tirto.id - Moonface, wajah seperti bulan tampak pada raut muka FX Tulus Prabowo. Moonface ini pengaruh efek dari obat kortikosteroid yang dikonsumsi dalam dosis tingg.i Ia pun menggunakan bantuan kursi roda untuk bergerak hampir dua tahun belakangan.
Rambut bagian depannya mulai menipis. Namun, jangan bayangkan kesedihan mewarnai. Senyum, senyum dan senyum … selalu terhias di wajahnya.
“Besok saya akan PCR. Karena akan menjalani kemoterapi dan pengobatan lainnya untuk leukimia dan Guerlainn Barre Syndrome (GBS) yang saya derita. Ini akan berlangsung selama dua atau 3 minggu,” katanya.
Tahun ini FX Tulus Prabowo genap berusia 36 tahun. Dengan usianya ini nyaris sepanjang hidup bersama kanker darah atau leukemia. Kemoterapi sudah “dicicipi” sejak ia belum lancar bicara dan berjalan. Di sore ini ia berbagi kisah hidup bersama leukimia dari kecil hingga dewasa.
“Mudah-mudahan bisa bersama memberikan inspirasi dan menyemangati anak dengan kanker, khususnya leukimia, dan para orang tua yang memiliki anak yang menjadi pasian kanker,” harapnya
Cari Penyebab hingga Terjawab
Sudah teramat lama kanker ini bertahan di dalam tubuh Tulus. Nyaris Sepanjang hidupnya, ia bersama leukimia, salah satu kanker yang paling mematikan.
Sejak usia dua tahun, ia terindikasi menderita Acute Lymphoblastic Leukemia atau Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) atau dikenal juga sebagai leukemia limfositik.
Kanker darah ini terjadi ketika limfoblas (sel darah putih yang belum matang) memperbanyak diri dengan cepat dan agresif.LLA ini membuat trombositnya selalu di atas angka normal. Angka Haemoglobin (HB) turun, sementara leukosit kadang-kadang tinggi.
Dilansir dari laman IDAI, anak dengan LLA ini membuat penderitanya rentan mengalami anemia, pendarahan dan infeksi. Bisa jadi pula mengalami Hiperleukositosis yang dapat menyebabkan komplikasi atau penyakit penyerta berupa kejang, sesak, perdarahan pada paru, otak maupun ginjal.
Itulah yang terjadi pada Tulus kecil.
“Dari bayi itu HB selalu rendah. Perawakan saya seperti anak kurang gizi. Saya kerap mengalami flu atau batuk. Kalau sudah kena, lama sekali baru sembuh. Seringkali pula mengalami panas tinggi yang susah sekali turunnya. Pernah suhu tubuh saya mencapai 42 derajat Celcius! Padahal, dari pengecekan jantung, paru, dan beberapa organ lain, semua menunjukkan hasil bagus,” tuturnya.
Tentu kondisi itu merisaukan orangtuanya, Indratno Antonius dan Weni Setiseni. Tapi orang tuanya tak larut dalam kerisauan, Tulus mengatakan, orangtuanya mengonsultasikan anaknya secara intensif ke dokter anak dan spesialis penyakit dalam yang juga konsultan hematologi dan onkologi medik.
Akhirnya, teka-teki penyakit Tulus batita pun terjawab setelah dilakukan tes BMP (Bone Marrow Punction), yaitu mengambil cairan sumsum tulang. Ia menderita LLA.
Terpuruk Boleh, tapi Lakukan Segera Pengobatan
Orang tua mana yang tak terkejut ketika mengetahui anaknya terkena kanker. Apalagi harus menjalankan kemoterapi untuk kemoterapi.
“Mama dan Papa saya pun sangat terkejut dan sedih. Mereka sama sekali tak menyangka demam berkepanjangan yang diderita anak sulungnya itu berujung pada penyakit yang bisa mengantarkan maut,” ujarnya.
Tulus mengucapkan syukur bahwa di tengah kesedihan, orang tuanya segera melakukan tindakan nyata agar nyawa anaknya bisa diselamatkan, sekali pun harus melewati langkah sulit.
Untuk LLA, Tulus harus segera menjalani kemoterapi. Kemoterapi menjadi pengobatan utama untuk membunuh sel-sel kanker. Kemoterapi ini dilakukan dalam beberapa fase. Selain kemoterapi, ia pun mengonsumsi berbagai obat untuk mencegah virus dan bakteri. Tidak mudah, bahkan untuk seorang yang sudah dewasa.
Tulus ingat setiap dua minggu sekali ia menjalani kemoterapi. Tentunya butuh persiapan.
“Rutinitasnya adalah ambil darah untuk cek Kesehatan darah pada pagi hari. Kalau hari sekolah, setelah ambil darah, baru ke sekolah. Lalu, pulang sekolah saya menjalani kemoterapi atau transfusi darah dahulu jika kondisi darahnya tidak bagus, misalnya HB rendah (di bawah 10). Kemoterapi ini seharusnya rawat inap, tapi saya tidak mau. Untuk kemoterapi ini pernah baru selesai pukul 2 malam,” kenangnya.
Setelah kemoterapi, tugas lainnya menanti.
“Leukosit atau sel darah putih seringkali drop. Ini membutuhkan obat suntik untuk menaikkan sel darah putih. Saya pun butuh transfusi darah untuk mencegah perdarahan dan menjaga HB terjaga agar tidak anemia,” lanjutnya.
Rutinitas yang menguras energi dan emosi pasien anak dan orang tua juga. Tulus mengungkapkan, ibunya memutuskan berhenti bekerja demi mendampinginya.
Memang butuh fokus dan kesabaran besar bagi orang tua untuk memastikan anak dengan kanker mengikuti terapi.
Buat si Kecil Bahagia Jalani Terapi
Kemoterapi menimbulkan reaksi yang membuat pasiennya menjadi mual, muntah, pusing dan mood buruk sekali.
"Namun, sewaktu balita itu jujur saja, saya tidak terlalu merasakan efek kemoterapi semacam itu. Yang ingat itu saya sulit sekali makan. Waktu balita, mama mengatakan saya setiap hari hanya makan sekitar 2-5 sendok makanan. Jika melihat foto kecil dulu memang badan saya kurus sekali,” ujarnya.
Tulus ingat pula ia punya banyak mainan sewaktu kecil.
“Membelikan mainan ternyata cara orang tua membujuk saya mau menjalankan kemoterapi, berbagai pemeriksaan dan mau membuka mulut untuk makan. Mainan ini tak harus mahal, lho,” sambungnya, sambil tertawa.
Cara lain untuk membujuknya makan, ia diajak jalan-jalan atau makan di luar. Suasana yang berbeda agaknya membuat nafsu makan lebih meningkat.
Kemoterapi rutin dijalani Tulus kecil hingga tahun. Dari usia balita hingga masuk usia sekolah dasar. Mengapa orang tuanya begitu ngotot membawa Tulus menjalankan terapi kanker secara rutin?
“Ini karena orangtua saya menyakini perkataan dokter yang mengatakana bahwa LLA yang sering diderita oleh anak balita itu jika diketahui sejak dini dan segera diterapi, harapan hidup penderita LLA semakin tinggi.”
Selain itu, orang tua pun tidak ingin hal fatal menimpa Tulus.
“Mama memang tak mau melewatkan jadwal kemoterapi satu kali pun. Mama mengingat kejadian yang menimpa seorang teman saya sesama leukimia. Kemoterapinya hanya terlewat satu minggu. Namun, akibatnya sungguh fatal. Teman saya akhirnya meninggal. Padahal, dia sudah menjalankan kemoterapi secara teratur selama 2,5 tahun,” ujarnya, menambahkan.
Selain kemoterapi, hal terberat untuk anak dengan leukimia, Tulus menilai, adalah pengecekan BMP.
BMP untuk mendiagnosis kondisi kelainan darah yang terjadi. Untuk ini, tulang belakang disuntik untuk diambil sumsumnya. BMP dilakukan 6 bulan hinga setahun sekali. BMP dilakukan tanpa anestesi. Rasanya seperti apa?
“Jangan ditanya. Dulu, pengambilan sumsun tulang dilakukan dengan jarum panjang dan tanpa anestesi. Jelas sangat sakit. Oleh karena itu, setiap kali pemeriksaaan ini saya sering menangis dan ‘ngadat’. Setelah pemeriksaan ini saya juga tidak boleh tidur telentang, harus tengkurap untuk 24 jam ke depan. Jika saya mulai kesakitan, Papa sering mengajak saya main game sehingga saya melupakan rasa sakit tersebut,” kata Tulus.
Untungnya, menurut Tulus, kini kemajuan teknologi kedokteran membuat pemeriksaan BMP ini tidak terlalu menyakitkan karena jarum suntiknya lebih kecil. Dan pascapenyembuhan setelah BMP juga lebih cepat.
Jelaskan tanpa Menakuti
Tulus sendiri baru menyadari, kondisinya berbeda dengan anak lainnya ketika berusia 4 tahunan, ia sudah masuk TK.
“Kok saya tidak tiap hari sekolah? Kenapa sering bolak-balik rumah sakit? Kenapa cepat sekali merasa lelah tidak seperti teman saya?” berkali-kali ia bertanya kepada ibunya.
Mama Tulus baru menjelaskan keberadaan kanker ini ketika usianya sudah 6 tahun. Pahamkah?
“Hahahaha… saya hanya saja mengangguk-angguk mendengar penjelasan Mama. Saat itu, hingga kini pun, penjelasan orangtua tentang penyakit kanker selalu sama, yaitu kanker bukanlah hal yang mematikan. Yang terpatri dalam pikiran saya itu lebih banyak soal ajaran Mama dan Papa tentang optimisme dalam menghadapi kanker,” ungkap Tulus.
Cuma, gara-gara film atau sinetron yang selalu menggambarkan tokoh dengan kanker sering berujung kematian sempat memengaruhi pikiran Tulus kecil. Di sini kembali ia ia merasa bersyukur memiliki orang tua yang terus berpikir positif.
“Menghadapi anak dengan kanker pasti menyakitkan dan menyedihkan bagi orang tua. Hebatnya orang tua itu selalu kompak bersikap positif dan selalu menguatkan saya. Saya harus tetap semangat, berpikir positif, dan santai saja dalam menjalani pengobatan. Kuatkan diri dengan doa. Soal kematian adalah ranahnya Tuhan,” ungkap Tulus yang merasakan sikap positif orang tuanya itu menularinya untuk bersikap positif juga menjalani terapi hingga kini.
Penulis: Yuniarti Tanjung
Editor: Lilin Rosa Santi