Menuju konten utama

Orang-Orang Mati karena Truk Tambang, tapi Pemerintah Lepas Tangan

Pemerintah Kabupaten Bogor tidak serius menyelesaikan masalah truk tambang di Bogor Barat.

Orang-Orang Mati karena Truk Tambang, tapi Pemerintah Lepas Tangan
Ilustrasi HL Indepth Pro-Kontra Masalah Tambang. tirto.id/Lugas

tirto.id - Pada 24 November 2009, seorang warga Parung Panjang bernama Akmal As Samail protes karena Jalan Raya Sudamanik tak kunjung diperbaiki. Ia bersama warga lantas memblokir jalan dengan kayu dan batu-batu besar, menyebabkan kemacetan berkilometer dari dua arah.

"Jalan ini sudah seperti kubangan kerbau!" katanya.

Setelah satu dekade, ternyata jalan itu tidak banyak berubah. Pada 13 November kemarin saya melewati jalan itu. Kondisinya memang tidak seburuk dulu meski aspal tidak semuanya mulus. Masih ada yang bergelombang dan berlubang dan banyak. Padahal jalan itu baru saja diperbaiki.

Menurut Juanda, siswa kelas 12 IPS SMAN 1 Parungpanjang, sekolah yang terletak di Jalan Raya Sudamanik Km. 7, "paling empat bulan lagi rusak lagi."

Seperti banyak terjadi di tempat lain, perbaikan jalan di sini hanya bersifat tambalan. Kekuatan jalan tak pernah benar-benar ditingkatkan. Juanda menggambarkan saat jalan rusak seperti "tanah yang dihamburkan batu dan pasir."

Jalan Raya Sudamanik adalah salah satu jalan utama yang dilewati truk-truk tambang galian c—pasir, batu andesit, dan sejenisnya. Jalan rutin rusak karena dilewati truk tronton yang bisa berbobot lebih dari 24 ton, selain kendaraan biasa, sementara tonase tidak lebih dari 16 ton.

Selain jalan-jalan di Parung Panjang, truk juga melewati beberapa kecamatan lain dengan dampak serupa seperti Rumpin, Cigudeg, dan Gunung Sindur.

Truk ini mengangkut material tambang terutama dari Gunung Maloko, wilayah utama eksplorasi, untuk didistribusikan ke berbagai wilayah, termasuk Tangerang, Depok, dan Jakarta untuk proyek-proyek infrastruktur.

Tjandra Adji Prahara alias Ochan, penggerak Masyarakat Peduli Parungpanjang (MP3), organisasi yang dibentuk untuk mengadvokasi masalah tambang, mengatakan kepada reporter Tirto warga mulai protes sekitar "10 tahun ke belakang," ketika urusan perbaikan jalan tidak lagi jadi tanggung jawab PT Sudamanik, perusahaan tambang pertama di wilayah itu yang sudah melakukan eksplorasi sejak 1982.

Tapi toh protes selama 10 tahun tidak lantas menghasilkan perubahan berarti.

Debu, jalan macet hingga berjam-jam, hingga masalah kesehatan menghantui warga. BPS Kabupaten Bogor mencatat infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah penyakit yang paling banyak diderita warga sepanjang 2018. Jumlah kasusnya sebanyak 510.551.

Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor menyebut pengidap ISPA di Rumpin pada 2017 mencapai 3.767 orang (setara kira-kira 10 orang per hari). Sementara di Parung Panjang dan Gunung Sindur masing-masing 1.347 orang dan 1.843 orang.

Dampak itu belum seberapa. Truk juga beberapa kali blong lalu menabrak rumah warga. Sepanjang tahun lalu sampai tahun ini, ada tiga rumah rusak parah dan dua warung rusak ringan karenanya.

Masalah lain, truk terguling dan menyebabkan batu-batu besar yang dibawa berjatuhan atau truk menyenggol dagangan karena sempitnya ruas jalan.

Setidak ada tujuh sekolah yang terganggu aktivitas belajarnya akibat debu dan suara bising truk tambang.

Menurut Aliansi Gerakan Jalur Tambang (AGJT), sejak April 2018 sampai Juli 2019, terjadi 23 kali kecelakaan yang menewaskan 21 orang, enam di antaranya melibatkan sopir di bawah umur. Ini belum termasuk yang sekadar luka atau bahkan cacat, seperti yang dialami seorang siswi SMAN 1 Parungpanjang bernama Lufti awal November lalu.

Fakta-fakta ini sudah cukup membuat Ochan menyimpulkan "pemerintah tidak serius".

