tirto.id - Pada awal 2019, kepolisian menjadi sorotan publik karena dianggap bersikap tak adil dalam kasus-kasus terkait gender tertentu. Dimulai dari mencuatnya kabar tentang Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH) seorang polwan yang bertugas di Polrestabes Makassar, Brigadir Polisi (Brigpol) DS karena video intimnya yang beredar.
Video itu beredar karena dia menolak memberikan uang kepada penipu. DS dipecat karena dianggap melanggar kode etik kepolisian. Selain karena video intim, alasan polisi memecat DS adalah karena perselingkuhannya dengan dua perwira polisi. Namun hingga kini, polisi baru memeriksa dua polisi yang diduga berselingkuh dengan DS itu.
Setelah kasus DS, polisi kembali disorot atas kasus prostitusi online karena membeberkan nama VA, artis yang melakukan praktek prostitusi. Dalam kasus ini, polisi Jawa Timur pun tak membeberkan nama pengguna jasa prostitusi online itu.
Seperti diberitakan Detik.com, alasan polisi tak membongkar nama pelanggan adalah karena tak mau membuka aib seseorang. Pengusaha berinisial R yang memesan VA pun dilepas karena statusnya hanya sebagai saksi. Polisi mengatakan bahwa mereka lebih lama menahan VA karena akan ingin mengungkap jaringan germo alias muncikari.
“Karena tidak ada undang-undang yang menjerat. Sementara kita periksa sebagai saksi. Pasalnya yang kita terapkan muncikari, karena penyedianya kan muncikari,” ujar Kasubdit V Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Jatim AKBP Harissandi kepada Detik.com.
Kejadian lain yang tak kalah ramai diperbincangkan adalah video unggahan Bagas Maulana Sakti, seorang polisi muda yang bertugas sebagai Binmas di Kepolisian Sektor Rongkop, Kepolisian Resor Gunung Kidul, Kepolisian Daerah Yogyakarta. Polisi yang kerap berdakwah tersebut membuat video soal perkosaan. Ia menyalahkan korban karena tak bisa menjaga auratnya. Namun, kini video tersebut telah dihapus dari akun Youtube-nya. Akun Instagram milik Bagas Maulana Sakti juga telah dinonaktifkan.
Pada 2018 lalu, polisi di Kabupaten Aceh Utara juga bersikap tak adil gender. Mereka menangkap 12 waria yang berasal dari lima salon dan mencukur serta memberi pakaian kaum pria kepada mereka. Polisi juga menyuruh mereka bersorak keras hingga keluar suara berat mereka.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mengatakan sebenarnya dalam konferensi pers di Polda Jawa Timur, polisi hanya memberikan inisial saja. Nama VA muncul setelah yang bersangkutan tertangkap dalam video tayangan berita di televisi dan berita online yang menampakkan sosok artis.
“Apalagi dengan publikasi yang luas karena yang bersangkutan adalah artis dan diduga tersangkut kasus pidana, maka mulailah muncul nama yang bersangkutan di media infotainmen,” tutur Poengky.
Sedangkan dalam video yang diunggah oleh Bagas Maulana Sakti, menurut Poengky, dia memiliki cara yang bagus untuk melaksanakan tugas polisi sebagai pelayan, pengayom, pelindung masyarakat, dan penegak hukum melalui video blog. Namun, Poengky tak memungkiri adanya benturan nilai pada videonya yang berkaitan dengan isu gender, yakni melihat perempuan dari kacamata konservatif yang patriarkis.
“Saya menduga karena yang bersangkutan masih muda dan baru lulus bintara, maka yang bersangkutan belum mendapat pendidikan gender, sehingga pola pikirnya [soal] perempuan masih mainstream,” ujar Poengky.
Poengky menyarankan kepada atasan Bagas Maulana Sakti untuk memberikan pendidikan gender sensitive. Apalagi Bagas pernah diliput oleh salah satu stasiun TV swasta. Terkait sanksi, Poengky menyampaikan bahwa Bagas bisa dilaporkan jika ia telah diberi kesempatan mengikuti pendidikan dan pelatihan gender sensitive, tapi masih memiliki pola pikir konservatif.
“Maka bagi yang merasa terganggu dengan pernyataan yang bersangkutan, bisa melaporkan pada Propam agar ada proses pemeriksaan terhadap yang bersangkutan,” katanya.
Seksisme di Kepolisian
Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Mariana Amiruddin setuju bahwa kejadian-kejadian yang belakangan ramai diperbincangkan oleh khalayak merupakan bentuk seksisme dari aparat kepolisian, karena telah membuat salah satu gender dirugikan.
Seksisme, seperti dicatat ensiklopedia Britannica, merupakan paham yang menganggap bahwa satu gender lebih unggul dan bermakna dibandingkan dengan gender lainnya.
Dalam kehidupan sosial kita saat ini, seksisme banyak mengorbankan perempuan karena terbentuk dari budaya patriarki atau dominasi laki-laki. Salah satu bentuk seksisme yang ekstrem sikap misoginis atau kebencian terhadap perempuan yang bisa berujung kekerasan domestik atau pelecehan.
Menurut Mariana, sikap seksis yang ditunjukkan oleh aparat merupakan hal yang membudaya karena didikan militeristik yang maskulin.
“Karena aparat itu kan dididik militeristik dan militer yang kita kenal sejak dulu kan sangat maskulin, dalam arti patriarkis. Kurang dikenali tentang perspektif gender,” ungkap Mariana.
Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan Anita Dhewy juga menangkap adanya perilaku seksis pada polisi. Menurut Anita, hal itu tampak dari sikap polisi kerap mengajak wartawan dalam penggerebekan atau penangkapan.
“Setelah itu, diikuti dengan pernyataan dari aparat polisi atas proses penangkapan tersebut dengan menyorot peran dan keterlibatan perempuan. Setelah proses penahanan, kemudian si perempuan akan dilepas dan pemeriksaan atau penyelidikan dilakukan terhadap muncikari,” kata Anita.
Masalah muncul ketika perempuan tersebut kemudian bebas, tak terindikasi melakukan tindak pidana. Ia kadung mengalami penghakiman dan perendahan martabat. Di sisi lain, pria hidung belang pengguna jasa bebas melenggang.
Namun, Anita menekankan bahwa kepolisian bukanlah satu-satunya pihak yang tak punya perspektif keadilan gender. Menurutnya, media dan jurnalis turut andil dalam pemberitaan seksis dengan membuka identitas, mengekspos foto, dan menyorot keterlibatan VA.
Sama halnya dengan kasus yang dihadapi oleh Brigpol DS. Anita menilai dalam kasus tersebut DS merupakan korban. Dalam kasus perselingkuhan yang menjerat DS pun, polisi hanya menetapkan sanksi kepada DS.
“Selain kasus video pemecatan Brigpol DS disebut juga terkait dengan kasus perselingkuhan. Sejauh ini yang banyak diekspos hanya Brigpol DS, sementara kasus perselingkuhan jelas melibatkan dua pihak. Perwira laki-laki yang terlibat cenderung ditutupi dan belum ada sanksi apapun,” tutur Anita.
Menurut Anita, seksisme terlihat jelas dalam video yang diunggah oleh Bagas Maulana Sakti yang menyalahkan perempuan tak menutup aurat. Padahal kasus perkosaan tak hanya terjadi pada perempuan yang tidak menutup aurat. “Tugas polisi adalah melayani dan melindungi masyarakat, bukan menceramahi apalagi menyalahkan perempuan korban pemerkosaan,” ujar Anita.
Perlunya Pendidikan Gender bagi Polisi
Anita meminta kepada pemerintah untuk menghentikan model pendekatan kriminalisasi untuk mengatasi persoalan prostitusi. Upaya untuk menghentikan transaksi seksual bukan dengan menutup lokalisasi, penggerebekan, dan penangkapan pekerja seks. Melakukan hal-hal itu justru menempatkan perempuan dalam posisi semakin rentan.
“Institusi kepolisian perlu memasukkan perspektif gender dalam kurikulum pendidikan dan pelatihannya, agar aparat polisi tidak memiliki bias seksis, diskriminatif, dan misoginis dalam menangani kasus pemerkosaan, kekerasan terhadap perempuan dan kelompok minoritas,” katanya.
Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin juga berpendapat bahwa lembaga-lembaga penegak hukum melakukan perubahan dengan memasukkan kurikulum gender bagi seluruh penegak hukum.
Sebenarnya, kurikulum ini telah digodok sejak lama oleh Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Mereka berencana untuk memasukkan isu gender pada seluruh aparat pemerintah hingga TNI, tapi belum terlaksana.
“Lemhanas seharusnya memasukkan integrasi itu sebagai bagian dari isu keamanan, dimasukkan isu gender. Sampai sekarang belum, walaupun Lemhannas sudah sering bertemu dengan Komnas Perempuan, tapi dalam hal kurikulum substansi belum konkret,” tandasnya.
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani