Menuju konten utama

Para Pendusta Berkacamata Kuda

Para politisi, anda tahu, adalah juara olimpiade dalam berdusta.

Para Pendusta Berkacamata Kuda
AS Laksana

tirto.id - Sebuah penelitian oleh para ilmuwan psikologi, sudah agak lama, menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk pendusta, sampai mereka membuktikan diri sebaliknya. Jika dirumuskan mengikuti Plato, agar terdengar lebih falsafi, bunyi kalimatnya bisa seperti ini: Manusia adalah dusta yang berdiri tegak dengan dua kaki, tidak berbulu, kuku-kukunya berbentuk pipih dan lebar.

Mustahil manusia tidak berdusta, sebab dusta adalah senjata andalan bagi tiap-tiap individu untuk bertahan hidup di tengah-tengah spesiesnya. Manusia memerlukannya untuk menjaga martabat, untuk melindungi diri dari serangan sesamanya, untuk menghindari pemecatan oleh atasan, untuk menyelamatkan diri dari kemarahan, atau untuk sekadar tampak baik-baik saja, dan sebagainya.

“Sejak lama dusta sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari manusia,” kata Leonard Saxe. “Tidak pernah kita melewati satu hari pun tanpa dusta.” Saxe adalah pakar poligraf (alat pendeteksi kebohongan) dan profesor psikologi pada Universitas Brandies, Amerika Serikat.

Orang tua saya tidak pernah membaca Saxe. Dan, sebagaimana para orang tua pada umumnya kepada anak-anak mereka, orang tua saya sering memberi tahu hal yang musykil dilakukan, “Jangan bohong!”—selain beberapa jangan lainnya yang saya dengar di masa kanak-kanak: “Jangan mandi di sungai,” “Jangan malas,” “Jangan cengeng,” dan tentu saja “Jangan lupa salat.”

Saya pikir “jangan” adalah kosakata kesukaan para orang tua, disampaikan kepada anak-anak untuk mendorong mereka melakukan, secara diam-diam, apa yang tidak dikehendaki oleh orang tua mereka. Ketika mereka mengatakan, “Jangan bohong” itu berarti mereka mendorong anda berbohong. Penjelasan singkatnya begini:

Para orang tua, karena sudah menasihati anak-anak agar jangan berbohong, akan marah ketika tahu anak-anak membohongi mereka. Namun, itu bukan berarti mereka akan memuji ketika si anak berterus terang. Mereka akan tetap mengamuk sekiranya anak-anak berkata jujur tentang apa yang sudah mereka lakukan. Artinya, memang tidak ada alternatif bagi anak-anak kecuali berdusta, jika situasi menghendaki demikian. Dusta memberi kemungkinan untuk hidup selamat, asalkan tidak terbongkar, sementara berbicara apa adanya adalah tindakan yang mengerikan dan tidak masuk akal. Berterus terang berarti melucuti diri sendiri, membiarkan diri telanjang tanpa tameng pelindung.

Saya tentu saja tidak memiliki peluang untuk menyampaikan sebaliknya kepada orang tua saya. Tidak mungkin saya membentak mereka, “Jangan bohong!” kecuali berani menanggung risiko menjadi jambu monyet—itu ganjaran bagi anak durhaka—sekalipun saya yakin mereka juga berbohong, sebab mereka manusia. Setidaknya, mereka tidak selalu berterus terang kepada anak-anak tentang hal buruk yang mereka pernah lakukan.

Jadi, hikmah yang bisa anda petik dari hasil penelitian itu, yang bisa anda tularkan kepada orang lain seolah-olah anda baru menerima wahyu, adalah bahwa hidup ini hanya saling memberi dan menerima kebohongan. Anda menggunakan senjata kebohongan kepada orang-orang lain dan, sebaliknya, orang-orang lain menggunakannya kepada anda. Anak berbohong kepada orang tua dan sebaliknya; suami kepada istri; istri kepada suami; tukang telur kepada pelanggannya; presiden kepada rakyatnya.

Para pejabat publik mengucapkan sumpah dengan kitab suci dinaungkan di atas kepala, tentu dengan maksud agar lempung pendusta ini bisa berperangai lurus dan menepati sumpah mereka. Tetapi di bawah sejilid buku tebal yang mereka yakini berasal dari Tuhan, yang mengabarkan api neraka dan azab pedih bagi pendusta, kebanyakan dari mereka tetap saja berdusta. Para politisi, anda tahu, adalah juara olimpiade dalam berdusta; sama dengan para tukang sulap, kata Ben Okri, mereka bicara untuk mengalihkan perhatian kita dari apa yang sesungguhnya mereka lakukan. Bedanya, para tukang sulap melakukannya untuk menghibur kita.

Manusia bisa tidak berbohong hanya ketika ia hilang ingatan; ketika masa berlakunya di dunia ini sudah expired—kita menyebutnya wafat; atau ketika ia hidup menyepi, dikelilingi hanya oleh hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan dan benda-benda mati. Anda tidak perlu berbohong kepada kura-kura piaraan anda. Anda tidak perlu berbohong kepada rumpun semak-semak maupun rumput laut. Anda tidak perlu berbohong untuk menyelamatkan nyawa atau mempertahankan harga diri di hadapan batu-batu kali.

Sebagai dusta berkaki dua dengan kuku pipih dan lebar, manusia masih memiliki satu lagi kualitas mengagumkan berkaitan dengan naluri kebohongannya, ialah sering merasa benar meskipun ia keliru, meskipun ia tahu bahwa di mata orang lain ia keliru. Dan orang yang keliru seringkali akan marah atau sakit hati jika ditegur. Ia mengamuk mempersoalkan cara menegurnya, siapa yang menegurnya, di depan siapa ia ditegur, dan lain-lain, dan lupa menyadari bahwa ia ditegur karena berbuat lancung.

Yang demikian itu bukanlah keajaiban. Kita tahu setiap orang memiliki kacamata masing-masing untuk membenarkan diri sendiri dan mengarang alasan untuk menyulap sebuah kekeliruan menjadi amal mulia. Beberapa orang mengenakan kacamata kuda untuk mempertahankan pendirian mereka. Saya pernah bercakap-cakap, melalui e-mail, dengan seorang kader partai politik yang bisa membenarkan korupsi oleh pemimpin partainya. Pada waktu itu si pemimpin partai baru ditetapkan sebagai tersangka, tetapi bukti-buktinya tidak mungkin dibantah dan ia tertangkap tangan dan sudah pasti mendapatkan hukuman.

Menurut Pak Kader: “Partai-partai lain melakukannya dan mereka menggunakan uang untuk kepentingan pribadi dan membuat keropos negara, sementara kami melakukannya untuk kepentingan membangun masyarakat yang lebih baik. Ini situasi darurat. Hal-hal yang dilarang dalam situasi normal, dibolehkan dalam situasi darurat, dan kami melakukannya demi kemaslahatan umat.”

Ia semau-maunya sendiri dan membuat deklarasi melebihi wewenang presiden. Saya tidak pernah mendengar presiden mengumumkan negara dalam keadaan darurat.

Saya membalasnya: “Sebenarnya, menurut konstitusi negara, yang berhak menetapkan negara dalam keadaan darurat hanyalah presiden. Tetapi, baiklah, saya sepakat dengan pernyataan anda bahwa ini situasi darurat, kurang lebih seperti kita berada dalam perahu yang hampir tenggelam dan beberapa benda di dalam perahu itu harus dilempar ke laut agar perahu tidak karam dan para penumpangnya selamat. Menurut saya, demi keselamatan, partai andalah benda pertama yang harus ditenggelamkan ke dasar laut.”

Itu saran sungguh-sungguh kepada seseorang yang menganggap bahwa kacamata kuda adalah aksesori untuk tampil modis, baik untuk menjalani hidup sehari-hari bersama para tetangga maupun untuk menggeluti dunia politik. Jika sebuah partai dipenuhi dengan kader yang mengembangkan pikiran-pikiran kotor semacam itu, dan semuanya berkacamata kuda, saya pikir partai itu memang benda pertama yang harus dibenamkan ke dasar laut agar perahu tetap bisa berlayar sampai tujuan dan semua penumpang selamat.

Pikiran yang kotor membuat orang mudah digembalakan dan dihasut untuk kembali ke masa pra-ilmiah dua puluh atau dua puluh tujuh abad lalu, ke masa ketika seorang perempuan tiba-tiba menjadi tiang garam karena menoleh ke belakang. Pikiran kotor juga membuat orang mudah diajak meratapi kembalinya masa kelabu pra-peradaban seolah-olah itu zaman emas. Anda cukup menyewa orang untuk menyiarkan dusta: “Piye kabare? Enak jamanku, tho?” dan akan ada sekawanan orang menyuarakan kerinduan mereka.

Sedih saya. Itu zaman yang membuat kita bebal hingga hari ini. Pada zaman itu, teman sekolah saya sulit mendapatkan pacar dan pekerjaan karena dinyatakan tidak bersih lingkungan, orang-orang yang saya kenal masuk penjara karena menjual atau membaca buku Pramoedya Ananta Toer, tabloid DeTIK tempat saya bekerja dan bersenang-senang dibredel. Saya berdusta dengan menyebutnya masa kelabu, sebenarnya lebih kelam dari itu.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.