Menuju konten utama
Debat Perdana Pilpres 2019

Nonton Bareng Dua Kubu, Cara Milenial Kendurkan Ketegangan Pilpres

Nonton bareng menjadi ajang pembuktian demokrasi di tanah air masih damai dan bukan cerminan sesungguhnya dari realitas media sosial antar-pendukung dua paslon yang kerap ribut.

Nonton Bareng Dua Kubu, Cara Milenial Kendurkan Ketegangan Pilpres
Nobar debat capere-cawapres perdana di Kafe Nusa Kopi, Kebayoran Jakarta Selatan 17//1/2019. tirto.id/Restu

tirto.id - “Teman-teman,” Metha Magdalena, wanita berjilbab dan kemeja putih itu menyambar mikrofon di sela-sela pembacaan visi misi capres-cawapres pada gelaran debat perdana Pilpres 2019, Kamis malam. Ia adalah salah satu relawan Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf, Kita Satu.

“Saat berjalannya debat nanti dimohon tenang. Jangan ada yang mengeluarkan pernyataan-pernyataan provokatif,” sambung Metha.

Kafe Nusa Kopi, Kebayoran, Jakarta Selatan yang tadinya riuh mendadak tenang.

Metha menegaskan aturan tersebut bukan tanpa alasan. Malam itu merupakan kali pertama relawan pendukung kedua pasangan capres-cawapres dari kalangan milenial duduk bersama nonton bareng debat Pilpres 2019. Terjadinya ketegangan antara dua kubu, menjadi hal terakhir yang bisa dibayangkan relawan TKN Jokowi-Ma’ruf, Kita Satu sebagai inisiator acara dan jelas akan menjadi preseden buruk bagi kedua kubu.

Koordinator Kita Satu TKN Jokowi-Ma’ruf, M. Pradana Indraputra baru menginisiasi acara ini dua hari sebelum debat berlangsung. Ia melihat belum ada acara nonton bareng yang menyatukan pendukung kedua kubu dalam satu tempat, terlebih dari kalangan milenial.

“Selama ini kami lihat pendukung kedua kubu enggak akur. Berselisih terus. Jadi dengan adanya ini [nonton bareng] kami berharap bisa jadi contoh bagi semua, bagi para senior kalau kami yang muda saja bisa akur,” kata Pradana kepada reporter Tirto sesaat menjelang debat.

Ajakan ini kemudian langsung direspons positif oleh relawan Sahabat Prabowo-Sandi dan Prabowo Sandi Digital Team (PRIDE).

“Selama ini yang ketemu, kan, hanya elite-elitenya saja, kan. Relawannya belum pernah duduk bareng. Ini positif, walaupun kami [pilihannya] berbeda, namun sebenarnya tetap satu,” ujar Fauzi Firmansyah dari PRIDE.

Sempat ada kekhawatiran dari Fauzi, timnya akan diprovokasi karena tandang ke kandang lawan.

Namun, kekhawatirannya malam itu tak terbukti. Nonton bareng berlangsung kondusif. Pendukung kedua kubu hanya beberapa kali bersorak ketika paslon pilihan mereka mengeluarkan pernyataan-pernyataan tertentu.

Sorakan itu terdengar, misalnya, saat Joko Widodo berbicara mengenai caleg mantan koruptor yang diusung Partai Gerindra. Atau ketika Prabowo menyinggung soal kasus kepala desa yang ditangkap setelah menyatakan dukungannya kepada paslon nomor urut 02 itu.

Kedua kelompok bahkan sempat berkelakar saat Fauzi dari PRIDE tengah memberikan pernyataan pada salah satu jeda.

“Kita berbeda, tapi tetap satu!”

Yang langsung disambut pendukung Jokowi-Ma’ruf dengan mengacungkan satu jari dan mendukung pernyataan Fauzi. Namun, Fauzi buru-buru meralat pernyataannya. “Kita satu, tapi presiden tetap nomor dua!”

Ribut Semu di Dunia Maya

Di jagat media sosial, kedua kubu senantiasa ribut tak berkesudahan dengan kerap membangun narasi-narasi tak substantif. Tak jarang beberapa di antaranya justru tak segan memproduksi hoaks.

Bersatunya pendukung kedua pasangan calon saat debat perdana Pilpres 2019 ini, menjadi kontradiktif dengan apa yang terjadi di media sosial selama ini.

Tak ada nuansa permusuhan maupun ketegangan. Beberapa relawan Jokowi, yang didominasi pakaian kemeja putih terlihat merokok bareng dengan relawan Prabowo saat jeda berlangsung. Beberapa lainnya mengobrol santai antar-pendukung pasangan calon.

“Ini sebagai bukti bahwa demokrasi kita masih aman. Damai-damai saja. Tidak seperti yang disorot orang. Intinya kami menjadi contoh,” ujar Busfi, salah satu relawan Kita Satu TKN Jokowi-Ma’ruf.

Kampanye positif dari kedua kubu ini menjadi bukti bahwa apa yang disuguhkan media sosial tak serta merta menjadi cerminan realitas yang terjadi di masyarakat.

“Pun jika ada gesekan, biasanya itu ada yang provokasi,” imbuh Dahwin yang juga relawan Sahabat Prabowo-Sandi.

Hal ini juga diamini pendukung Prabowo-Sandi. Isu-isu liar yang berkembang di media sosial kerap dianggap sebagai biang permusuhan dan memperuncing polarisasi politik. Nobar kali ini menjadi ajang untuk menangkal isu-isu tersebut.

“Realisasinya kami di dunia nyata bersahabat, terlebih kami dari kalangan milenial menjadi garda terdepan stabilitas politik nasional saat ini,” kata Zaki, relawan Sahabat Prabowo-Sandi.

Pernyataan Zaki tidaklah berlebihan. Berdasarkan hasil survei politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), jumlah suara milenial dalam Pilpres 2019 mencapai 35 sampai 40 persen atau sekitar 80 juta dari 185 juta suara.

Kecenderungannya pun bersifat rasional dan secara sadar mau berpartisipasi. Dengan kata lain, kelompok milenial berpotensi menjadi penentu suara pada pilpres tahun ini.

Menekan Suara Golput

Di antara keriuhan dari pendukung dua paslon tersebut, duduklah Anton dan teman-teman kuliahnya, antusias mengikuti jalannya debat.

Ia dan kawan-kawannya mengatakan hingga saat ini belum menentukan pilihan. Menonton debat capres-cawapres menjadi salah satu pertimbangannya dalam memilih nanti.

“Masih ada empat kali debat lagi. Lihat nanti,” kata Anton kalem.

Sementara Riva, salah satu peserta nobar yang juga belum menentukan pilihan menganggap acara nonton bareng dengan kedua kubu merupakan gestur positif dari iklim demokrasi tanah air.

“Ini membuat kami generasi milenial mau ikut berpartisipasi dalam berpolitik,” ujarnya.

Menjadi relevan, ketika angka golput diprediksi akan melonjak pada musim pilpres tahun ini. Kendati dalam survei Indikator Politik menyebut angka golput hanya mencapai 1,1 persen, namun Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanudin Muhtadi menduga angka itu akan meningkat hingga 25 persen.

Kampanye positif yang dilakukan pendukung milenial seyogyanya dapat menggaet suara bagi kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Narasi kebohongan dan politik identitas seharusnya sudah menjadi barang usang yang tak perlu digunakan sebagai dagangan politik. Karena milenial tak akan mau membelinya.

Baca juga artikel terkait DEBAT CAPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Politik
Reporter: Restu Diantina Putri
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Abdul Aziz