Menuju konten utama

P2G Kritik Kebijakan 50 Siswa per Kelas di Jabar Seperti Penjara

P2G menilai, kebijakan Dedi Mulyadi tersebut melanggar Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2023 dan juknis BSKAP Nomor 071/H/M/2024.

P2G Kritik Kebijakan 50 Siswa per Kelas di Jabar Seperti Penjara
Kegiatan belajar dan mengajar sekolah dasar negeri di Kecamatan Kedungwaringin, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat kembali normal pada Senin (13/3) usai terdampak banjir yang memaksa para murid menjalani aktivitas belajar dari rumah secara daring. ANTARA/Pradita Kurniawan Syah

tirto.id - Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengkritik kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, terkait rencana menampung hingga 50 siswa di satu kelas dalam program pencegahan anak putus sekolah di Jawa Barat.

Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri, menilai kebijakan tersebut akan berdampak negatif bagi guru maupun siswa dari berbagai aspek, termasuk proses belajar yang tak efektif sehingga terganggunya kualitas belajar di kelas.

"Kelas akan terasa sumpek, seperti penjara, mengingat ruang kelas SMA/SMK itu hanya muat maksimal 36 murid saja," kata Iman dalam keterangan resminya, dikutip Senin (7/7/2025).

P2G juga menilai, kebijakan tersebut tidak hanya bertentangan dengan regulasi pusat seperti Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2023 dan juknis BSKAP Nomor 071/H/M/2024, tetapi juga tidak akan menyelesaikan akar persoalan tingginya angka anak putus sekolah di Jawa Barat yang mencapai sekitar 658 ribu anak.

"Kami menilai, memasukkan 50 murid SMA ke satu kelas justru solusi instan jangka pendek," lanjut Iman.

Kemudian, Iman menyebut bahwa penyebab anak putus sekolah tidak semata-mata karena keterbatasan daya tampung sekolah negeri, tetapi disertai masalah lain. Misalnya, pernikahan dini, konflik hukum, kemiskinan, hingga menjadi pekerja anak.

Untuk itu, P2G mendorong agar Pemprov Jabar mempertimbangkan alternatif lain seperti madrasah, sekolah rakyat, dan jalur pendidikan nonformal.

"P2G kasih usul konkret, agar KDM mempertimbangkan anak putus sekolah untuk dimasukan ke madrasah negeri atau swasta, ke pendidikan non formal atau sekolah rakyat, yang semuanya juga full dibiayai negara," ujar Iman.

Lebih jauh, Iman mengamati bahwa kebijakan Dedi kerap tak selaras dengan kebijakan pusat yang disusun Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen).

Dalam kesempatan tersebut, Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim, juga memperingatkan bahwa dampak kebijakan ini tidak hanya dirasakan guru dan siswa di sekolah negeri, tapi juga mengancam keberlangsungan sekolah swasta.

Ia juga menyoroti potensi kerugian hak-hak siswa jika mereka tidak tercatat secara resmi dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik), yang berisiko membuat para siswa tidak memperoleh ijazah.

“P2G menerima laporan dari SMA/SMK swasta di Jawa Barat yang mulai merasakan sepinya murid peminat sekolah mereka,” kata Satriwan.

Oleh karena itu, Satriwan menawarkan empat solusi jangka panjang untuk mencegah anak putus sekolah tanpa harus memaksakan jumlah siswa dalam satu kelas. Di antaranya penambahan ruang kelas atau pembangunan Unit Sekolah Baru (USB) dengan memperhatikan eksistensi sekolah swasta di sekitar, serta berkolaborasi dengan sekolah swasta melalui skema SPMB Bersama seperti yang telah diterapkan di DKI Jakarta.

Selain itu, Satriwan berharap agar Pemerintah Daerah mewujudkan pendidikan gratis berkualitas untuk semua. Hal ini, katanya, dengan dukungan penuh dari APBN dan APBD, sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tentang pembiayaan sekolah dasar dan menengah baik negeri maupun swasta.

“Jangan sampai kebijakan Gubernur KDM ini malah 'membunuh' pelan-pelan sekolah swasta yang selama ini sudah berjuang bersama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa," tandasnya.

Baca juga artikel terkait PENDIDIKAN ANAK atau tulisan lainnya dari Rahma Dwi Safitri

tirto.id - Flash News
Reporter: Rahma Dwi Safitri
Penulis: Rahma Dwi Safitri
Editor: Andrian Pratama Taher