tirto.id - Hanya butuh 30 menit bagi debu di jalan Raya Rumpin untuk membuat saya kesulitan bernapas. Pangkal tenggorokan terasa panas dan perih. Bulu hidung penyaring zat-zat kotor tidak ada gunanya sama sekali. Sialnya, masker N95 yang biasa saya pakai saat naik motor lupa saya bawa.
Siang itu, Selasa 12 November 2019, saya berada di warung kopi yang terletak di ruko Bale Tirtawana, Jalan Raya Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lokasinya hanya selemparan batu dari jalan utama dan persis di samping Perempatan Asem—sebutan warga setempat.
Lokasi tempat saya singgah itu biasa menjadi tempat parkir dadakan sopir truk-truk tambang galian c—batu andesit dan turunannya, termasuk pasir—sebelum mengangkut galian lewat Gunung Sindur pada malam hari. Para sopir biasanya menghabiskan waktu dengan saling bercengkerama di sekitar truk. Ada pula yang memilih tidur di balik kemudi dengan kaki yang diangkat ke dasbor.
Tambang galian c yang mereka bawa berasal dari berbagai tempat, tapi salah satu lokasi eksploitasi utama adalah Gunung Maloko. Batu-batu andesit ini bagus dijadikan pondasi bangunan, agregat beton, juga ubin lantai.
“Capek bersihin mejanya bang,” Danang, pegawai warung kopi, mengatakan itu saat melihat saya membersihkan sendiri meja-meja yang penuh debu dengan tisu basah. “Ini juga sudah mending, kalau malam lebih parah.”
Mata Danang merah. Mungkin kurang tidur, tapi saya pikir lebih masuk akal karena iritasi. Danang terus menjawab pertanyaan-pertanyaan saya soal truk-truk galian c dan debu-debu yang dihasilkan mereka sembari melayani pelanggan lain. “Sudah lima tahun di sini. Lawan paling berat memang debu. Lihat tuh, ruko-ruko di belakang, enggak ada yang buka karena memang enggak kuat.”
Duduk berjam-jam di warung kopi ini melempar ingatan saya ke belasan tahun lalu, saat masih jadi bocah SMP yang punya banyak kawan yang rumahnya dekat dengan pabrik semen raksasa di daerah Citeureup, Bogor.
Untuk ke rumah teman-teman saya itu, saya harus berkompromi dengan jalan bergelombang dan debu yang diterbangkan angin. Di tiap-tiap rumah, saya masih ingat betul, terpasang galah yang ujungnya dilekatkan botol minum yang sudah dibelah dua dan bagian besarnya diarahkan ke langit. Botol itu akan terisi debu-debu sisa produksi pabrik dalam beberapa hari. Seingat saya itu akan ditukar dengan sejumlah uang oleh pabrik.
Apa yang saya lihat saat ini setara atau mungkin lebih parah dari pengalaman masa kecil itu.
Danang bilang setiap hari ada “1.200an truk yang melintas” lewat Perempatan Asem menuju Gunung Sindur, untuk kemudian ke kota-kota lain. Truk ini ukurannya beragam, yang beratnya bisa mencapai 24 ton jika terisi.
Truk-truk itu terus berlalu lalang dari pagi bertemu pagi. Hampir tak ada jeda sama sekali. Truk-truk dan material yang diangkut inilah yang membuat jalanan berdebu naik, berterbangan ke rumah warga saat kemarau dan berubah jadi kubangan lumpur saban musim hujan.
Kondisi tersebut ini lantas berdampak terhadap kesehatan warga. Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor menyebut pengidap infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Rumpin pada 2017 mencapai 3.767 orang (setara kira-kira 10 orang per hari). Dinas pula yang mengatakan penderita ISPA di Kabupaten Bogor cukup tinggi karena daerah industri dan perumahan padat, diperberat dengan semakin kompleksnya permasalahan lingkungan, termasuk tambang.
Sementara di Parung Panjang dan Gunung Sindur, yang juga dilewati truk dan bermasalah dengan debu, tak kalah parah. Angkanya masing-masing 1.347 orang dan 1.843 orang.
BPS Kabupaten Bogor bahkan mencatat ISPA adalah penyakit yang paling banyak diderita warga sepanjang 2018 (PDF, Hlm 124). Jumlah kasusnya sebanyak 510.551.
Selain penyakit pernapasan, truk ini membawa masalah lain yang tidak bisa disembuhkan dengan obat paling mujarab sekalipun: kematian.
Korban Mati
Kecelakaan kerap terjadi di jalan-jalan yang dilewati truk tambang, di antaranya di Kecamatan Rumpin, Kecamatan Parung Panjang, dan Kecamatan Gunung Sindur. Kecelakaan bisa terjadi pada malam hari dan tengah hari bolong. Warga jadi korbannya.
Beberapa orang beruntung hanya lecet-lecet, lainnya harus diamputasi bahkan kehilangan nyawa.
Junaedi Adhi Putra, Ketua Aliansi Gerakan Jalur Tambang (AGJT), sebuah wadah perjuangan warga untuk meminimalisasi dampak jalur tambang, mengatakan salah satu penyebab kecelakaan kerap terjadi selain karena jalan memang sempit—di beberapa ruas hanya cukup untuk dua truk—dan bergelombang adalah sopir-sopir di bawah umur yang tentu saja tidak berpengalaman dan tak punya SIM.
Saya melihat beberapa di antaranya saat nongkrong di warung kopi. Agung, seorang sopir pengangkut tanah yang kini berusia 24 tahun, mengaku kepada saya kalau dia pertama kali ada di balik kemudi truk “sejak lulus SMP”—itu artinya saat dia berusia kira-kira 15 tahun. Banyak anak-anak yang memilih jadi sopir karena persoalan klasik, faktor ekonomi.
“Yang penting kerja, bebas enggak tertekan sama ijazah.”
Salah satu kecelakaan yang melibatkan sopir di bawah umur terjadi pada Senin, 10 September 2018, pukul 10.30. Saat itu truk bernopol B 9971 GY yang mengangkut kerikil menghantam minibus pada tikungan menurun curam di dekat Ponpes Darunnajah 2 Kampung Cipinang, Cidugeg. Enam penumpang angkot meninggal dunia, termasuk Rizwan Ramadhan dan Firda Aulia yang baru berusia 6 dan 7 tahun.
Sopir berinisial DM, usia 16, dan baru dua bulan mengendarai truk.
Satu bulan kemudian, tepatnya pada 21 Oktober 2018, kecelakaan yang memakan korban jiwa kembali terjadi. Kali ini di Kampung Cijapar, Parung Panjang. Korban bernama Dita Amelia (22). Dia ditabrak dump truk sesaat setelah turun dari motor pacarnya untuk menyeberang. Badannya terlindas ban depan kanan truk dan terseret beberapa meter. Dita meninggal di tempat.
Jalan tempat kecelakaan ini, Jalan Sudamanik-Parung Panjang, dikenal warga sebagai ‘jalur tengkorak’. Saya tidak tahu persisnya di mana titik kecelakaan ini terjadi, tapi jalan ini memang tidak bisa dibilang baik, karena berlubang dan bergelombang di mana-mana.
Dalam kasus ini pelaku berinisial DY, baru berusia 17 tahun.
Bukan berarti sopir biasa tak pernah membawa musibah. Sabtu 28 April 2018, S (39), sopir dump truck, menabrak sepeda motor yang hendak menyalip truk lain dari arah berlawanan. Akibatnya Santi, yang dibonceng, meninggal setelah kepalanya terbentur aspal. Warga menutupi jenazahnya dengan daun pisang sebelum diurus dengan layak.
Sulit menentukan angka pasti berapa jumlah korban meninggal—lebih-lebih angka kecelakaannya. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan “ada 100an lebih” tanpa menyebut sejak kapan, sementara Sentral Gerakan Rakyat Parung Panjang, organisasi yang juga mengadvokasi isu tambang, menyebut tahun lalu ada 14 orang meninggal dunia.
Selain yang di atas sudah disebut, korban meninggal lain tahun lalu adalah: Rival warga Kampung Pabuaran, Jihad Zulkifli warga Cibeureum, Rully Rohmantika warga Ciangger, Asep Tian warga Cigelung, Maryami warga Banar, Faisal warga Lumpang, Daryani warga Banteli, Sukron Maulana warga Cibunar, dan Sarojo warga Tonjong.
Tahun ini, sependek yang bisa dicari lewat mesin pencari, kecelakaan terjadi pada 30 Januari, 20 Juli, dan 10 September. Kecelakaan bahkan terjadi saat naskah ini ditulis, Jumat 15 November, meski tidak sampai merenggut korban jiwa. Kecelakaan juga terjadi saat saya mewawancarai seorang guru SMAN 1 Parungpanjang pada 13 November.
“Kalau mau mengajar seperti taruhan nyawa,” kata guru itu kepada saya.
Selasa malam, 12 November 2019, saya sengaja melewati beberapa ruas jalan menggunakan sepeda motor bersama Tebe, teman saya, untuk menjajal seberapa parah kondisi jalan.
Jumlah truk semakin banyak, seperti tengah berparade, dan debu makin tak keruan.
Di sebuah ruas jalan di Malang Nengah, Legok, Tangerang, yang minim penerangan jalan, Tebe menjajal nyali saya dengan berkali-kali menyalip truk yang seperti tak pernah habis. Tiap kali menyalip, kami berakhir di pantat truk yang lain.
Saban menyalip dan kebetulan ada truk dari arah berlawanan, truk itu akan terus menerus membunyikan klakson dan memberi tanda lampu; membuat saya semakin waswas.
Jika tidak mau menyalip, maka terpaksa terus menghirup debu dari apa yang truk-truk ini angkut. Belum lagi asap knalpot yang menghitam dan panas.
Tebe mengatakan di jalan yang kami lewati tadi pernah terjadi kecelakaan. “Kalau enggak salah kejadian tengah malam, waktu masih proses perbaikan,” kata Tebe.
Ia lantas menawari insto karena saya terus mengucek mata saat sampai ke tempat tujuan. “Keadaan seperti ini harus siap sedia semuanya,” katanya, lalu tertawa.
Konflik Warga vs Sopir
Truk bahkan berbahaya saat tidak sedang beroperasi sekalipun. April lalu, seorang pengendara motor bernama Aditya (16) meninggal dunia setelah mengalami kecelakaan tunggal di depan Perumahan Griya Cimangir, Gunungsindur. Dia menabrak truk yang terparkir sejak siang dan memakan hampir setengah ruas jalan karena kondisi jalan gelap.
Warga marah dan lalu membakar truk sampai habis. Beruntung si sopir sedang tak ada di lokasi.
Protes-protes serupa sudah dilakukan warga berkali-kali. Mereka juga kerap memblokir jalan agar truk tak bisa lewat dan membentangkan spanduk-spanduk protes.
Ini terjadi tahun 2011 lalu, ketika sebuah truk menghantam seorang guru bernama Yoto di dekat Kompleks Lapan, Jalan Raya Lapan Sukamulya, Rumpin.
Satiri, Ketua RT 06 RW 01, Kp Cilangkap, Sukamulya, yang saat itu ada di lokasi, mengatakan setelah itu truk dibakar dan jalan depan kompleks diportal. Jalan di depan Lapan seterusnya sampai Cisauk lantas resmi tidak boleh dilewati truk setelah keluar SK Bupati.
“Truk tambang jadi lewat Gunung Sindur semua,” terangnya.
Pada akhirnya peristiwa yang terus ini memicu konflik horizontal, kata Junaedi. Warga jengah dengan sopir, mereka tidak mau tahu kalau tidak semua sopir bermasalah, sementara sopir tidak punya pilihan lain. Tetap berkendara atau hari itu tidak dapat uang sama sekali untuk dibawa pulang.
Dua tahun lalu pernah terjadi ‘adu aksi’ antara warga dan sopir. Kedua belah pihak saling memblokade jalan.
Atas semua tragedi ini, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan kasus di ‘Kota Debu’ Kabupaten Bogor sebelah Barat ini adalah salah satu krisis terparah di Jawa Barat selain pencemaran Sungai Citarum.
Sayangnya pemerintah, baik tingkat provinsi atau kabupaten, belum juga bertindak maksimal agar tak ada lagi korban jatuh dari truk yang menjadi mesin-mesin pembunuh.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Mawa Kresna