tirto.id - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar mengusulkan kelompok bersenjata di Papua dikategorikan sebagai teroris. Sebab menurutnya mereka sama-sama menggunakan kekerasan, ancaman, dan menimbulkan ketakutan bagi publik.
“Sehingga dalam persangkaan kepada kelompok ini bisa menggunakan pasal tindak pidana terorisme,” kata Boy.
Hal itu ia sampaikan dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR, Senin (22/3/2021) lalu. Boy mengatakan instansinya terus “menggagas diskusi dengan beberapa kementerian/lembaga” terkait dengan itu. BNPT juga berencana mengundang Komnas HAM untuk membahas usulan ini.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara belum mendapatkan ajakan pembahasan, tapi ia mengaku pihaknya “siap mendiskusikan hal tersebut.”
Direktur Eksekutif Pusat Studi Politik dan Kebijakan Strategis Indonesia Stanislaus Riyanta mengatakan apa yang lebih penting dari kategorisasi kelompok bersenjata di Papua adalah bagaimana mereka ditangani. “Jangan sampai ini debat soal istilah tidak selesai-selesai sementara aksi kelompok bersenjata tersebut semakin masif,” ucap dia kepada reporter Tirto, Selasa (23/3/2021).
Menurutnya, apa pun sebutannya, yang penting adalah bagaimana pemerintah melakukan pendekatan yang tepat. “Apa pun istilahnya, penanganan harus hati-hati dan harus mengurangi risiko hingga serendah mungkin terhadap masyarakat.”
Masalahnya, definisi terkait erat dengan bagaimana kelompok-kelompok ini ditangani.
Peneliti dari Pusat Penelitian Sumber Daya Regional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang banyak meneliti tentang Papua, Cahyo Pamungkas, mengatakan usulan ini mengabaikan fakta bahwa 'kelompok bersenjata' di Papua bukanlah kategori tunggal. Ada kelompok yang tujuannya adalah memerdekakan Papua dari Indonesia. Kelompok ini dikenal dengan sebutan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang mengklaim apa yang mereka lakukan didukung masyarakat.
“Tapi ada kategori lain yaitu kelompok kriminal bersenjata, yaitu mereka menyerupai OPM tapi bermotivasi nonpolitik. Biasanya mereka menyandera, menyerang warga sipil, intimidasi,” kata Cahyo ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa.
Kategori yang berbeda membuat pendekatan yang berbeda pula. Bagi kelompok kriminal nonpolitis, penegakan hukum yang semestinya didahulukan. Sementara terhadap kelompok politis, menurutnya solusi yang tepat adalah dialog untuk mencari jalan keluar yang damai.
Selama ini untuk menghadapi OPM satu-satunya jalan yang dipikirkan pusat adalah pendekatan keamanan dengan operasi militer. Akhirnya masalah terus saja berlanjut bahkan hingga puluhan tahun dan bahkan mengorbankan warga sipil termasuk pada pemuka agama yang punya misi mulia melayani masyarakat.
Jika label teroris juga dilekatkan kepada OPM, ia khawatir itu sama saja memperluas lingkup pendekatan keamanan. Bukan tidak mungkin sipil pula yang tak terkait dengan OPM, misalnya, disebut teroris hanya karena berekspresi sama seperti OPM: merdeka dari Indonesia. “Hal ini berpotensi melanggar HAM, kekerasan politik, dan lainnya. Sehingga keselamatan warga sipil jadi terancam,” terang Cahyo.
Alih-alih menggunakan pendekatan seperti melawan teroris, Cahyo mengatakan sekarang perlu jeda kemanusiaan (humanitarian pause). “Setop semua tembak-menembak, baik OPM maupun TNI-Polri, kemudian buat koridor kemanusiaan untuk warga yang mengungsi, dan evaluasi pendekatan.”
Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Theo Hesegem menegaskan OPM berjuang agar Tanah Papua berhasil menentukan nasibnya sendiri. Menyebut kelompok pro kemerdekaan sebagai teroris, katanya, sama saja membuat situasi semakin rumit. “Jika status OPM dinaikkan, nanti tambah rusak. Situasi Papua memburuk,” kata dia kepada Tirto, Selasa.
Menurutnya pelabelan ini bukti bahwa pemerintah kebingungan menyelesaikan konflik di Papua. Di mata internasional, Indonesia terus didesak menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua. Menjadikan OPM sebagai teroris, menurutnya, untuk membalik sentimen tersebut, yaitu agar pemerintah didukung memberantas OPM.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid juga khawatir label ‘teroris’ akan dijadikan dalih untuk semakin membatasi kebebasan berekspresi dan berkumpul orang Papua melalui UU Terorisme. Padahal dalam periode tiga bulan pertama tahun 2021 saja setidaknya ada tiga kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan, dengan total lima korban.
“Pemerintah seharusnya fokus menginvestigasi kasus-kasus ini, menghentikan pembunuhan di luar hukum dan pelanggaran HAM lainnya di Papua dan Papua Barat,” katanya.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino