Khusus untuk promosi dan perlindungan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi David Kaye (AS).
  3. Pelapor Khusus tentang kekerasan terhadap perempuan, penyebab dan konsekuensinya Dubravka Šimonović (Kroasia).
  4. Ketua Kelompok Kerja tentang diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan Meskerem Geset Techane (Ethiopia)
  5. Pelapor Khusus tentang situasi pembela HAM Michel Forst (Prancis).

Baca juga artikel terkait KASUS HAM atau tulisan lainnya dari Zakki Amali

tirto.id - Hukum
Penulis: Zakki Amali
Editor: Abdul Aziz