Menuju konten utama

Jebloknya Saham Perdana Uber: Awal Kejatuhan Start-Up Kiwari?

Jebloknya performa saham Uber dalam penawaran saham perdananya telah membuka kotak pandora dunia start-up kekinian.

Jebloknya Saham Perdana Uber: Awal Kejatuhan Start-Up Kiwari?
Aplikasi Uber. AP / Martin Meissner

tirto.id - Suasana di gedung New York Stock Exchange, Amerika Serikat, pada Jumat (10/5) mendadak berubah. Keriangan yang tampak di wajah para pejabat eksekutif Uber setelah resmi membuka penawaran saham perdana Uber tiba-tiba gelisah seiring angka-angka di monitor terlihat anjlok.

Dilansir dari New York Times, CEO Uber Dara Khosrowshahi langsung berusaha meredam reaksi negatif pasar. Ia mengatakan nilai saham Uber yang merosot tidak mencerminkan nilai perusahaan yang sesungguhnya.

“Saya pikir kami melakukan penawaran kepada publik pada hari yang berat dan minggu yang berat. Tetapi [Uber] adalah perusahaan yang sangat tangguh.”

Raksasa start-up teknologi Uber yang nampak perkasa dalam satu dekade terakhir seolah telah dijinakkan oleh Wall Street. Uber menawarkan harga saham kepada publik di angka $45 per lembar. Namun, harganya ditutup turun sebesar 7,62 persen pada hari yang sama, pada angka $41,57 per lembar. Uber mengumpulkan $8,1 miliar dari IPO ini.

Tahun lalu, sejumlah analis mengatakan bahwa valuasi Uber dapat mencapai $120 miliar setelah Initial Public Offering (IPO). Nyatanya, kapitalisasi pasar Uber pasca IPO ‘hanya’ bernilai $76,5 miliar. Nilai itu sedikit di atas prediksi investor pada Agustus tahun lalu.

Merujuk pernyataan Khosrowshahi, debut Uber memang dilakukan di tengah gejolak pasar yang tak menentu, salah satunya akibat perang dagang antara AS dengan Cina. Pada Jumat yang sama, Indeks S&P 500 masih mengalami penurunan harian untuk kelima kalinya secara berturut-turut dan mencatatkan rekor performa mingguan terburuknya tahun ini. Namun, nilai saham Uber tetap menunjukkan performa negatif kendati Indeks tersebut membaik menjelang penutupan.

Dilansir Gizmodo, penurunan harga saham Uber, menurut profesor Jay Ritter dari University of Florida, merupakan salah satu performa IPO yang terburuk sepanjang sejarah tidak hanya di AS namun juga dunia jika mempertimbangkan valuasi dari start-up teknologi itu.

Menjual Mimpi

Performa buruk Uber dalam penawaran saham perdananya bak menghantam para pelaku dunia start-up yang kerap mendahulukan pertumbuhan di atas segalanya. Masa depan perusahaan-perusahaan penjual “mimpi” itu pun kini menjadi tanda tanya besar.

Dalam satu dekade terakhir Uber memang telah menjadi rujukan utama bagi para start-up teknologi. Mereka mengutamakan pertumbuhan target pasar (dalam hal ini pengguna aplikasi Uber) dibandingkan memperoleh profit yang berkelanjutan. Tujuannya adalah dominasi transportasi global.

Strategi Uber tidak sepenuhnya salah. Salah satu faktor kesuksesan raksasa-raksasa teknologi seperti Facebook dan Google adalah dominasi pasar. Mengutip The Economist, Facebook, misalnya, kini menguasai 67 persen pangsa pasar media sosial. Kesuksesan Facebook—serta Google, Alibaba dan Tencent—membuktikan bahwa monopoli natural dan basis pasar yang besar, dibarengi dengan minimnya aset fisik dan regulasi yang masih minim, merupakan beberapa elemen dasar menuju perusahaan teknologi yang kaya secara finansial.

Uber dan banyak start-up lainnya berusaha mempercepat proses akuisisi pasar dan proses monopoli ini secepat mungkin dengan cara "membakar uang". Proses percepatan ini, masih dari Economist, kini dapat berjalan karena beberapa faktor. Pertama, pertumbuhan ekosistem digital seperti komputasi awan dan jumlah penggunaan ponsel pintar, serta media sosial yang mendukung perkembangan perusahaan-perusahaan rintisan teknologi tersebut. Kedua, adanya lonjakan dana yang melimpah dari para pemodal ventura.

Sebagai catatan, pada tahun 1994, dana yang mengalir ke pemodal ventura hanya di kisaran $6 miliar. Kini, berkat suntikan dana pemodal ventura, perusahaan-perusahaan start-up unicorn dapat memberikan ‘subsidi’ kepada pengguna hingga $20 miliar dalam setahun.

Uber sendiri tidak sedang dalam berada dalam kondisi finansial yang baik. Pada 2018, dilansir Reuters, perusahaan itu merugi $3,03 miliar akibat biaya operasional. Selain itu, dalam dokumen pengajuan IPO Uber, secara rerata mereka memiliki 91 juta pengguna aktif bulanan di beberapa platform mereka termasuk, dari dari layanan taksi daring dan UberEats (layanan antar pesan makanan). Jumlah ini memang meningkat, namun pertumbuhannya turun 51 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Dari segi pendapatan, Uber memperoleh $11,3 miliar pada 2018, naik 42 persen dibandingkan 2017. Namun, tingkat pertumbuhan ini berada di bawah tingkat pertumbuhan 106 persen pada tahun sebelumnya.

Dokumen yang sama juga menuliskan bahwa posisi Uber saat ini masih jauh dari meraup profit. Mengutip CNBC, Uber mencatat kerugian GAAP sebesar $370 juta. Angka itu keluar setelah memperhitungkan penjualan unit bisnis mereka di Rusia dan Asia Tenggara. Kerugian GAAP pada 2017 mencapai $4,5 miliar. Perusahaan itu juga memperingatkan bahwa biaya operasional mereka diprediksi “akan meningkat secara signifikan di masa depan” dan mungkin perusahaan itu “tidak akan pernah mencapai profitabilitas”.

Lantas mengapa sejumlah investor masih tertarik untuk membeli saham Uber? Menurut pengamat, ini karena orang masih percaya bahwa Uber memiliki masa depan. Mereka percaya pada mimpi pertumbuhan pada suatu saat akan berbuah keuntungan bagi perusahaan dan keuntungan di masa depan itu akan menutupi kerugian yang diderita perusahaan saat ini.

“Jika mereka memotong biaya R&D [Research and Development/Riset dan Pengembangan] dan perekrutan, banyak dari perusahaan ini bisa menghasilkan keuntungan,” kata Ritter dilansir Vox. “Tapi pemodal ventura dan pasar publik mengatakan, ‘Kami ingin pertumbuhan. Kami tidak ingin fokus pada keuntungan jangka pendek.’”

Ritter berkaca pada kasus Lyft, perusahaan taksi daring saingan Uber di AS. Jika Lyft tidak mengeluarkan uang untuk sales dan marketing ataupun R&D, semestinya tahun lalu Lyft sudah bisa menjadi perusahaan yang mencetak keuntungan. Sebagai catatan, Lfyt juga telah melakukan IPO beberapa minggu sebelum Uber. Sayang performa sahamnya juga tidak begitu baik. Pada Kamis (9/5), harga saham Lyft ditutup turun 23 persen dibandingkan harga pada saat IPO.

Dalam jangka panjang, perusahaan seperti Lyft dan Uber memang menggantungkan mimpi bahwa suatu saat taksi tanpa pengemudi akan menggantikan taksi dengan pengemudi yang saat ini memakan banyak biaya operasional.

Infografik awal kejatuhan uber

Infografik awal kejatuhan uber. tirto.id/Nadia

Masa Depan Suram?

Tidak semua start-up raksasa mencetak kerugian. Airbnb, misalnya, telah mencetak keuntungan dua tahun belakangan. Dilansir CNBC, kendati tidak menunjukkan angka pasti, dalam sebuah catatan perusahaan, tertulis bahwa Airbnb mengincar IPO tahun ini dengan keuntungan EBITDA (Earning Before Interests, Taxes, Depreciation and Amortization).

Pada kuartal III/2018, Airbnb mengatakan telah melewati pencapaian pendapatan triwulanan sebesar 1 miliar dolar AS. Pada November 2018, perusahaan rintisan itu juga telah mempekerjakan Dave Stephenson sebagai Chief Financial Officer (CFO) yang sebelumnya menjabat sebagai vice president di Amazon.

Kendati demikian, mungkin tidak banyak perusahaan rintisan yang bisa seberuntung Airbnb. Banyak yang tidak memiliki model bisnis yang solid, layaknya yang terjadi pada Uber. Selain itu, kondisi ini masih dipersulit dengan semakin ketatnya regulasi setelah sejumlah skandal yang menerpa perusahaan teknologi raksasa generasi awal milenium seperti Facebook dan Google.

Pasar kini juga disesaki kompetisi yang ketat. Uber, misalnya, sudah merasakannya di Cina dan Asia Tenggara. Di Cina mereka kalah oleh Didi, sementara di Asia Tenggara mereka menjual unit bisnisnya kepada Grab. Masih dari Economist, hal ini kemudian berakibat pada margin keuntungan yang tak kunjung naik karena ketakutan akan kehilangan pelanggan jika biaya marketing diturunkan.

Di tengah persaingan yang ketat, karakter konsumen juga menjadi penentu. Sayangnya, konsumen saat ini cenderung pragmatis dan tidak loyal pada satu produk perusahaan rintisan tertentu saja. Padahal, dalam model bisnis monopoli, jaringan data yang dimiliki perusahaan teknologi akan semakin berharga jika pengguna lebih sering menggunakan layanan mereka.

“Filosofi membeli pelanggan dengan harga berapa pun sudah berada di titik jenuhnya. Setelah unicorn, spesies start-up yang baru dan lebih meyakinkan harus mulai direkayasa,” tulis Economist.

Baca juga artikel terkait UBER atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Windu Jusuf