tirto.id - Memilih seorang pemimpin negara bukanlah hal yang mudah untuk Iwa Nurma Ahyari (25). Ia mengaku telah kehilangan kepercayaan terhadap politikus. Menurut Iwa, kebanyakan calon presiden dan calon wakil presiden hanya bisa mengobral janji. Kelak, pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 nanti, Iwa menginginkan presiden yang benar-benar bekerja untuk rakyat.
“Aku ingin presiden kita nanti itu yang enggak banyak statement, enggak banyak wacana, dan enggak banyak komentar. Presiden yang kelihatan kerjanya. Percuma kalau terlalu banyak bicara tapi lupa kerja, terus enggak ada hasilnya,” ungkap Iwa.
Iwa mengungkapkan dirinya menginginkan sosok seperti Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi kepala negara. Menurut Iwa, Ahok memiliki kinerja yang nyata, meskipun sering “bersuara”. Wanita yang bekerja sebagai penyiar ini mengungkapkan, politik di Indonesia saat ini mudah ditunggangi oleh berbagai kepentingan politik, apalagi pada tingkat pemimpin negara.
Agar tak salah pilih, pada pemilu tahun depan, Iwa akan mencari informasi track record dari para calon. Selain itu, ia juga akan mencari tahu orang-orang yang berada di belakang para pasangan calon itu, karena secara tak langsung mereka akan terlibat dalam pengambilan kebijakan.
Senada dengan Iwa, Rosalia Simone (31) juga menginginkan sosok presiden yang betul-betul kerja.
“Presiden ideal sih yang punya wibawa, kalau pidato juga bisa membakar semangat. Tidak takut berjuang seperti Sukarno, tapi juga kelihatan kerjanya. Selain itu, presiden yang mengikuti zaman, merangkul generasi muda, itu juga penting,” tutur wanita yang bekerja sebagai pengajar piano yang biasa dipanggil Rosa itu.
Menurut Rosa, presiden mendatang memiliki banyak PR, di antaranya soal pendidikan. Saat ini, menurutnya, masih banyak sekolah dan guru yang kurang layak.
“Terkadang guru yang layak hanya jadi honorer. Mungkin pemerintah perlu kaji ulang [mungkin] honorer ini, mereka perlu upgrade pendidikannya. Sistem pendidikan di Indonesia menurutku kurang bagus, pendidikan karakter juga kurang,” kata Rosa.
Selain itu, presiden mendatang harus mengembangkan wirausaha, sebab ia merasa lapangan pekerjaan saat ini masih kurang. Namun, pemerintah mendatang juga memiliki tugas untuk mengajak masyarakat mencintai produk lokal.
Untuk memilih presiden, Rosa akan melihat track record dari para pasangan calon.
“Aku lebih melihat apa yang sudah pernah diperbuat para calon itu untuk Indonesia, beserta dampaknya, baik ataupun buruk,” ungkap Rosa.
Bagi Rosa, masalah klasik yang akan menjadi tugas besar pemimpin mendatang adalah pemberantasan korupsi. Ia merasa, selama ini pemerintah masih setengah-setengah dalam membasmi korupsi.
Faktor kinerja juga menjadi penentu utama bagi Prima Ayu Lestari (22) saat memilih presiden pada 2019 mendatang, selain soal korupsi dan perbaikan kualitas sumber daya manusia (SDM). Menurutnya, sebaik apapun program yang direncanakan, tak akan berdampak jika kualitas SDM masih rendah. Apalagi bagi dia, keberadaan Presiden merupakan cerminan dari rakyat dan negara.
Meski saat ini Ayu belum mengetahui rekam jejak para pasangan capres dan cawapres, ia tak khawatir, sebab kemudahan akses internet bisa membantu dirinya untuk menentukan pilihannya pada 2019 mendatang. Ayu biasa mencari informasi melalui kanal berita atau Youtube.
Milenial adalah Kunci
Iwa, Rosa, dan Ayu adalah aspirasi dari generasi milenial. Warga dari kelompok usia yang lahir pada 1980-1997 ini jumlahnya tak sedikit. Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang P. S. Brodjonegoro pernah menyampaikan bahwa Indonesia memiliki bonus demografi yang akan menjadi aset pembangunan nasional.
“Terdapat 90 juta generasi milenial yang akan menjadi aset pembangunan,” tutur Bambang, seperti dilansir situs resmi Bappenas.
Tingginya angka generasi milenial di Indonesia itu menjadikan kedua kubu koalisi saling klaim bahwa pasangan yang mereka usung bisa menggaet suara milenial. Koalisi Indonesia Kerja yang mengusung Jokowi-Ma’ruf misalnya, meyakini suara milenial bisa mereka kuasai.
“Tentu saja Pak Jokowi sendiri kan dari gayanya, kepemimpinannya kan menampilkan aspek-aspek gaya kepemimpinan yang juga sangat diapresiasi oleh kaum milenial ini," kata Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto.
Selain Hasto, Ketua Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) juga menilai cawapres yang digandeng Jokowi memiliki sifat milenial.
“Ma’ruf Amin itu milenial juga, milenial itu bukan masalah umur [tapi] masalah perbuatan, sikap. Jadi itu bagian dari kombinasi antara nasionalis-religius,” kata OSO tentang cawapres berusia 75 tahun itu.
Koalisi Prabowo-Sandi pun sama. Presiden PKS Sohibul Iman pernah melontarkan pernyataan bahwa cawapres yang mereka usung, Sandiaga Uno, bisa menjadi contoh bagi generasi milenial.
“Walaupun berpenampilan stylish, milenial, tetapi berpegang teguh ajaran Islam. Insyaallah, Sandiaga adalah santri di abad milenial,” ujar Sohibul Iman.
Memangnya bagaimana kecenderungan kaum milenial dalam soal politik?
Julian Zelizer pernah menulis artikel berjudul “Who Will Grab Millenial Vote?” di CNN, untuk mengomentari pemilihan presiden di Amerika Serikat. Menurut pandangannya, suara generasi milenial berpengaruh besar dalam pembuatan opini, penggalangan dana, serta pengorganisasian politik.
“Milenial akan banyak berkomentar tentang politik, tentang pemilu 2016, mereka akan bekerja di tempat-tempat kandidat mencari donor untuk dana kampanye. Mereka juga akan bertanggung jawab terhadap pekerjaan pengorganisasian akar rumput,” tulis Julian.
Julian juga menyampaikan jika generasi milenial hidup dalam era digital. Sehingga dalam menentukan pilihannya, ia memiliki sumber informasi yang bisa terus berubah.
Untuk konteks Indonesia, November 2017 lalu Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pernah merilis survei tentang “Ada Apa dengan Milenial? Orientasi Sosial, Ekonomi, dan Politik”. Dalam survei tersebut, mereka mengelompokkan generasi milenial berusia 17 hingga 29 tahun. Hasilnya, generasi milenial lebih memilih televisi dan media online sebagai sumber informasi mereka, dibandingkan radio dan surat kabar (pdf).
Dalam survei tersebut tercatat, 79,3 persen generasi milenial menonton televisi setiap hari dan 54,3 persen berselancar di media online. Sebaliknya, 57,2 persen generasi milenial mengaku tak pernah mendengarkan radio dan 56,0 persen tidak pernah membaca surat kabar.
Pada survei yang dilakukan CSIS tahun 2017 tersebut juga diketahui bahwa 81,7 persen milenial memiliki akun Facebook, 70,3 persen pengguna Whatsapp, 61,7 persen merupakan menggunakan BBM, 54,7 persen memiliki akun Instagram, 23,7 persen memiliki akun Twitter, dan 16,2 persen memiliki akun Path.
