Menuju konten utama

Kisah Patient Navigator Mendampingi Pasien Kanker - Bagian I

Patient navigator menemani dalam menjalani proses pengobatan penyakitnya, menghadapi kendala psikologi, sosial hingga stigma masyarakat.

Kisah Patient Navigator Mendampingi Pasien Kanker - Bagian I
Patient navigator saat mendampingi pasien kanker di Instalasi Pelayanan Terpadu Onkologi Radiasi (IPTOR) Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta . FOTO/Yuniarti Tanjung

tirto.id - Pagi itu, pukul 8.30, Gedung Instalasi Pelayanan Terpadu Onkologi Radiasi (IPTOR ) di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM) sudah mulai ramai dengan kunjungan pasien. Di gedung ini para pasien akan menjalani radioterapi atau terapi radiasi.

Radioterapi merupakan salah satu rangkaian pengobatan penting bagi pasien yang mengalami abnormalitas sel, khususnya yang mengalami keganasan tumor (kanker).

Para pasien menunggu di bangku-bangku panjang yang berjajar rapi di ruang tunggu di depan bagian admisi radioterapi. Nantinya mereka akan diarahkan petugas admisi menuju poli untuk konsultasi dengan dokter atau langsung menuju area terapi radiasi.

Sesosok perempuan melintas cepat melewati ruang tunggu. Perempuan itu bernama Bhidury Bulan. Ia segera menuju ke sebuah ruang berpintu kaca yang terletak di bagian belakang admisi Penanganan Kanker Terpadu (PKaT).

Di pintu kaca ruangan ini tertulis “RUANG NAVIGASI PASIEN”. Di sini telah ada dua rekannya tampak sedang bersiap diri. Mereka tengah memastikan atribut untuk melakukan navigasi pasien sebagai patient navigator sudah lengkap.

Dalam bertugas sebagai patient navigator itu mereka mengenakan jaket tanpa lengan berwarna biru cerah yang terdapat beberapa kantong di bagian depannya. Kantong-kantong ini sangat berguna untuk memuat buku saku panduan tentang kanker, leaflet tentang patient navigator, buku notes dan pulpen.

Di bagian kanan atas depan jaket ini tertulis jelas nama patient navigator yang bertugas, sedangkan di kirinya tertulis identitas rumah sakit tempat mereka bertugas, yaitu RSCM. Sebuah bordir besar bertuliskan “Patient Navigator” dengan imbuhan logo komunitas kanker dari Cancer Information and Support Centre Indonesia (CISC) terpampang di punggung belakang.

CISC merupakan komunitas para penyintas kanker yang sudah berdiri sejak tahun 2003 dan sudah memiliki cabang di 12 kota.

Selain jaket, tak lupa dikalungkan kartu tanda pengenal yang dilengkapi foto diri. Terakhir, mereka pun menyiapkan formulir isian untuk pasien. Formulir ini untuk memandu komunikasi dengan pasien, sekaligus mencatat beberapa hal penting dalam pengobatan pasien, sehingga memudahkan untuk follow-up kondisi dan pengobatan pada pertemuan berikutnya.

Duh, padahal tadi sudah bangun dari jam 3 pagi. Tapi, baru kelar masak akhirnya jam 6. Ada pesanan dadakan. Ditolak tidak enak, karena ini pesanan teman yang langganan memesan untuk jumat barakah,” ujar Bulan, sambil bergegas bersiap.

Bulan dan para rekannya sebagai patient navigator akan standby di area ruang tunggu pasien radioterapi RSCM pada pukul 9 pagi. Mereka akan bertugas menavigasi pasien dari pukul 9 pagi hingga pukul 2 siang.

Bulan sehari-hari membuka usaha kuliner rumahan. Di pagi hari, ia membuka dagangan nasi uduk dan nasi kuning lengkap dengan lauknya, seperti kering tempe, irisan telur dadar, bihun goreng, sambal telur balado dan ragam gorengan bakwan, tahu dan tempe goreng.

Pada siang hingga malam, ia menerima pesanan menu ala-ala Chinese food seperti mie goreng, nasi goreng atau capcay. Di luar itu, ia menerima pesanan aneka kue, seperti kue sus, ketan bumbu, atau puding.

Berdagang makanan kini menjadi sumber pencaharian utama, karena sejak pandemi suaminya diputus hubungan kerja. Sementara ini sang suami menjadi kurir, sambil membantu Bulan dalam berbelanja bahan makanan ke pasar, memasak hingga melayani pembeli.

