tirto.id - Bapak dan Ibu Dewan di Senayan tengah menggodok usulan menambah jumlah Komisi di DPR RI. Mereka berdalih penambahan komisi itu menyesuaikan jumlah kementerian yang juga bakal bertambah pada pemerintahan Prabowo Subianto. Sebelas Komisi yang ada di DPR saat ini dirasa belum cukup untuk mengawal jalannya pemerintah mendatang.
Ketua DPR RI, Puan Maharani, mengatakan bahwa penambahan jumlah komisi bakal memperkuat kemitraan antara pemerintah dan legislatif. Parlemen berencana menambah jumlah komisi seiring jumlah kementerian era Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang akan bertambah.
“Ini lagi dimatangkan. Kami sedang godok dan sesuai mekanismenya,” kata Puan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/9/2024).
Puan menjawab diplomatis terkait potensi bagi-bagi jabatan pimpinan dengan mencuatnya wacana tersebut. Dia mengatakan bahwa pemilihan pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) dilakukan sesuai tata tertib DPR. Puan berharap, Komisi baru dapat terpenuhi melalui mekanisme musyawarah dan mufakat dari semua fraksi di DPR.
“Nanti, akan kami lakukan [pemilihan pimpinan komisi/AKD baru] sesuai dengan mekanisme dan kita bicarakan sesuai dengan musyawarah dan mufakat, itu," tutur Puan.
Beberapa ahli hukum menilai wacana tersebut tak penting untuk dilakukan jika menilik kinerja legislasi DPR yang masih buruk. Dalih menyelaraskan jumlah komisi dengan jumlah kementerian juga terkesan akal-akalan. Pasalnya, bertambahnya kementerian di kabinet baru nanti–yang merupakan akar polemik ini–justru dibidani DPR lewat pengesahan revisi UU Kementerian Negara.
Ahli hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai usulan DPR menambah jumlah komisi sama sekali tidak mendesak. Menurut pria yang akrab disapa Castro ini, masalah utamanya justru adalah keinginan pemerintahan Prabowo menambah jumlah kementerian.
Wacana menambah jumlah komisi di DPR juga bakal melahirkan konsekuensi lain, yakni bertambahnya jumlah anggaran. Oleh karena itu, penambahan jumlah komisi dinilai sebagai solusi yang tidak efektif dalam merespons pemerintahan ke depan.
“Kalau sekarang ada usulan untuk menambah jumlah komisi, itu tidak tepat. Karena, konsekuensinya akan menambah jumlah sekretariat, jumlah anggaran, dan lain-lain,” kata Castro dihubungi reporter Tirto, Rabu (25/9/2024).
Castro juga menilai wacana itu malah menampilkan logika DPR yang jungkir balik. Menurut Castro, jika DPR merasa tidak efektif mengawasipemerintahan, solusi yang lebih tepat justru dengan mengevaluasi dan memperkuat kerja-kerja legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Kehadiran 11 komisi di DPR saat ini dinilai sudah sangat cukup untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Oleh karena itu, wacana menambah jumlah komisi malah memantik kecurigaan adanya kompromi politik dan tarik-menarik kepentingan di DPR.
“Sekarang saja, [kinerja DPR] tidak efektif, apalagi ditambah komisi baru. Kan, logikanya begitu. Harusnya, [DPR] mengefektifkan [kinerjanya] dengan mengaktifkan fungsi kewenangan DPR melakukan hak interpelasi, hak angket, bahkan berpikir bagaimana aktifkan hak menyatakan pendapat,” jelas Castro.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Rizky Argama, menilai bahwa prinsip pembentukan komisi baru seharusnya didasarkan pada kebutuhan strategis DPR melaksanakan fungsinya. Menurut Rizky, usulan menambah jumlah komisi untuk saat ini tidak memiliki urgensi mendesak.
Jumlah 11 komisi, kata dia, sudah lebih dari cukup untuk memastikan terlaksananya fungsi pengawasan dan legislasi. Rizky memandang persoalan utama kinerja DPR justru karena komisi sering kali dikendalikan oleh fraksi-fraksi.
“Setiap anggota yang duduk di tiap komisi pada kenyataannya hanya melaksanakan arahan fraksi ketika membahas RUU atau melaksanakan tugas pengawasan,” kata Rizky kepada reporter Tirto, Rabu.
Selain itu, jika DPR membutuhkan solusi untuk memastikan semua isu dapat dibahas, masih dimungkinkan untuk membentuk kaukus (kelompok yang sifatnya sementara untuk tujuan pembahasan isu-isu tertentu, misalnya kaukus perempuan DPR).
Menurut Rizky, yang justru lebih penting dibahas adalah wacana penghapusan fraksi di DPR agar prinsip one person one votebenar-benar terlaksana. Selama ini, suara anggota yang berbeda dengan sikap fraksi tidak mampu muncul ke permukaan. Alhasil, anggota DPR hanya menjadi penyambung suara fraksi, bukan suara dari konstituen.
“Tidak ada pula kebutuhan menambah komisi untuk menyelaraskan eksekutif dan legislatif. Karena, eksekutif selalu dapat dimasukkan ke dalam bidang salah satu komisi,” ujar Rizky.
Bau Politik Akomodatif
Berbeda dari beberapa ahli sebelumnya, peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, memandang bahwa wacana penambahanjumlah komisi di DPR sebetulnya punya urgensi yang jelas. Itu dilakukan untuk merespons bertambahnya jumlah kementerian di pemerintahan mendatang usai revisi UU Kementerian Negara disahkan.