Bagi kaum milenial, media sosial rupanya berpengaruh terhadap pilihan calon presiden mereka. Meski begitu, berdasarkan survei CSIS tersebut, nama capres lain lebih unggul pada aplikasi jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Path, dan Instagram.
Namun, jika menilik pada kedua nama capres, Prabowo Subianto lebih unggul di 3 media sosial, seperti Twitter, Path, dan Instagram. Sedangkan lawan politiknya, Joko Widodo, hanya berhasil memikat milenial pengguna Facebook.
Lalu, masalah apa yang harus diperhatikan dalam kampanye yang menyasar kaum milenial?
Survei CSIS itu menunjukkan bahwa kaum milenial mengalami kesulitan soal terbatasnya lapangan pekerjaan, tingginya harga sembako, tingginya angka kemiskinan, pelayanan dan biaya kesehatan yang mahal, pelayanan dan kualitas pendidikan yang buruk, tingginya angka ketimpangan antara yang kaya dan miskin, adanya pungutan liar dalam pengurusan di kantor pemerintah, serta rendahnya daya beli masyarakat.
Milenial di Pilpres 2019
Pengamat politik Yunarto Wijaya menyampaikan untuk memperoleh suara dari milenial, faktor tokoh masih menjadi yang utama, dan diikuti oleh faktor isu. Dalam pertarungan pemilihan presiden 2019 nanti, milenial akan memilih tokoh yang dianggap merepresentasikan mereka, seperti umur dan karakter kepemimpinan spontan, serta memiliki gaya bahasa yang sama dengan generasi mereka.
Yunarto merumuskan 4C yang bisa menjadi senjata bagi para petarung, yakni Critical, Change, Communicative, serta Community. Generasi milenial menurutnya merupakan generasi yang paling kritis, karena kemudahan informasi yang dapat mereka terima.
“Karakter mereka itu dibanding dengan semua segmen, merupakan pemilih paling kritis, mereka bisa dengan mudahnya mendapat informasi dalam dunia digital. Mereka bisa membedakan mana hoaks, janji bohong, kampanye tipu-tipu atau kampanye yang benar,” tutur Yunarto.
Selain kritis, generasi milenial juga menyukai perubahan karena mereka memiliki pergaulan yang luas, sehingga mudah bagi penantang untuk mendapatkan simpati dari milenial. Untuk petahana, menurut Yunarto mereka harus menawarkan hal baru ketika mereka terpilih kembali menjadi presiden.
“Ketiga, komunikatif, harus dengan bahasa milenial, jangan dengan pidato gaya birokratis seperti pidato di depan PNS,” kata Yunarto.
Tak hanya itu, untuk meraup suara milenial, para pasangan calon harus memiliki tim khusus yang dibentuk untuk mendekati komunitas. Sebab, kaum milenial sudah tak bisa lagi didekati melalui pendekatan formal di keluarga, karena kedekatan mereka dengan komunitas sangat kental.
Menurut Yunarto, dalam kontestasi kali ini pertarungan ada pada sosok Jokowi dan Sandi, sebab Prabowo cenderung menyukai pembicaraan hal besar, dan dari segi usia, Ma’ruf Amin terlalu jauh dengan kaum milenial.
“Sandi dan Jokowi ada di wilayah itu. Jokowi berusaha mendekati komunitas milenial, seperti [komunitas] sepeda motornya, dengan berolahraga, menggunakan sepatu sneakers, atau jaket yang dianggap dekat dengan milenial. Sedangkan Sandi, dia memiliki beberapa atribut seperti kemampuan entrepreneur, usianya juga masih muda, dia juga seorang runner. Mereka punya modal untuk bisa masuk,” ungkap Yunarto.
Untuk mendulang suara milenial, para pasangan calon harus berkosentrasi dengan hal-hal mikro dan konkret, sehingga menggunakan pendekatan sektoral.
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani