tirto.id - “Saat pemilihan Gubernur DKI, anggaran yang saya pakai juga kecil. Pak Prabowo tahu itu.”
Prabowo Subianto tersenyum, menengok ke Sandiaga Uno sambil membetulkan letak dasi yang sebenarnya masih menempel rapi. Agaknya Ketua Dewan Pembina Gerindra itu tak menyangka Joko Widodo akan membalas pertanyaan soal gaji kecil kepala daerah dengan sebuah serangan.
Gestur-gestur kecil semacam ini bukanlah hal remeh. Secara tak sadar, otak pemirsa debat memproses bahasa-bahasa non-verbal itu menjadi keyakinan dalam menentukan pilihan.
Para pakar bahasa non-verbal di Amerika Serikat menyimpulkan hipotesis tersebut dari debat-debat calon presiden di Amerika sejak 1977, ketika negara tersebut memilih Jimmy Carter sebagai presiden. Mereka membikin premis bahwa bahasa non-verbal lebih memengaruhi alam bawah sadar pemilih, dibanding sekadar retorika dalam berpidato. Respons-respons tubuh yang salah bisa merusak citra politisi, membuat mereka kehilangan suara pada hari pemilihan.
Kondisi ini dicontohkan pada debat calon presiden terakhir antara Hillary Clinton dengan Donald Trump. Pada banyak survei, Hillary diprediksi akan memenangkan pertarungan. Namun pakar-pakar bahasa non verbal di Amerika punya pendapatnya sendiri. Dilansir laman Washington Post, saat acara debat berlangsung, Trump cenderung tampil dalam mode 'alpha-male' maksimal.
Saat melempar tuduhan, Trump membuat isyarat agresif dengan berulang kali menunjuk ke arah Clinton. Taktik menyerang ini dinilai para pakar bahasa non-verbal sebagai kekuatan Trump untuk membangun dominasi dan menjadi daya tarik. Apalagi pemilih di Amerika cenderung tertarik pada kandidat yang terlihat lebih dominan dan kuat.
“Sementara Clinton lebih banyak membuat senyum palsu. Ia duduk saat Trump bicara, membuatnya jadi terlihat lebih lemah,” tulis Washington Post.
Bagaimana dengan penilaian bahasa non-verbal pada paslon pilpres di Indonesia?
Beberapa gestur yang paling diingat penonton adalah momen Prabowo berjoget dan Sandi berkelakar dengan memijat bahu capres nomor 02 itu. Selebihnya, tak banyak analisis yang menelanjangi mimik muka dan gestur dari kedua paslon.
Tirto menghubungi dua pakar bahasa non-verbal untuk mengulas sisi tersebut.
Monica Kumalasari, pakar gestur dan mikro ekspresi, memblejeti satu per satu tingkah paslon yang tidak tertangkap penonton kebanyakan. Ia menyebut satu ekspresi paling nyata yang diperlihatkan Prabowo, yakni sering berkedip, selain gerakan manipulatif yang muncul saat ia tersenyum, membetulkan letak dasi, dan mikrofon.
Gestur ini muncul beberapa kali saat Jokowi membahas soal hoaks operasi plastik yang dilakukan tim sukses Prabowo. Ia muncul lagi ketika Jokowi mengajukan pertanyaan soal eks napi koruptor dan ketika Prabowo membahas perannya sebagai spesialis anti-teror di militer.
Ekspresi serupa juga ditunjukkan Jokowi saat Prabowo menyatakan ketidaksepahaman soal rencana pembentukan Pusat Legislasi Nasional. “Senyum adalah cara paling aman untuk menutupi ekspresi asli. Rasa malu bisa disamarkan dengan tersenyum,” ungkap lulusan Paul Ekman International, Pusat Pelatihan Ilmu Perilaku ini.
Ketika Prabowo menyinggung konflik kepentingan antar-menteri dalam Kabinet Kerja soal impor beras di segmen Korupsi dan Terorisme, ujung bibir kanannya naik, menunjukkan ekspresi mikro yang disebut 'contempt expression'. Ekspresi individu superior yang menganggap lawan bicaranya punya kedudukan lebih rendah dari dirinya.
Soal cawapres nomor urut 02, Monica tak punya banyak catatan. Sandi menurutnya tampak kurang memiliki rasa percaya diri. Kondisi ini terlihat saat ia "keselip" bertanya dengan kalimat pengandaian apabila Jokowi terpilih kembali sebagai presiden. Secara tak langsung, Sandi meyakini bahwa peluang kemenangan rivalnya masih terbuka lebar. Selebihnya, ia digambarkan sebagai individu rendah hati dan punya penguasaan emosi yang baik.
“Ma'ruf Amin juga begitu, keduanya tampil paling natural. Tapi karena belum berpengalaman, jadi kontennya masih minim.”
Sementara itu, pada Jokowi, Monica menemukan pembawaan berbeda antara Jokowi dalam debat dengan gestur kesehariannya. Selama ini Jokowi dikenal sebagai pribadi santai dan sangat mudah tersenyum. Saat debat lalu, ia menjadi pihak yang paling irit senyum. Jokowi lebih sering menaikkan alis sebagai bentuk penegasan atas pernyataan dan pertanyaan yang terlontar.
Pada debat tersebut, Monica juga melihat adanya dukungan dan energi yang diberikan Jokowi kepada Ma'ruf. Deskripsi itu ditunjukkan dengan tatapan Jokowi saat Mantan Ketua MUI tersebut berbicara pada segmen kedua dan ketiga. Terakhir, refleks yang perlu dicatat pada Jokowi adalah aksi menggulung lengan baju saat penutupan. Monica mengartikannya sebagai bentuk penegasan motto sang petahana: kerja, kerja, kerja.
“Terlepas dari citra berbeda yang ditampilkan, Jokowi punya hati pemaaf, ia lebih dulu menghampiri paslon 2 untuk bersalaman,” pungkas Monica.
Washington Post mengartikan aksi jabat tangan sebagai simbol kesetaraan posisi.
Selain Monica, Tirto juga menghubungi Handoko Gani, seorang alumni Forensic Emotion, Credibility, and Deception di Emotional Intelligence Academy, di Manchester. Pakar pendeteksi kebohongan ini secara general menjabarkan teknik kampanye non-verbal masing-masing paslon.
Prabowo menurutnya seperti Trump, karena sama-sama memakai gestur dan bahasa kampanye yang konsisten. Jika Trump menempatkan diri sebagai sasaran tembak Hillary, Prabowo menempatkan dirinya sebagai objek serangan Jokowi.
Namun, di saat yang sama mereka menanamkan gagasan secara repetitif dan tegas selama debat berlangsung. Secara halus, gagasan-gagasan tersebut akan tertanam di benak pemilih. Misalnya ketika Prabowo mengucap "Indonesia menang" atau "Saya sendiri yang akan bertindak..."
“Bedanya, Probowo terpancing saat ditanya eks napi koruptor. Ekspresinya lepas dengan memotong, marah, tersinggung,” ungkap Handoko.
Sementara pada Jokowi, ia memiliki catatan perubahan nada suara saat petahana ini membuat pernyataan, menjawab pertanyaan, dan bertanya. Nada suara Jokowi saat membela diri cenderung keras, sementara saat bertanya nada suaranya tergolong lebih santai dibumbui sedikit ekspresi sinis.
Meski begitu, menurutnya secara umum Jokowi lebih menguasai teknik komunikasi non-verbal ketimbang Prabowo. Simbol-simbol non-verbal paslon nomor 01 itu tersusun rapi, mulai dari pemilihan baju, taktik membawa keluarga, hingga refleks gerakan mikro.
“Jokowi menang di sisi ekspresi non-verbal, sementara Prabowo kurang diatur.”
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani