tirto.id - Go-Jek, rintisan ride-sharing yang perlahan menjadi super-app, merampungkan fase pertama pendanaan Seri F yang digawangi Google, JD.com, dan Tencent. Dalam pendanaan tersebut, merujuk dataCrunchbase, Go-Jek memperoleh dana investasi sebesar $920 juta.
Tambahan dana dari seri pendanaan yang dimulai sejak Oktober 2018 tersebut, seperti diberitakan Techcrunch, membuat Go-Jek memiliki valuasi sebesar $9,5 miliar. Artinya, Go-Jek hanya terpaut 0,5 miliar untuk menjadikannya berstatus sebagai Decacorn, startup dengan valuasi $10 miliar atau lebih. Di Asia Tenggara sendiri, hanya Grab yang telah menyandang status tersebut.
Kepala Eksekutif Go-Jek Grup Nadiem Makarim, dalam keterangan persnya, secara tersirat tak menyangka Go-Jek menjadi sebesar ini. “Go-Jek berawal dari ride-hailing, tapi dalam waktu singkat, kami telah menjadi pemimpin industri di berbagai layanan utama," tulisnya.
Secara keseluruhan, Go-Jek telah melakukan tujuh putaran penggalangan dana investasi. Yang pertama adalah pendanaan Seri A pada 31 Desember 2014. Kala itu, Openspace Venture, venture capital (VC) asal Singapura menjadi investor utama Go-Jek. Lalu, dalam pendanaan Seri B hingga Seri E, nama-nama Warburg Pincus, Tencent, Kravis Robert, KKR & Co, dan Astra masuk menyokong keuangan Go-Jek. Total, hingga saat ini ada 32 investor yang menjadi bagian Go-Jek.
Uniknya, Nadiem pada Agustus 2018 mengatakan segala lini jasa yang dijalankan Go-Jek sangat dekat untuk memperoleh keuntungan, kecuali lini bisnis transportasi. Padahal, Go-Ride dan Go-Car adalah dua layanan yang menjadi citra sekaligus penyokong utama segala layanan mereka.
Mengapa startup yang belum untung, khususnya di bisnis (yang tampak) inti, tetap menarik investor?
Membeli Masa Depan
Pada 2018, Go-Jek memiliki total Gross Transaction Value (GTV) lebih dari $19 miliar. GTV bukanlah pendapatan, melainkan nilai total transaksi yang diproses Go-Jek dari para pengguna mereka dari layanan Go-Jek, seperti Go-Ride, Go-Food, Go-Pay, dll.
Pendapatan adalah fee yang diterima Go-Jek dari berbagai layanan yang dijalankannya. Sebagian kecil dari angka GTV itu memang menjadi pendapatan Go-Jek, tetapi mengingat kencangnya promo, dalam rupa-rupa potongan harga, sangat mungkin startup ini belum benar-benar memperoleh untung—dalam pemahaman tradisional. Apalagi, seperti diungkap Nadiem, layanan ride-sharing, masih jauh dari predikat sebagai penghasil laba.
Bagaimana penjelasannya?
Dalam dunia ride-sharing, investor yang menanam modal tak terpaku pada keuntungan, melainkan pertumbuhan. Mengapa Go-Jek masih terus memperoleh kucuran dana dari investor, bisa dijawab dengan hal-hal yang terjadi pada Uber dan Grab.
Dilansir Recode, pada kuartal pertama 2017, Uber rugi bersih senilai $0,8 miliar. Pada kuartal kedua tahun yang sama, rugi bersih mereka meningkat jadi $1,1 miliar. Pada dua kuartal berikutnya, Uber mengalami rugi bersih $1,5 miliar dan $1,1 miliar. Alih-alih ditinggalkan investor, pada 2018, Uber memperoleh pendanaan senilai $500 juta dari Toyota. Uber pun memperoleh utang senilai $2 miliar di tahun tersebut.
Pola serupa dialami Grab. Dalam laporan yang dirilis Vulcan Post, Grab mengaku telah memperoleh pendapatan tahunan senilai $1 miliar. Namun, perusahaan itu mengklaim masih belum memperoleh keuntungan. Salah satu alasannya: Grab perlu mengucurkan dana besar untuk mengembangkan lini bisnisnya, khususnya pada sektor financial technology (fintech).
Seperti halnya pada Go-Jek maupun Uber, meski masih belum untung, kepercayaan investor kepada Grab tidaklah luntur. Akhir Januari 2019 lalu, usaha rintisan bikinan Anthony Tan ini memperoleh kucuran investasi baru senilai $200 juta sehingga ia berstatus Decacorn.
Lalu, apa latar belakangnya?
Meski belum untung, pertumbuhan startup terhitung tokcer. Uber misalnya, punya gross booking atau nilai pertumbuhan pemesanan yang trennya meningkat. Pada kuartal pertama 2017, gross booking Uber berada pada angka $7,3 miliar. Pada kuartal berikutnya, nilainya berada di $8,5 miliar. Pada kuartal 3 dan 4, angkanya mencapai $9,5 miliar dan $10,8 miliar.
Seperti dilaporkan Tech in Asia pada 2016, tingkat pertumbuhan pemesanan Grab tumbuh lima kali lipat dalam setahun.
Dalam laporan “e-Conomy SEA 2018: Southeast Asia’s Internet Economy Hits an Inflection Point” yang dikerjakan Google dan Temasek, nilai total transaksi sektor ride-sharing di Asia Tenggara, unit bisnis utama Grab dan Go-Jek, menunjukkan pertumbuhan positif. Pada 2015, nilainya ada pada angka $2,5 miliar. Tahun lalu $5,7 miliar. Google dan Temasek memprediksi nilainya akan menjadi $20 miliar pada 2025 mendatang.
Uber, Grab, dan Go-Jek memang belum menguntungkan. Hal ini tak mengherankan. Usaha-usaha rintisan ini masih membangun bisnis mereka dengan menyajikan berbagai potongan harga bagi pelanggannya.
Secara umum, menurut data yang dipacak Statista, biaya “menggiring” konsumen ke suatu toko online atau layanan digital memang tak mudah dan tak murah. Untuk mengajak pengguna mau mendaftar di sebuah layanan digital diperlukan biaya sebesar $8,21 per pengguna. Jika ingin membuat pengguna mengucurkan koceknya, layanan digital perlu mengeluarkan user acquisition cost sebesar $64,96 tiap orang.
Kini Uber, Grab, dan Go-Jek masih jor-joran membakar uang demi user acquisition cost. Gejala tersebut bukan menunjukkan kegagalan bisnis, melainkan wujud investasi yang diharapkan berbuah keuntungan. Investor juga nampaknya yakin bahwa, lewat rintisan ride-sharing yang perlahan menjadi super-app ini, kelak mereka akan memanen laba.
Editor: Maulida Sri Handayani