Di tengah kesibukannya berjibaku bersama suami untuk penghidupan bagi keluarga dan membiayai pendidikan anak, Bulan tetap bersikeras mengikutkan dirinya sebagai patient navigator di RSCM. Padahal RS rujukan nasional ini pun berjarak lumayan jauh dari rumahnya di Bekasi.

“Setidaknya dua jam saya baru sampai. Kondisi jalan juga macet, Apalagi kalau hujan. Wahh ambyar…” ujar ibu dua orang anak ini.

Semua kesulitan itu tak melemahkan tekad Bulan melakukan navigasi bagi pasien, khususnya pasien kanker.

“Saya berkaca pada pengalaman sewaktu pertama kali didignosis terkena kanker ovarium pada 7 tahun yang lalu. Saya merasakan sendiri betapa bingung dan galaunya menghadapi terapi kanker hingga kepayahan akibat efek samping pengobatan. Kekhawatiran saya akan mati karena kanker juga sempat menghantui,” tutur ibu dua anak ini.

Bulan berharap dengan berpartisipasi sebagai relawan patien navigator, ia bisa membagi pengalaman, informasi dan edukasi yang didapatkan selama menjadi penyintas kanker, sehingga pasien kanker merasa lebih tenang dan semangat menghadapi pengobatan.

Sri Suharti, patientnavigator lainnya memiliki tekad yang sama. Nenek dengan 5 cucu ini mensyukuri berkah Tuhan yang membuatnya masih bertahan hidup hingga 20 tahun sejak terkena kanker.

“Tak terbayangkan betapa paniknya saat saya dulu terdiagnosis kanker payudara. Karena tak lama saya divonis terkena kanker, suami juga divonis kanker limfoma. Sayangnya, suami hanya sanggup bertahan sebentar menghadapi kankernya. Padahal tiga orang anak masih butuh biaya besar untuk pendidikan dan kehidupannya,” ujar Sri yang merupakan penyintas kanker payudara.

Sri memahami betul bahwa pasien kanker itu akan menghadapi berbagai hal yang bisa menjadi kendala dalam menjalani pengobatan. Bukan hanya terkait terapi kanker, juga terkait dukungan keluarga dan sosial, masalah ekonomi, akses pada asuransi kesehatan hingga kepungan mitos dan ‘rayuan’ seputar kanker.

“Sepanjang saya menjadi pasien kanker itu berbagai bujukan pengobatan di luar medis selalu menggoda. Memang menjalani pengobatan kanker tak mudah. Apalagi dulu belum ada dukungan pembiayaan dari BPJS Kesehatan. Rangkaian pengobatan kanker yang panjang itu terasa sekali sangat mahal."

"Hal itu yang membuat beberapa teman dan kenalan seperjuangan berhenti pengobatan di tengah jalan. Mereka menyerah berobat atau terbujuk pada pengobatan alternatif yang menjanjikan kesembuhan dalam waktu singkat. Sayangnya, jalan ini yang membuat kematian justru lebih cepat mendekat,” ungkapnya, sedih.

Dengan berbagi informasi dan dukungan melalui program patient navigator ini Sri berharap pasien kanker tidak ‘selingkuh’ dalam pengobatan dan seperti dirinya mau menjalani pengobatan hingga tuntas. Dengan demikian, kanker diharapkan tidak kembali hingga puluhan tahun kemudian seperti dirinya.

Patient Navigator

Patient Navigator. FOTO/Yuniarti Tanjung

Berperandalam Sistem Pengobatan Kanker

Selamat pagi…

Perkenalkan saya, Sri.

Saya adalah patient navigator di RSCM yang bekerja sama dengan komunitas penyintas kanker, Cancer Information and Support Center Indonesia atau CISC.

Saya mohon waktunya untuk ngobrol tentang pengobatan kanker dan kendala yang mungkin dihadapi, sehingga bila ada kendala, semoga bisa membantu menjembatani untuk mencarikan solusi terbaik agar Ibu/Bapak mendapatkan pengobatan kanker yang berkualitas dan tepat waktu.

Demikian salam perkenalan diiriingi senyuman yang biasa dilakukan Sri dan rekan-rekan sesama patient navigator sewaktu pendekatan untuk navigasi pasien. Beberapa pasien langsung menyambut baik sapaan ini, tetapi ada pula menanggapi dengan ragu-ragu, bersikap dingin, bahkan merasa curiga.

“Ada yang bersikap jutek dan seolah-olah merasa terganggu dengan kehadiran kami. Ada pula yang merasa curiga bahwa kami ini sales produk atau obat tertentu yang ujung-ujungnya mau jualan. Ada pula yang menyangka kami petugas untuk mendata agar mereka memperoleh semacam bantuan sosial (baca: uang) dari pemerintah atau rumah sakit. Jadi, tampak kecewa sewaktu kami tidak memberikan bantuan (uang atau barang)."

"Ada pula yang bersikap dingin, karena merasa kami ini bisa apa dan tahu apa untuk membantu pengobatan mereka,” ujar Sri membeberkan beberapa pengalamannya dalam awal mendekati pasien untuk dinavigasi.

Menanggapi respon yang kurang menyenangkan memang terkadang mengecilkan hati. Meski, tidak mengurungkan hati untuk mendekati pasien.

“Kami tetap berusaha menunjukkan ketulusan melalui senyuman. Untungnya, jika sudah diterangkan bahwa kami pun dulunya pasien kanker kebanyakan jadi berubah sikap. Perubahan ini terlihat sekali, terutama pada pasien yang tadinya tidak bersemangat berobat atau kebingungan dengan rangkaian pengobatan yang dijalani."

"Mereka malah jadi ingin tahu perjalanan kanker kami, dan termotivasi menjalankan pengobatan. Mungkin ini karena mereka bisa melihat contoh nyata bahwa kanker itu tidak berarti vonis mati bagi seseorang. Dengan mematuhi pengobatan tepat waktu kita bisa hidup berkualitas dan berarti,” kata Sri, bahagia.

Bulan menambahkan, di akhir navigasi biasanya patient navigator dan pasien bertukar nomor kontak. Pasien dapat menghubungi patient navigator jika ada kesulitan atau mengalami kendala, meski mereka sedang tidak bertugas. Pasien bisa menelepon atau menghubungi via chat whatsapp. Apalagi seorang patient navigator memang perlu follow-up pasien untuk membantu rumah sakit dalam memastikan pasien menjalani pengobatan kankernya.

Bulan dan Sri adalah bagian dari 15 patient navigator dari komunitas CISC yang diterjunkan di IPTOR dan PKaT RSCM. Mereka bertugas pada Senin hingga Jumat dari pukul 9 pagi hingga pukul 2 siang. Setiap harinya ada 3 patient navigator bertugas. Sebagian besar merupakan penyintas kanker.

Tanggal 12 September 2022 menjadi tanggal peluncuran Program Navigasi Pasien Kanker di IPTOR RSCM. Meski baru seumur jagung bertugas, mereka sudah melayani hingga 400-an pasien dari berbagai jenis kanker.

Menurut, Kepala IPTOR RSCM, dr. Angela Giselvania, Sp.Onk.Rad(K), patient navigator di RSCM bertugas menavigasi pasien yang baru pertama kali menjalani radioterapi atau pasien lama yang kembali lagi melakukan radioterapi, misalnya karena kekambuhan atau metastasis (penyebaran) kankernya.

Selain di RSCM, di bulan yang sama Program Navigasi Pasien Kanker ini dibuka di Rumah Sakit Kanker Dharmais (RSKD). Komunitas CISC juga digandeng untuk menempatkan 15 petugas patient navigator yang sebagian besar merupakan penyintas kanker.

Berbeda dengan di RSCM, para patient navigator di RSKD khusus bertugas mendampingi pasien kanker paru, kanker kolorektal dan kanker prostat, namun untuk semua tahap pengobatan. Nantinya menyusul Rumah Sakit Siloam MRCCC Semanggi akan membuat program yang sama.

Infografik Patient Navigator

Infografik Patient Navigator. tirto.id/Fuad

Mengapa Program Navigasi Pasien Kanker ini perlu diadakan?

Salah satu pendorongnya adalah fakta kanker termasuk salah satu penyakit yang paling mematikan di dunia, dengan angka kematian mendekati 10 juta orang di tahun 2020, atau sekitar 1 dari tiap 6 kematian.

Sebagian besar pasien yang divonis kanker sering merasa kehilangan harapan, takut menjalani pengobatan maupun kebingungan saat berobat, mengingat kompleksnya pengobatan kanker yang umumnya membutuhkan multidisiplin kanker dan multimodalitas.

Seorang pasien itu bisa jadi harus menjalani pembedahan, radioterapi dan kemoterapi satu demi satu secara bergantian. Proses ini bisa memakan waktu hingga berbulan-bulan, sehingga berpotensi mematahkan semangat pasien kanker.

Selain itu, salah seorang inisiator program, Prof. Dr. dr Soehartati A. Gondhowiardjo, Sp.Rad (K) Onk.Rad mengungkapkan, dari pengalamannya puluhan tahun menangani pasein kanker, ia melihat sendiri bahwa menjadi pasien kanker itu full of stress. Stres akan banyak hal.

Stres ini akibat dibebani pemikiran seperti: penyakitnya akan sembuh atau tidak? Kalau sembuh apakah akan sembuh total atau tidak? Apakah masih bisa mengurus keluarga dan mencari nafkah atau tidak selama pengobatan? Lantas bagaimana dengan biaya pengobatan.

”Dan jika menyangkut kanker genitalia, seperti terkena kanker mulut rahim (serviks) juga khawatir tentang nasib rumah tangga (maksudnya hubungan dengan suaminya) selanjutnya,” ujar Prof. Tati, demikian ia akrab disapa, panjang lebar.

Prof. Tati yang merupakan staf medis senior onkologi radiasi RSCM-FKUI, sekaligus Koordinator Pelayanan Kanker Terpadu RSCM juga melihat masih terdapat banyak kendala (barriers) yang dapat menghambat penanganan seorang pasien kanker.

Kendala itu, antara lain, susahnya transportasi, tidak memiliki pendamping saat berobat, kurangnya support system dari kerabat dan teman, kendala bahasa atau tak percaya dengan sistem kesehatan modern.

Itu sebabnya, Prof. Tati yang menjadi Ketua Komisi Penangggulangan Kanker Nasional (KPKN) pada periode tahun 2015 - 2019 menilai, seorang pasien kanker itu perlu memiliki ‘sahabat’ yang menemaninya.

Dalam arti, menemani dalam menjalani proses pengobatan penyakitnya, menghadapi kendala psikologi, sosial hingga stigma masyarakat. Patient navigator juga diharapkan mendorong dan membantu para pasien kanker untuk tak gentar melakukan melakukan pengobatan medis. Dari sinilah ide Program Navigasi Pasien Kanker ini tercetus.

Ia mengungkapkan, sejak tahun 2019, ia sudah membicarakan program ini dengan beberapa komunitas. Gayung bersambut saat berbicara dengan Aryanthi Baramuli Putri, Ketua Umum Komunitas penyintas kanker CISC. Sayangnya, tak bisa segera terealisasi karena terkendala pandemi COVID-19. Baru di tahun 2022 program ini bisa diluncurkan dengan dukungan dari direksi dan manajemen RSCM serta IPTOR.

Program navigasi pasien kanker di RSCM saat ini merupakan program agar patient navigator dapat membantu pasien kanker dalam berbagai hal yang terkait dengan penyakitnya yang bukan bersifat medis. Ini yang dikenal sebagai lay navigator. Sementara di RSKD, selain lay navigator juga ada clinical navigator yang merupakan tenaga kesehatan onkologi (dokter umum dan/atau perawat).

Siapapun, baik penyintas kanker, relawan, tenaga kesehatan maupun masyarakat umum, menurut Prof. Tati bisa menjadi patient navigator. Tapi, ada syaratnya, yaitu sudah mengikuti pelatihan yang mumpuni sebagai patient navigator.

Pelatihan ini bukan hanya penguasaan materi untuk peran sebagai patient navigator. Di RSCM misalnya, para patient navigator juga perlu menguasai standar kemampuan dasar sebagai petugas yang diperbantukan di RSCM yang telah terstandarisasi JCI, seperti bantuan hidup dasar (basic life support), respon untuk kegawatdaruratan kondisi medis, gempa, kebakaran (termasuk penggunaan APAR).

Selain itu kemampuan untuk memberikan edukasi terkait penyakit kanker tersering terjadi, jenis pengobatan dan efek samping yang sering timbul.

Ketua Umum CISC, Aryanthi Baramuli Putri lebih lanjut menjelaskan bahwa anggota CISC yang menjadi patient navigator itu sebelumnya sudah sering melakukan support kepada pasien kanker di beberapa rumah sakit. Sebagian besar merupakan penyintas kanker. Mereka mendatangi bangsal rumah sakit atau ruang tunggu pasien untuk memberikan semangat dalam menjalani pengobatan.

“Program Navigasi Pasien Kanker bisa dikatakan program yang lebih terarah, sistematis dan terstruktur, melekat dengan rumah sakit untuk melakukan komunikasi, memberikan informasi dan edukasi bagi pasien kanker,” ujarnya.

Prof. Tati mengakui bahwa bila navigasi pasien ini dilakukan oleh seorang penyintas memang akan lebih mudah mendekati pasien. Sebagai penyintas kanker, akan lebih dapat menyelami kondisi pasien, dan lebih mudah menerangkan permasalahan seputar kanker dan pengobatan.

Baca juga artikel terkait HAK KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Yuniarti Tanjung

tirto.id - Kesehatan
Kontributor: Yuniarti Tanjung
Penulis: Yuniarti Tanjung
Editor: Lilin Rosa Santi