tirto.id - Debat perdana Pilpres 2019 yang digelar di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis malam, 17 Januari masih menyisakan sejumlah persoalan. Mulai dari teknis penyelenggaraan hingga substansi debat yang bahas tema hukum, HAM, korupsi, dan terorisme.
Evaluasi menyeluruh harus dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar penyelenggaraan debat berikutnya bisa lebih baik lagi. Ketua KPU RI Arief Budiman mengakui lembaganya menerima banyak kritikan dan saran usai penyelenggaraan debat pertama itu.
“Pasti tidak mampu memuaskan semuanya, karena ada yang merasa ini sudah cukup, ada yang mengatakan ini luar biasa, ada yang mengatakan ini kurang baik dari sisi penyelenggara maupun dari sisi kandidat,” kata Arief, di Kantor KPU, Jakarta Pusat, Jumat (18/1/2019).
Sorotan utama penyelenggaraan debat perdana ini, yakni terkait dengan diberikannya kisi-kisi soal kepada paslon sepekan sebelum pelaksanaan. Sebanyak 20 soal yang telah disusun tim panelis diberikan kepada paslon, meskipun saat debat paslon tak mengetahui pertanyaan mana yang akan ditanyakan moderator.
Pemberian kisi-kisi ini dianggap membatasi para paslon untuk melakukan improvisasi gagasan-gagasan yang seharusnya disampaikan dengan baik ke masyarakat. Ada anggapan, akibat kisi-kisi pertanyaan itu, kedua paslon terpaku pada kertas sontekan yang mereka letakkan di meja masing-masing.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem) Titi Anggraeni menilai kedua paslon terlalu terpaku pada jawaban yang telah mereka hafalkan sebelum debat dimulai.
“Jadi anomali ketika moderator bilang amplopnya disegel, padahal mereka [paslon] sudah tahu apa pertanyaannya. Semakin ironi lagi, ketika sudah dapat pertanyaannya, jawabnya masih baca,” kata Titi saat ditemui dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (19/1/2019).
Titi mengapresiasi adanya perubahan format debat yang dilakukan KPU periode sekarang, salah satunya dengan memberikan terlebih dulu poin-poin yang akan ditanyakan.
Ia memahami tujuan diberikannya kisi-kisi itu agar paslon menyiapkan jawaban-jawaban yang tersusun dengan baik. Namun, batasan waktu membuat paslon tak bisa menyampaikan dengan utuh jawaban-,jawaban tersebut ke publik.
Apalagi, empat tema besar itu harus disampaikan oleh paslon hanya dalam satu kali debat dengan durasi sekira 90 menit. Menurut Titi waktu yang singkat ini juga menjadi persoalan bagi paslon untuk menyampaikan program-program terkait tema-tema yang dianggap krusial itu.
"Empat tema itu terlalu besar untuk waktu 90 menit itu. Akhirnya mereka seperti marathon, serba tergesa-gesa, alih-alih bisa mengkristalisasi persoalan, dua paslon justru lebih memilih ke zona aman,” kata Titi.
Terkait kritik ini, KPU akan akan mempertimbangkannya untuk empat sesi debat selanjutnya. Komisioner KPU Wahyu Setiawan kepada reporter Tirto mengatakan, dirinya memahami debat pertama belum sepenuhnya memenuhi harapan publik.
Karena itu, kata dia, KPU RI akan melakukan evaluasi menyeluruh terkait format dan mekanisme debat untuk perbaikan debat berikutnya.
Salah satu yang dievaluasi yang akan dilakukan adalah terkait isu pemberitahuan abstraksi kisi-kisi soal kepada kandidat. Namun, pembahasan evaluasi ini baru akan dilakukan pada Senin, 21 Januari 2019.
“KPU RI berupaya mengartikulasikan harapan publik sehingga untuk debat berikutnya abstraksi soal yang dibuat panelis tidak diberitahukan kepada kandidat,” kata Wahyu.
Persoalan Teknis di Lapangan Juga Harus Dievaluasi
Tak hanya soal substansi, evaluasi debat juga harus meliputi teknis penyelenggaraan, khususnya terkait dengan peliputan oleh media. Rakhmatullah, jurnalis media daring Sindonews.com kesal dengan akses untuk bisa meliput acara debat perdana itu.
Ia bersama ratusan jurnalis lainnya harus rela bermandikan hujan saat ingin menukarkan tanda pengenal pers miliknya dengan kartu akses untuk bisa masuk ke dalam arena debat.
Saat itu, pukul 16.00 WIB, Humas KPU baru membuka tempat untuk melakukan penukaran. Sebuah tenda berukuran kecil didirikan di dekat pintu masuk Hotel Bidakara.
Namun, malang saat sedang mengantre hujan deras disertai angin kencang mengguyur kawasan tersebut. Sontak, penukaran ID peliputan debat harus tertunda dan para jurnalis langsung mencari tempat untuk berteduh dari hujan.
"Hujan angin ditambah agak lambat petugasnya, jadinya ngantre panjang," ucap Rakhmatullah kepada reporter Tirto.
Berkaca pada debat Pilpres 2014, kata Rakhmatullah, KPU membagikan kartu akses peliputan debat satu hari sebelum acara, dan pembagian dilakukan di kantor KPU, bukan di lokasi acara debat.
Selain itu, kata dia, yang membuat antre adalah wartawan harus menukarkan kartu persnya dengan kartu akses peliputan debat. Hal ini, kata Rakhmatullah, sangat membuang waktu.
"Harusnya kayak debat Pilpres 2014 saja, tukar ID nya di Kantor KPU," ucapnya.
Keluhan yang sama diungkapkan jurnalis medcom.id, Damar Iradat. Ia mengeluhkan soal ruang khusus wartawan yang tak memadai kapasitasnya.
Dalam aturan yang dibuat Humas KPU, mereka memang hanya membolehkan dua wartawan dari setiap media untuk bisa masuk ke dalam. Khusus untuk arena panggung debat, selain media televisi yang memiliki hak siar debat, KPU hanya membolehkan ruangan tersebut diisi jurnalis foto.
Sementara, selain jurnalis foto diberikan ruangan khusus dan disediakan layar televisi untuk bisa menyaksikan jalannya debat. Namun, Damar sangat menyayangkan ukuran layar tersebut terlalu kecil untuk bisa disaksikan orang dalam jumlah yang banyak.
"TV nya kecil banget, sementara yang nonton satu ruangan penuh dan kadang berisik jadi merusak konsentrasi," kata Damar.
Komisioner KPU Wahyu Setiawan saat dikonfirmasi mengatakan semua keluhan tentang persoalan debat akan diterimanya dan menjadi bahan evaluasi. Prinsipnya, KPU akan melakukan pembenahan agar debat-debat selanjutnya bisa lebih baik lagi.
“Sebagai pelayan publik dalam bidang kepemiluan, KPU RI terbuka terhadap kritik dan saran dari masyarakat. Pasti semua masukan akan kita tampung dan jadi bahan evaluasi,” ucap Wahyu.
Sementara itu, Komisioner KPU periode 2007-2012, Sri Nuryanti meminta KPU sebagai penyelenggara pemilu untuk mengevaluasi pelaksanaan debat pertama. Kata Sri, KPU sebagai lembaga penyelenggara harus betul-betul solid dalam mengambil kebijakan.
Menurut Sri tak masalah bila KPU mengakui telah melakukan kesalahan atau ketidaksempurnaan dalam kebijakannya. Yang terpenting, kata dia, KPU harus mau melakukan evaluasi dan perubahan bila keputusan yang dibuatnya justru merugikan banyak pihak.
“Kalau tidak perlu ada perubahan, jangan lakukan perubahan. Kalau memang perlu perubahan, sampaikan dengan baik,” kata Sri Nuryanti saat ditemui di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (19/1/2019).
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Abdul Aziz