tirto.id -
Kepakkan sayapmu setinggi-tinginya. Begitu Khahlil Gibran mengatakan. Ini pun yang diinginkan orang tua Tulus, penderita kanker sejak usia 2 tahun.
Di tengah sakitnya, Tulus tetap didorong bersekolah. Tulus tidak masuk homeschooling karena sewaktu dia kecil belum banyak piilihan homeschooling. Tapi ia bersyukur orang tuanya memasukkan ke sekolah umum.
“Sekolah dan bertemu teman-teman itu menyenangkan. Membuat lupa saya ini pasien kanker. Lagipula, ke depannya anak dengan pasien kanker itu memang harus punya bekal diri dan kemampuan bersosialisasi untuk kehidupannya. Tidak bisa hanya nyaman hidup di dalam ‘sangkar emas-nya’,” nasehatnya.
Cuma memang butuh usaha lebih dari orang tua untuk survei dan mencek kondisi dan kebijakan sekolah untuk anak dengan kanker.
Tulus mengungkapkan, orang tuanya memilih sekolah sewaktu ia kecil itu dekat dengan rumah sakit, sehingga bila terjadi sesuatu, bisa dengan cepat ditolong. Di samping itu, perlu kejujuran untuk terbuka dengan kondisi anak, dan mengetahui sejauh mana sekolah mendukungnya.
Misalnya untuk pasien leukimia seperti Tulus, perlu dispensasi untuk pelajaran olahraga. Aktivitas bila melelahkan bisa berakibat fatal. Begitu pun kelonggaran untuk absensi dan ujian.
“Saat SMA, tingkat kehadiran saya di kelas hanya 20 persen. Pernah pula untuk ujian negara itu saya datang dengan ambulans rumah sakit. Saya mengerjakan soal ujian dengan infus terapi terpasang,” kenangnya.
Meski sekolah bersikap lunak, bukan berarti anak dengan kanker leyeh-leyeh belajar. Disiplin belajar tetap perlu diterapkan orang tua. Tulus menaungkapkan, orang tua juga tidak membatasi cita-citanya.
Saat Tulus kecil ingin menjadi dokter, yang terinspirasi dari ayah yang menjadi fisioterapis, orang tuanya tidak melarang.
“Ketika saya dirawat inap, papa membawakan buku-buku eksakta dan terkait kedokteran. Pelan-pelan baru orang tua membeberkan secara logis tentang kerja seorang dokter yang butuh energi dan stamina yang besar. Ini membuat saya berpikir sendiri. Akhirnya memilih kuliah di bidang teknologi informatika dan melanjutkan jenjang S2 di bidang manajemen bisnis,” ujarnya.
Barikade Pengamanan
Namanya anak-anak, Tulus kecil kadang bandel juga. Walaupun dilarang olahraga, Tulus mengaku terkadang tergoda turut bermain sewaktu teman-teman sekolahnya bermain bola basket atau sepak bola. Dia ikut bermain sebentar. Begitu juga saat teman-temamnya bermain sepeda di seputar lingkungan rumah.
Di sini, ibunya berusaha mengingatkan bahaya jika seorang pasien leukimia menjadi terlalu lelah. Ada seorang teman Tulus yang sama-sama penderita leukemia dan menjalani kemoterapi, setelah main sepeda mengeluhkan pusing. Ia segera dibawa ke rumah sakit. Sayangnya, nyawa teman Tulus tak tertolong sewaktu dalam perjalanan.
Orang tuanya juga berusaha mengalihkan godaan aktivitas luar ruang yang bisa bikin Tulus kebablasan dengan cara lain. Ayahnya yang cukup royal, beberapa kali membelikan permainan video, seperti sega atau playstation.
“Kalau sekarang bisa dilakukan dengan memberikan games online atau tontonan Youtube anak di hape. Walau berpotensi membuat waktu layar anak bertambah, namun untuk anak penderita kanker, hal ini sangat membantu sehingga anak tidak rewel dan merasa kesal dengan rasa sakitnya. Hal ini juga membuat anaklebih betah di rumah,” saran Tulus.
Ibunya juga membuka rumah untuk jadi ‘markas’ bermain teman-teman Tulus. Rumah memang jadi berantakan, namun lebih memudahkan mamanya untuk mengawasi Tulus.
Dengan mengenal teman-temannya, Tulus menuturkan, membuat ibunya tidak sungkan untuk meminta bantuan dalam mengawasi Tulus di sekolah. Mereka diminta segera menghubungi guru jika melihat Tulus mengeluarkan darah di hidung (mimisan), tampak pusing atau kelelahan.
Meski demikian, orang tuanya tidak melarang jika Tulus ingin nongkrong, nonton film, atau pergi ke mal dengan teman-teman. Ia boleh saja sesekali menikmati makanan siap saji.
“Ini membantu saya tidak terlihat terlalu berbeda dari teman-teman. Tak banyak teman yang tahu riwayat penyakit saya. Pengalaman mengajarkan, justru banyak teman menjauh jika mengetahui saya “penyakitan”. Entahlah, saya tak tahu apa penyebabnya. Padahal, kanker bukanlah penyakit menular,’ tuturnya.
Belajar Bersyukur
Kondisi anak dengan kanker naik turun, sekali pun sudah menyelesaikan rangkaian pengobatan. Tulus pun merasakannya. Setelah melewati bertahun-tahun kemoterapi, ia sempat merasakan istirahat dari kanker. Ada sakit, tapi tidak begitu mendera.
Secara fisik — terlebih saat sehat — banyak orang tak percaya ia mengidap leukemia tergolong akut, yang sewaktu-waktu bisa membahayakan hidupnya, salah satunya guru olahraga SMP. Ia memaksa Tulus harus ikut praktik ujian olahraga. Padahal Tulus sudah mengantongi dispensasi dari kepala sekolah. Ujian tersebut mengharuskan Tulus berlari memutari area Rawamangun.
Ia dikawal tiga orang teman yang mengetahui penyakitnya. Tulus tidak memaksakan diri. Tapi sebelumnya tidak pernah berlari sejauh itu. Tiba-tiba kepalanya serasa berputar, tubuh lemas, nyaris pingsan. Ia dibopong oleh beberapa teman untuk mencapai sekolah.
Tadinya Tulus mengira, usai beristirahat, tubuhnya kembali fit. Ternyata kondisi lemas dan lelah itu berujung panjang. Beberapa hari kemudian tubuhnya, dari bagian leher hingga kaki, tidak bisa digerakkan sama sekali, bahkan untuk memiringkan badan saja tidak mampu.
Hasil observasi menunjukkan ia terkena GBS (Guillain-Barre Syndrome). Virus GBS ini agaknya masuk melalui udara ketika imunitas menjadi rendah akibat sangat kelelahan sewaktu berlari.
GBS menyerang saraf di sepanjang kaki dan tangan, dan terkadang otot di perut dan punggung. Ini mengakibatkan lumpuh total. Ia hanya bisa menggerakkan leher. Lainnya lemas tanpa daya.
Hadirnya penyakit ini kemudian sering merecoki kehidupan Tulus bersama kanker darah, bahkan hingga kini. Jika serangan timbul, ia bisa dirawat di rumah sakit hingga 3 bulan lamanya. Penyakit lain pun turut mampir, seperti hepatitis C, pneumonia, kerja jantung melemah dan pernah terjadi penyempitan saraf di otak.
“Jika ditotal, saya lebih dari 30 kali rawat inap di rumah sakit. Untuk pembiayaan, wah, lumayan banget. Orang tua merelakan menjual satu rumah dan dua mobil, demi saya. Sejak 2020, kembali kondisi saya melemah. Saya pun harus keluar dari pekerjaan untuk bolak balik kemoterapi dan terapi target,” katanya, mengungkapkan.
Menyerah? Bukan pilihan baik bagi Tulus maupun orang tuanya.
“Orang tua saya selalu percaya bahwa harta bisa dicari. Kesehatan yang terpenting,” ujar Tulus. Ia sendiri berusaha tidak menggantungkan hidup kepada orang tua. Apalagi, ia sudah menikah dengan istrinya, Frieska Leonardo.
“Saya tetap berusaha mandiri. Dorongan tetap mengasah ilmu meski punya penyakit kanker sejak kecil itu berbuah saat ini. Saya bisa tetap mencari peluang menjadi menjadi analis investasi saham dan bisnis di tengah keterbatasan diri,” ujarnya.
Bolak balik ke rumah sakit dan terbaring berhari-hari hingga berbulan-bulan di rumah sakit malah juga menginspirasi Tulus membuat komunitas kanker untuk usia muda, yaitu CISC Youth. Anggotanya usia 15 hingga 40 tahun. Ia mendirikan ini karena merasakan sendiri tidak mudah menderita kanker pada usia muda.
“Ketakutan dan kekhawatiran menghadapi pengobatan dan menganggap pengobatan hanya akan sia-sia, serta kanker ini hanya akan menghabiskan biaya orang tua itu menjadi dua kegalauan terbesar sebagai pasien kanker usia muda,” ujarnya.
Masalahnya kegalauan tersebut kadang-kadang sulit diungkapkan, karena cara komunikasi yang berbeda antara anak muda dan orang tua.
“Nah, inilah yang coba dijembatani di dalam CISC youth.”
Puluhan tahun dengan kanker dan didera ribuan pengobatan, menurut Tulus, menjadi kebohongan besar jika tidak berpikir soal kematian. Dari 30-an anak yang sewaktu kecil sama-sama ikut terapi leukimia di RSCM, seorang demi seorang sudah menghadap Tuhan. Tinggal ia sendiri. Fakta yang tak bisa dibantah.
Tulus menilai, seperti dirinya, orang tua pun pasti pernah rapuh karenanya. Hebatnya, Tulus memuji, hingga kini ibu dan ayahnya tidak memperlihatkan kerapuhan hati di hadapannya.
“Percayalah, umur itu rahasia Tuhan. Jangan marah pula kepada Tuhan untuk sakitmu. Yang penting, kamu terus semangat menghadapi penyakitmu sehingga membuka jalan untuk melihat penyembuhan,” ujar Tulus menirukan nasehat orang tuanya.
Merawat Anak dengan Leukemia
Indratno Antonius dan Weni Setiseni bahu-membahu dalam menjaga kesehatan anak sulungnya selama bertahun-tahun. Menurut Tulus, orang tuanya termasuk berhasil membesarkannya - anak dengan leukemia.
Ia ingat, ia diberi makanan yang mengandung protein tinggi dan higienis untuk mempertahankan gizi yang baik selama pengobatan. Makanan penting agar anak dengan leukimia tidak rentan terpapar bakteri atau virus .
Daripada vitamin berupa suplemen, orang tuanya lebih baik memberi asupan banyak buah-buahan segar sebagai sumber vitamin alami. Juga menjaga kebersihan makanannya.
Ia juga tidak makan sayuran atau lalapan mentah di resto atau warung — apalagi dapurnya agak jorok — atau yang tempat sumber pengolahannya tidak terjamin kebersihannya. Kemungkinan, masih ada sisa pestisida. Padahal,sisa pestisida ini bisa merangsang virus muncul lagi.
Memasak makanan sendiri adalah pilihan terbaik daripada membeli. Bila sudah cukup besar, orang tua dengan leukimia juga dapat mengajarkan cara memasak sederhana dan praktis kepada anak, supaya tidak tergantung pada makanan di luar.
Anak juga tidak boleh mengonsumsi makananan yang diawetkan, diberi tambahan pemanis, pewarna dan mengandung penguat rasa.
Orang tua perlu memerhatikan adanya gejala infeksi (panas tinggi, menggigil, batuk, dan sakit tenggorokan), perdarahan abnormal (luka lembam, adanya bintik cokelat tua atau kemerahan). Apabila terjadi perdarahan, kompres, kemudian tekan di tempat terjadinya perdarahan.
Untuk kesehatan mulut dan gigi, berikan anak sikat gigi yang lunak, hindari makanan yang panas dan pedas.
Obat kumur baik digunakan untuk cegah bakteri. Dan pastikan anak dengan leukimia memiliki waktu istirahat yang cukup dan tidak beraktivitas yang terlalu melelahkan agar tidak mengundang virus yang berbahaya.
Orang tua Tulus secara telaten merawat Tulus selama bertahun-tahun, dan berhasil membuatnya bisa menikmati hidup, sampai saat ini.
Penulis: Yuniarti Tanjung
Editor: Lilin Rosa Santi