Jam Operasional

Salah satu bentuk ketidakseriusan tersebut adalah beratnya pemerintah membuat regulasi terkait jam operasional. Warga ingin truk hanya beredar di malam hari, ketika sebagian besar orang telah beristirahat di rumah.

Pembatasan truk melintas di jam-jam tertentu dilakukan Bupati Tangerang Ahmad Zaki lewat Peraturan Bupati Nomor 47 Tahun 2018 Tentang Pembatasan Waktu Operasional Mobil Barang Pada Ruas Jalan di Kabupaten Tangerang yang berlaku sejak 14 Desember 2018. Lewat regulasi ini truk tambang hanya boleh melintas pukul 22.00-05.00.

Kebijakan ini tidak dilakukan Bupati Bogor Ade Yasin. Pembatasan hanya dilakukan oleh Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) dengan status 'uji coba'. Sementara warga mau pembatasan berlaku penuh sejak pukul 5 pagi sampai jam 8 malam, BPTJ memberlakukannya hanya pada jam-jam tertentu.

Uji coba sudah berlangsung beberapa tahap dengan jam operasional yang berubah-ubah.

Karena di satu sisi dibatasi di Tangerang dan di sisi lain diperbolehkan sebagian di Bogor, maka yang terjadi adalah truk-truk tersebut tetap beroperasi sampai batas wilayah, salah satunya di Jalan Raya Rumpin. Truk-truk akan parkir di bahu jalan di samping ruko Bale Tirtawarna sampai jam operasional ke arah Tangerang aktif sejak pukul tiga siang.

Truk tidak bisa melaju terus lewat Jalan Raya Rumpin sampai ke daerah Cisauk untuk ke Tangerang, tapi harus memutar lewat Gunung Sindur via Perempatan Asem.

Dikecualikan dari pembatasan ini adalah truk yang biasa dipakai untuk mengangkut pasir. Agung, seorang sopir pengangkut tanah, mengatakan kalau "truk tanah bebas dari jam operasional" meski sebenarnya mereka juga membawa masalah: tanah-tanah lebih mudah berhamburan ke aspal dan membuat polusi udara semakin parah.

Junaedi Adhi Putra, Ketua AGJT, mengatakan uji coba BPTJ membuat pemerintah kabupaten punya alasan mengulur waktu untuk tidak mengeluarkan peraturan bupati soal jam operasional. "Sudah tahap 8 sekarang, uji coba terus," katanya kepada reporter Tirto, 12 November.

Sudah banyak upaya advokasi yang dilakukan AGJT untuk membuat pemerintah mendengarkan mereka.

"Menyurati berkali-kali, audiensi tingkat kecamatan sering, bicara dengan bupati satu kali, demo di jalan berkali-kali, demo di kantor bupati satu kali," kata Junaedi. Tidak semua surat ditanggapi, sebagaimana tidak ada tuntutan yang dipenuhi.

Menurutnya, pemerintah kabupaten bogor berat mengeluarkan aturan jam operasional meski alasannya jelas untuk menyelamatkan orang-orang. Di sini lain, selama uji coba aturan, pengawasan di lapangan juga tidak maksimal.

Bisma Wisuda, Kabid Pengawasan Dinas Perhubungan Kabupaten Bogor, mengaku kepada reporter Tirto kalau "ada saja perusahaan yang membandel", melanggar jam operasional, sementara pengawas lapangan hanya 10 personel yang dibagi dalam dua shift.

Masalah lebih pelik karena jika pelanggaran terjadi di Parung Panjang, mereka bisa memerintahkan sopir ke kantong parkir menunggu jam operasional aktif. Sementara di Rumpin kantong parkir belum ada.

"Kadang kalau penindakan mobilnya ditinggal di jalan. Menimbulkan kemacetan. Nanti masyarakat komplainnya ke kami," katanya. "Di lapangan ada saja keributan kecil [antara sopir dan petugas]."

Perusahaan memang keberatan truk tambang dibatasi jam operasionalnya, bahkan jika itu hanya diatur oleh BPTJ sekalipun. Thedi Wijaya, perwakilan salah satu perusahaan tambang PT Lotus Sg Lestari, mengatakan dalam pertemuan dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada 20 November kemarin, para pengusaha sepakat meminta pemerintah "meninjau ulang jam akses tronton agar bisa jalan siang."

Dengan uji coba seperti sekarang, satu truk hanya bisa mengangkut dua rit—dua kali berangkat balik.

Bupati Bogor Ade Yasin punya alasan kenapa dia tak kunjung memenuhi keinginan warga. Dia meminta Bogor dan Tangerang tidak dibandingkan karena memang "beda persoalan".

"Kita tidak bisa menerapkan hal yang sama seperti di Tangerang. Yang punya [tambang] orang Bogor, pekerjanya orang Bogor," katanya, 9 Oktober lalu. "Kita ini yang punya wilayah. Kita itu masih memberikan peluang kepada masyarakat untuk berusaha di situ selama itu legal."

Selain jam operasional, Junaedi juga merasa pemerintah tidak serius menyelesaikan masalah ini karena tidak juga memenuhi permintaan warga yang lain: membangun jalur khusus truk tambang yang terpisah dari lalu lintas warga.

Usul warga agar ada jalur khusus untuk truk yang terpisah dengan jalur warga sudah mengemuka sejak 2014 lalu. Jalur ini akan menghubungkan antara titik eksplorasi dengan jalan tol. Saat masih menjabat Wakil Gubernur Jawa Barat tahun 2015 lalu, Deddy Mizwar mengatakan jalur khusus tambang adalah satu dari sekian solusi. Solusi lain adalah memberlakukan jam portal dan menggunakan jalur kereta.

Lempar Tanggung Jawab

Tapi toh tak ada kemajuan berarti hingga kepemimpinan berganti. Di era pemerintahan baru—Ridwan Kamil dan Ade Yasin yang mulai menjabat tahun lalu—Junaedi mengatakan yang terjadi adalah antara pemerintah provinsi, kabupaten, bahkan pusat justru saling lempar tanggung jawab.

Ade Yasin mengatakan jalur khusus tambang tidak bisa dibebankan ke APBD Kabupaten Bogor karena "tidak cukup". "Sehingga kita harus membuat ajuan juga ke provinsi dan pusat." Saat mengisi kuliah umum di Universitas Pakuan, Bogor, ia juga mengaku "jenuh dengan usaha tambang". Sebab, katanya, "kita hanya kebagian bagi hasil yang tidak seberapa tapi dampaknya kita yang kerepotan."

Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum, Juni lalu, lantas membalasnya dengan mengatakan "pembangunan dan pembebasan lahan... diserahkan sepenuhnya ke pemerintah pusat baik KemenPUPR atau BPTJ."

"Pemerintah lebih condong ke perusahaan tambang dan transporter," Junaedi menegaskan.

Infografik HL Indepth Tambang Bogor

Pro-Kontra Masalah Tambang. tirto.id/Lugas

Kepala Dinas ESDM Jawa Barat Bambang Tirtoyuliono keberatan jika warga memvonis pemerintah lamban. Setidaknya pada era Ridwan Kamil, katanya, pemprov serius mengatasi ini.

Salah satu yang tengah mereka upayakan adalah membuat ‘neraca tambang’. Gagasannya menyeimbangkan antara permintaan dan penawaran agar efek samping tidak terlalu parah.

Untuk bisa membuat neraca tambang, mereka butuh data produksi perusahaan. "Saat ini data terkait sedang diupayakan," kata Bambang. Dengan neraca ini mereka berharap di kemudian hari bisa memutuskan, "di sana cukup [keluarkan] izinnya, [batas produksi] material sekian saja."

Asep Wahyuwijaya, anggota DPRD Provinsi Jawa Barat dari Fraksi Partai Demokrat, mengatakan kepada reporter Tirto kalau "konektivitas yang menghubungkan antar provinsi memang bukan domain salah satu provinsi tapi kewenangan pusat."

"Masalahnya," kata Asep, "Gubernur Jabar berjanji pada saat kampanye lalu" dan itu dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Karenanya "Emil harus dan wajib membuat jalur khusus tambangnya itu, minimal sampai perbatasan provinsi." Ridwan Kamil harus bekerja cepat "agar korban tidak terus berjatuhan," kata politikus dari Dapil Kabupaten Bogor ini.

Masalahnya Pemprov Jabar enggan mengeluarkan uang sepeser pun untuk proyek yang diperkirakan memakan uang Rp204 miliar ini—hanya biaya konstruksi, di luar pembebasan lahan.

Mereka lantas mencari cara lain, opsinya antara mencari investor swasta, atau meminta pengusaha tambang membuat jalan sendiri. "Ini kan bisnis kamu. Bikin jalan sendiri, pakai duit sendiri," kata Emil, 18 November lalu.

Ini jelas tidak mudah, apalagi niat "mencari investor" sebetulnya sudah dikemukakan Ade Yasin sejak hari pertama dilantik sebagai bupati, 30 Desember 2018.

Baca juga artikel terkait TAMBANG PASIR atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Hukum
Reporter: Rio Apinino
Penulis: Rio Apinino
Editor: Mawa Kresna