tirto.id - Akhir November 2019, pemilik Grup Lippo, Mochtar Riyadi, dalam acara Digital Conference membuat geger. Gara-garanya, ia menyampaikan soal bakar uang yang dilakukan oleh Lippo Group untuk menopang OVO.
“Terus bakar uang, bagaimana kami kuat?” kata Mochtar Riyadi.
Mochtar mengaku Lippo sudah melepas dua per tiga sahamnya di OVO, hingga tersisa sekitar 30 persen saja. Pelepasan saham itu, menurutnya, perlu dilakukan mengingat OVO terus "membakar uang" dengan memberikan cash back dan promo yang cukup besar.
Mochtar tidak menyebut nilai "uang yang dibakar" oleh OVO setiap bulan.
Presiden Direktur OVO Karaniya Dharmasaputra buru-buru meluruskan pernyataan Mochtar. Ia berkata komposisi pemegang saham OVO memang sudah sangat beragam. Kepemilikan saham Lippo Group di OVO sudah terdilusi setelah masuknya investor baru.
Hal itu terjadi karena Lippo tidak mengeksekusi penerbitan saham baru dari aksi rights issue atau private placement yang dilakukan OVO. Karaniya menegaskan keputusan Lippo Group untuk tidak mengeksekusi saham baru merupakan pilihan lumrah.
Sementara pihak Lippo menegaskan tidak akan meninggalkan OVO.
Selang dua minggu kemudian, giliran Bukalapak membuat pengumuman menghebohkan dunia startup. Pendiri Bukalapak Achmad Zaky meninggalkan kursi CEO, digantikan oleh Rachmat Kaimuddin. Ahmad merupakan bankir, dengan posisi terakhir Direktur Keuangan dan Perencanaan PT Bank Bukopin.
Selain menunjuk seorang bankir sebagai CEO, Bukalapak mengumumkan rencana untuk melakukan perombakan bisnis. Bukalapak akan berhenti "membakar uang" dan mulai fokus mengejar laba pada 2020.
Senada dengan Lippo, Bukalapak menyebut pemberian cash back dan diskon sebagai ihwal tidak baik bagi keuangan perusahaan.
“Kalau bicara soal investor, dulu dia [investor] bilang growth valuasi. Sekarang, investor juga peduli akan hal seperti path of profitability, growth yang sehat dan sebagainya. Jadi itu menurut kami tren startup ke depan termasuk tahun 2020,” ujar Presiden Bukalapak Fadjrin Rasyid.
Namun, bukan berarti “bakar uang” adalah sesuatu yang haram bagi bisnis rintisan. Fadjrin berkata pemberian diskon tetap diberikan tetapi dengan porsi pas.
Startup memang tidak pernah bisa dilepaskan dari “bakar uang”. Mereka perlu melakukannya untuk menciptakan komunitas, membuat konsumen mengenal dan membutuhkan produk mereka. Setelah era bakar uang berakhir, startup harus mengambil langkah-langkah strategis demi mendapatkan bisnis berkesinambungan.
Guyuran Investasi
Gagalnya IPO WeWork serta anjloknya saham Uber sedikit banyak membuat para venture capital mulai berhitung tentang investasinya di startup.
Sehari setelah WeWork menunda IPO, para private equity (PE) dan venture capital (VC) dari Asia Tenggara berkumpul di Singapura untuk PE-VC Summit selama dua hari. Mereka mendiskusikan tren dan tantangan yang dihadapi startup di Asia Tenggara.
Brahmal Vasudewan, CEO Creador, private equity dari Malaysia, menyebut “sejumlah besar uang” diinvestasikan di bisnis rintisan Asia Tenggara dalam beberapa tahun terakhir sehingga mendorong valuasinya ke tingkat sangat tinggi. Namun, gelontoran dana sedemikian besar perlu diperhitungkan.
Ia mengutip Warren Buffet yang memperingatkan jangan terlalu banyak berinvestasi di perusahaan yang belum teruji.
“Harus ada perubahan menuju model ekonomi yang membuahkan laba,” katanya, seperti dilansir Nikkei.
Dengan pertumbuhan ekonomi pada kisaran 5 persen dan pasar dengan 650 juta konsumen, Asia Tenggara dianggap "sangat menarik" bagi investor untuk menanamkan uang di startup. Jumlahnya mencapai dua kali lipat dibandingkan 2017, menurut VC Cento Ventures.
Gojek termasuk salah satu yang mendapatkan pendanaan besar-besaran. Investor berduyun-duyun menyuntik Gojek. Yang terbaru, pada Juli 2019, Visa mengumumkan investasinya di pendanaan Seri F Gojek.
Sebelum Visa, Gojek mendapatkan guyuran dana untuk seri F dari Mitsubishi Motors, Mitsubishi Corporation, Mitsubishi UFJ Lease & Finance, serta Siam Commercial Bank.
Grab juga termasuk yang mendapatkan pendanaan. Awal Juli 2019, Grab mendapatkan pendanaan Seri H dari Experian, perusahaan jasa keuangan asal AS.
Menurut Crunchbase, hingga Juli 2019, Grab berhasil menggalang dana 9,1 miliar dolar dari 44 investor. Sementara Gojek mendapatkan 3,1 miliar dolar AS dari 28 investor.
Ini belum termasuk gelontoran dana ke startup besar lain di Indonesia seperti Traveloka, Tokopedia, dan lain-lain.
Pada Oktober 2019, Bukalapak mengumuman pendanaan dari Shinhan GIB, Korea Selatan. Investasi Shinhan merupakan bagian dari putaran pendanaan Seri F. Pendanaan itu membuat valuasi Bukalapak sebesar 2,5 miliar dolar AS atau lebih dari Rp35 triliun.
Bukalapak menggunakan pendanaan itu untuk menjalankan rencana bisnis dan strategi jangka panjangnya.
“Sustainable itu penting, dan itu akan menjadi fokus kami,” kata Fadjrin.
Editor: Hendra Friana