Menurut Lucius, efektivitas wacana itu akan bergantung pada keputusan Prabowo dalam membentuk kabinet. Jika penambahan kementerian dalam kabinet Prabowo-Gibran signifikan, kata dia, usul menambah jumlah komisi jadi relevan.
“Akan tetapi, kalau kementerian hanya bertambah 1 atau 2 saja, ya mungkin semangat DPR menambah komisi enggak perlu dilakukan,” kata Lucius kepada reporter Tirto, Rabu.
Lucius mengingatkan bahwa menambah jumlah komisi jelas berdampak pada menggelembungnya anggaran. Padahal, pembengkakan anggaran DPR itu tidak lantas otomatis meningkatkan kinerjanya.
Dampak lain dari usul penambahan jumlah komisi adalah potensi tidak efektifnya kerja-kerja keparlemenan. Menurut Lucius, terlalu banyak komisi di DPR bisa menambah beban koordinasi dan itu akan memunculkan ketidakefisienan dan ketidakefektifan kinerja.
Selain itu, Lucius menduga bahwa niatan DPR mengusulkan penambahan komisi itu terkait dengan peluang semakin banyaknya lahan yang bisa dinikmati oleh fraksi-fraksi parpol. Semakin banyak komisi, semakin banyak kesempatan bagi anggota DPR menduduki posisi pimpinan.
DPR, kata Lucius, khususnya fraksi-fraksi parpol, punya nafsu untuk memimpin komisi. Ini dilakukan agar mereka bisa punya jalur kuasa atas kementerian atau lembaga yang jadi mitra.
“Niat bagi-bagi jatah ini sesungguhnya motif paling besar di balik [alasan] untuk peningkatan kinerja,” tegas Lucius.
Sementara itu, analis sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, memandang bahwa DPR memang punya alasan jelas untuk menambah jumlah Komisi sebagai lembaga pengawas pemerintah. Musfi menilai, DPR punya wewenang untuk menambah komisi demi memenuhi dinamika tuntutan dan kompleksitas tugas legislatif.
Kewenangan itu juga tercantum dalam Pasal 73, 74, dan 76 Undang-Undang MD3 yang menyebut DPR dapat membentuk komisi untuk mengawasi dan menangani bidang tertentu.
Kendati demikian, penambahan komisi baru harus melalui keputusan Rapat Paripurna DPR dan semua fraksi harus menyampaikan pendapat. Hal ini akan jadi dasar legal bagi usulan penambahan komisi sesuai kebutuhan dan dinamika pemerintah baru sebagai mitra kerja.
“Kemudian, ada Peraturan DPR RI Nomor 1/2020 tentang Tata Tertib DPR. Ada tata cara pembentukan alat kelengkapan, termasuk komisi. Bagaimana proses pembentukan komisi dan pemilihan pimpinan ada di sana,” kata Musfi kepada reporter Tirto, Rabu.
Meskipun DPR punya wewenang menambah jumlah komisi, Musfi menilai perlu ada hal teknis yang mesti dipertimbangkan terlebih dulu. Misalnya, apakah kementerian baru di era Prabowo-Gibran memiliki ruang lingkup yang berbeda atau punya banyak irisan dengan yang sudah ada. Ini akan menentukan jumlah komisi yang perlu ditambahkan.
Bertambahnya komisi, kata Musfi, juga akan memberi kesempatan dan ruang bagi DPR yang kesulitan karena terlalu banyaknya anggota dalam satukomisi. Bertambahnya komisi juga bisa menciptakan spesialisasi dan meningkatkan representasi.
“[Penambahan jumlah komisi bakal berdampak baik] sepanjang ada manajemen yang baik dan pemahaman yang jelas tentang tugas dan tanggung jawab masing-masing komisi. [Meski begitu] soal kinerja dan efektivitas itu tidak bergantung pada jumlah komisi. Tapi, lebih pada komitmen dan integritas para anggota DPR,” terang dia.
Di sisi lain, Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum UGM, Herlambang P. Wiratraman, meragukan argumentasi terkait keselarasan dan efektivitas DPR mengawasi pemerintah selanjutnya sebagai alasan untuk menambah jumlah komisi. Pasalnya, hal ini kontras sekali jika dibandingkan dengan kinerja buruk DPR belakangan ini dalam legislasi.
Herlambang menegaskan bahwa yang terpenting adalah kualitas kerja-kerja DPR, bukan kuantitas komisi. Kualitas legislasi yang hadir selama ini dinilai masih buruk.
“[Penambahan jumlah komisi] justru menguatkan kepentingan segelintir kelompok elite ya, kekuasaan bisnis dan politik. Ini adalah refleksi dari pembuat peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh DPR dan pemerintah yang kerap diprotes dan didemo masyarakat,” kata Herlambang kepada reporter Tirto, Rabu.
Herlambang menilai, yang seharusnya diperbaiki adalah paradigma proses legislasi yang semakin menjauhi cita-cita konstitusi. Pengesahan produk undang-undang belakangan ini, kata dia, kental merefleksikan politik transaksional yang mengafirmasi kepentingan politik elite dan kepentingan partai politik.
Membentuk komisi baru di DPR pun tidak menjadi urgensi sebab argumen dan intensinya dinilai tidak didasari niat menuntaskan problem dasar kinerja buruk DPR. Masalah utamanya, ada pada “kejahatan legislasi” sebagai strategi politik akomodasi transaksional untuk menguatkan posisi jaringan bisnis dan politik.
“Sistem kartelisasi ini semakin menguat di era Jokowi dan ini arahnya untuk melumpuhkan suara oposisi. Untuk kepentingan bisnis dan politik di antara parpol yang berkuasa dan benar-benar hanya menguntungkan elite politik,” ucap Herlambang.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi