tirto.id - Aku duduk di bangku kelas tiga, walau sebenarnya tidak duduk di bangku. Aku dan teman-teman belajar di lantai teras sekolah, lesehan, tidak seperti teman-teman dari sekolah lain.
Oh iya, namaku Kizea Putra Gunawan. Teman-teman memanggilku Weweh. Umur sembilan tahun. Setiap pagi aku berangkat sekolah jalan kaki. Aku suka jalan kaki, sambil bermain bareng teman-teman sepanjang perjalanan. Tapi hari ini jalanan becek, kami terpaksa jalan pelan supaya tidak terpeleset. Nanti baju dan celanaku kotor.
Dari rumah, aku dan teman-teman memakai sepatu dan kaos kaki. Sesampainya di sekolah, kami harus melepasnya. Agar lantai teras ruang guru tempat kami belajar tetap bersih. Kalau kotor, buku-buku kami akan ikut kotor, celana kami juga bakal kotor. Di lantai teras itu kami duduk lesehan, mengikuti pelajaran, mencatat, mengerjakan tugas dari bapak dan ibu guru.
Ada tujuh ruang kelas di sekolahku, SDN 1 Sukasari, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor. Namun yang bisa dipakai hanya empat kelas. Tiga kelas rusak parah, ruang kelas 4, 5, dan 6. Plafon jebol, meja kursi rusak, berantakan, kaca-kaca jendela pecah, lantai ubin retak, ada juga yang copot dan hancur.
Empat kelas lain harusnya dipakai kelas 1 sampai 4. Tapi karena ada tiga ruangan yang rusak, ruangan kelas 3 dan 4 terpaksa diberikan kepada anak-anak kelas 5 dan 6. Aku maklum, sih, walau agak sebel juga harus mengalah sama yang lebih besar. Bagaimana lagi, kakak-kakak kelas, kan, mau ujian akhir. Mereka harus belajar lebih baik, agar bisa lulus ujian.
Sudah dua tahun tiga ruangan kelas itu seperti gudang. Gambar pahlawan yang digantung di dinding berdebu, potret Pak Jokowi juga, Pak JK, Garuda Pancasila, semuanya kusam. Di ruang kelas 6, ada induk ayam sedang mengerami dua telurnya, persis di bawah meja guru.
Hari ini, Selasa, 22 November 2016, di jam pertama kami belajar Bahasa Indonesia. Bu Ade tidak masuk, jadi Bu Yeppi yang biasanya mengajar di kelas 4 juga mengajar di kelasku. Usai membaca doa, Bu Yeppi memintaku mengambil buku PR di ruang guru. Aku langsung berdiri, berlari ke ruang guru lalu kembali.
“Yang ini, Bu?”
“Iya, bener,” sahut Bu Yeppi sambil membersihkan papan tulis.
“Anak-anak, hari ini kita akan belajar penggunaan huruf kapital dan kata depan.”
Aku membagikan buku ke teman-temanku. Setelah semua terbagi, aku kembali duduk dan mengecek pontenku. “Aing bener semua,” kataku kepada Fajar, teman sebangkuku, pamer.
Sebenarnya tidak terlalu sedih belajar di teras. Lama-lama senang juga. Kalau capek belajar, kami tinggal bilang ke Ibu Guru, kami boleh bermain sebentar sebelum melanjutkan pelajaran. Kalau bosan, aku bisa izin ke belakang dan keluyuran.
Jam istirahat, aku dan tiga teman akrabku, Fajar, Rizki, Andika, main kejar-kejaran. Kadang kami duduk-duduk saja, bercanda. Itu-itu saja permainan kami.
Di SDN 2 Sukasari, persis di belakang sekolahku, ada lapangan rumput yang luas. Murid-murid di sana bisa main bola di jam istirahat. Gedungnya bagus. Pagar bambunya enak dipandang. Dicat biru.
Bangunan sekolah kami memang lebih jelek, rusak-rusak pula. Tapi soal prestasi, kami tak mau kalah. Kami sering juara cerdas-cermat antar SD Kabupaten Bogor. Karena prestasi itu, banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya di sini.
Kata Pak Damyati, guru kelas 6, guru-guru sudah melapor ke Dinas Pendidikan. Sejak tahun 2014 sudah minta perbaikan, tapi sekolah kami masih begini-begini saja. Minta uang sama bapak ibu kami juga tidak mungkin. Kebanyakan bapak ibu kami hanya petani kecil dan penambang pasir.
Bapakku juga hanya petani, masih harus ngurusin dua kakakku. Kalau berangkat sekolah, sarapan ya bikin sendiri. Ibu sudah almarhum.
Walau aku belajar di teras, bukan berarti tak punya cita-cita tinggi. Aku ingin jadi arsitek, Andika ingin jadi pengacara, Fajar mau jadi pemain bola, Rizki pengin jadi dokter.
Kalau aku jadi arsitek, aku ingin membangun sekolahanku. Bangunan yang rusak akan kuperbaiki, kaca yang pecah, ubin yang copot akan kuganti. Harus yang paling bagus. Supaya murid-murid di sini bisa tenang belajar, nyaman.
Sayang, sekarang aku belum bisa berbuat apa-apa. Aku ingin sekolah kami diperbaiki. Tapi aku tak tahu bagaimana caranya. Mengadu ke Pak Jokowi, tapi apa dia mau dengar, ya?
Seandainya Pak Jokowi mau mendengar, aku mau bilang, “Pak Jokowi, benerin sekolah aing dong!”
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Zen RS & Arlian Buana