tirto.id - Pemerintah dan aparat Indonesia kerap menyebut 1 Desember sebagai "hari ulang tahun Organisasi Papua Merdeka (OPM)." Baru-baru ini Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw mengatakan polisi "tidak memberikan ruang untuk melakukan kegiatan tersebut."
Paulus bilang itu diputuskan karena "ada ancaman keamanan," tanpa menjelaskan spesifik apa ancaman yang dimaksud.
Dia juga memastikan "sudah menyiapkan berbagai cara-cara untuk mengantisipasi itu semua."
Pernyataan ini dipertegas oleh Kabag Penum Divisi Humas Polri, Kombes Asep Adi Saputra, yang mengatakan "pada 1 Desember tidak ada kegiatan yang bersifat perayaan." Sementara Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Argo Yuwono mengatakan pada 22 November lalu, jelang 1 Desember intelijen ditugaskan untuk memetakan kerawanan dari masing-masing daerah.
Sementara Wadankor Brimob Brigjen Pol Abdul Rakhman Baso pada 14 November lalu mengatakan meski "belum ada penambahan pasukan"--anggota Brimob di sana ada 7.000 orang--namun mereka disiagakan untuk "antisipasi 1 Desember."
Betapa pentingnya mengantisipasi perayaan 'HUT OPM' dipertegas dengan kehadiran para petinggi aparat Indonesia di Lanud Yohanis Kapiyau Timika, Jumat (29/11/2019) kemarin. Mereka adalah Kapolri Jenderal Idham Azis, Panglima TNI Hadi Tjahjanto, Kepala BIN Budi Gunawan, dan Mendagri Tito Karnavian.
Hari Kemerdekaan
Masalahnya 1 Desember bukanlah hari ulang tahun OPM, meski itu memang sangat terkait erat dengan upaya memerdekakan diri Papua dari Indonesia.
Pernyataan ini disampaikan Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), Sebby Sambom. "1 Desember itu hari para tokoh Papua dan pemerintahan Belanda mengumumkan embrio negara. OPM berjuang untuk pengakuan itu," katanya, Selasa (12/11/2019).
Pada 19 Oktober 1961, Nicholaas Jouwe, EJ Bonay, Nicholaas Tanggahma, dan F. Torey membuat manifesto politik yang mendesak Belanda agar "Papua mendapatkan tempat sendiri sama seperti bangsa-bangsa merdeka."
Kemudian, pada 1 Desember 1961, di kantor-kantor Hoofd van Plaatselijk Bestuur (HPB)--pemerintahan daerah--penduduk Papua berkumpul merayakan pengibaran bendera Papua Barat--Bintang Kejora--untuk kali pertama di samping bendera Belanda. Nyanyian religi 'Hai Tanahku Papua' dijadikan lagu nasional.
Sebagaimana Indonesia, Papua Barat juga diakui kemerdekaanya oleh Kerajaan Belanda. 1 Desember, dengan begitu, adalah simbol pengakuan Belanda atas berdirinya negara Papua Barat.
Saat itu Presiden Sukarno marah. Ia tidak buang-buang waktu dan melancarkan operasi Trikora (Tiga Komando Rakyat) pada 19 Desember 1961. Mayor Jenderal Soeharto ditugaskan sebagai panglima dalam penyerangan ini.
Pada 1 Mei 1963, UNTEA, sebuah badan PBB, menyerahkan administrasi Papua ke Indonesia. Mereka yang pro-kemerdekaan kerap menyebut tanggal ini sebagai tanggal aneksasi Indonesia terhadap Papua Barat.
Kedudukan Papua Barat diperkuat lewat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 yang menggunakan sistem perwakilan--juga manipulatif dan intimidatif. Saat itu para perwakilan dengan suara bulat memilih untuk bergabung dengan Indonesia.
Sebby Sambom lantas mengatakan tiap 1 Desember TPNPB-OPM akan mengadakan upacara resmi di markas-markas mereka di seluruh daerah komando. Bintang Kejora akan dikibarkan lagi.
"Itu berlaku di seluruh Tanah Papua, tapi kalau orang Papua di perkotaan, mereka biasanya beribadah juga, seminar, dan diskusi sambil minum teh," imbuh Sebby.
Lalu jika sejarahnya demikian, mengapa aparat Indonesia bicara soal 'HUT OPM'?
Pastor Yohanes Jonga, yang telah bekerja selama 30-an tahun di Papua, menjawab 1 Desember sebagai HUT OPM adalah "propaganda" pemerintah yang tujuannya "membuat orang takut dan tidak membuat kegiatan pada hari itu."
Propaganda-propaganda itu sudah terjadi sekian lama, kata Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua Socratez S.Yoman. Karena itu dia mengaku "tidak heran." "Isu-isu tidak relevan lagi. Mereka hanya berdiri di isu yang usang," tambahnya, seperti dikatakan kepada reporter Tirto, Selasa (12/11/2019).
Jawaban lebih sederhana dikatakan Peneliti dari Amnesty International Indonesia, Papang Hidayat. Menurutnya, "mungkin bahasa itu [1 Desember sebagai HUT OPM] mereka anggap efektif untuk mendapat dukungan masyarakat Indonesia secara luas."
Kepada reporter Tirto, Selasa (12/11/2019), ia juga mengatakan "itu bisa jadi justifikasi atas tindakan apa pun aparat, termasuk yang represif kepada mereka yang merayakan itu."
Dan itulah yang terjadi selama ini. Basillius Triharyanto mencatat saban menjelang Desember, "peristiwa kekerasan lazim menggilas Tanah Papua." Dua tahun lalu ini dialami dua aktivis dari Solidaritas Nasional Mahasiswa dan Pemuda Papua (Sonamappa). Seorang ditangkap setelah aksi, seorang lagi dipukuli orang tak dikenal.
Apa pun maksudnya, Papang menegaskan semestinya "tidak boleh ada kekerasan terhadap mereka yang merayakan itu."
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino