tirto.id - Martina Natkime (50) mengungsi dari rumahnya di Waa Banti ke Jalan Mile 68 Tembagapura dengan berjalan kaki selama dua jam, melewati medan yang curam dan dikelilingi hutan. Ia tak tahu persis berapa banyak warga yang saat itu& bersamanya menyelamatkan diri. Keterangan resmi dari aparat keamanan menyebut 258, dengan rincian 122 dewasa dan 136 anak-anak.
Sebagian besar pengungsi tak membawa barang berharga. Mereka anya hanya membawa pakaian yang menempel di badan dan noken. “Ada pikul anak, pikul orang lumpuh. Anak-anak kasih ikat pakai kain, baru kasih jalan,” ujar Martina ketika dihubungi reporter Tirto, Rabu 15 Juli lalu.
Waa Banti adalah satu dari enam kampung yang secara administratif berada di distrik Tembagapura, kota yang berdiri pada 1973, dibangun dari aktivitas tambang PT Freeport Indonesia. ‘Mile’ adalah sebutan bagi satu-satunya jalan yang menghubungkan antara Tembagapura dan Kuala Kencana, kota yang dibangun dan dikelola sepenuhnya oleh Freeport.
Kawasan ini pada hari normal saja dijaga aparat dengan ketat karena lokasinya yang vital bagi pertambangan. Jalan ini hanya bisa diakses oleh karyawan Freeport, aparat keamanan, dan penduduk setempat.
Eksodus terjadi karena desa Mama Martina jadi zona merah baku tembak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) dan aparat keamanan Indonesia pada 2 Maret lalu, satu hari sebelum di Jakarta, ibu kota Indonesia, Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama COVID-19.
“Ketika pemerintah belum ada, Freeport belum ada, segala belum ada, Tuhan ciptakan kami [sebagai] tuan tanah untuk jaga emas dan perak di Tembagapura,” kata Martina memuntahkan kekesalannya terhadap situasi ini.
Humas Polda Papua Kombes Kamal berkata warga mengungsi karena “takut dengan kekejaman kelompok bersenjata.” Sebaliknya, menurut Juru Bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom, masyarakat mengungsi karena “kampungnya diambil alih oleh aparat.” Baku tembak juga berawal dari aparat Indonesia, klaim Sebby, sementara TPNPB-OPM hanya “beli jualan”—sebuah aksi balasan.
Warga langsung beristirahat saat tiba di Mile 68, yang ketinggiannya 2.000 Mdpl, sebelum berangkat lagi ke tempat lain. Mile 68 memang bukan perhentian terakhir para pengungsi. Setelah ini mereka diberangkatkan ke Timika oleh TNI-Polri. Freeport membantu mengevakuasi dengan mempersiapkan belasan bus. Martina menghitung kasar, ada ribuan orang turut serta, dari mulai bayi hingga lansia. Mereka dipindahkan bertahap pada 3 hingga 8 Maret.
Di Timika, pengungsi menyebar. Ada yang ke pos, ada pula yang menyewa indekos atau menumpang di kediaman kerabat atau kolega. Martina sendiri tinggal bersama Benny Magal (26), anaknya yang sudah 15 tahun menetap di Timika.
Para pengungsi ternyata tidak bisa bertahan lama-lama di tempat orang lain. Mereka mengalami banyak masalah, termasuk kesulitan beradaptasi. Martina berujar tak semua warga Waa Banti pernah ke kota, sehingga “tidak pernah lihat kendaraan.” Empat bulan tidak tinggal di tempat sendiri membikin sebagian dari mereka stres.
Bahkan ada pengungsi yang diusir pemilik indekos karena tak mampu lagi membayar uang sewa. “Dong dapat uang dari mana? Mereka biasa hidup dengan dong punya alam. Dong biasa bikin kebun segala macam, di sini tak pernah,” kata Martina.
Anggota Masyarakat Adat Independen Aworo Tutu mengatakan nasib pengungsi terkatung-katung karena bantuan yang dijanjikan Freeport tidak ada. “Hak-hak mereka untuk belanja di kota tidak dipenuhi oleh Freeport. Banyak pengungsi yang sakit, harus berjalan kaki ke rumah sakit dan gunakan biaya sendiri,” kata Aworo.
Bantuan dari pemerintah pun nihil. Itu yang membikin hidup pengungsi makin susah.
“Mereka menangis, minta pulang,” kata Martina menjelaskan apa yang diinginkan warga. Ia tahu persis keinginan para warga hanya dapat terjadi ketika konflik bersenjata reda di kampungnya. Oleh karenanya ia meminta pihak-pihak yang berseteru, baik dari pihak Papua Merdeka atau TNI-Polri, angkat kaki dan tak muntahkan peluru lagi.
Freeport sendiri, katanya, berjanji mengembalikan warga ke Waa Banti jika ‘perang’ usai dan situasi kembali kondusif.
Benny anak Martina juga mendesak “pihak yang berkonflik tidak masuk ke wilayah masyarakat sipil.” “Saya tak mau melihat mama-mama datang menangis dan kesusahan,” imbuh Benny, yang tiap hari beternak babi dan bercocok tanam.
Apa yang terjadi terhadap para pengungsi ini ironis sebab di forum internasional Indonesia justru mengampanyekan perlindungan warga sipil dalam konflik bersenjata. Hal ini misalnya diucapkan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam Sidang Terbuka Dewan Keamanan PBB di New York, Amerika Serikat, 23 Mei tahun lalu.
Martina tidak mau sekadar mendengar keluhan warga dan setelah itu tak melakukan apa-apa. Ia membuat posko, yang diniatkan sebagai aksi damai agar dapat menggugah hati pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. “Kami tidak mau demonstrasi, kami biking ini saja,” ujar dia. Deklarasi ‘Posko Evakuasi Mama-Mama Amungmin Kampung Waa’ digelar pada 13 Juli lalu.
Pasal 18 dan Pasal 22 Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat menjadi dasar protes.
Bunyi pasal 18 sebagai berikut: “Masyarakat pribumi mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dalam masalah yang akan memengaruhi mereka, melalui wakil yang dipilih oleh mereka sendiri yang sesuai dengan prosedur mereka sendiri, juga untuk mengusahakan dan membangun institusi pengambil keputusan sendiri.” Sementara pasal 22: “perhatian khusus harus diberikan kepada pribumi lanjut usia, wanita, masyarakat muda, anak-anak, dan mereka yang menderita cacat sebagai implementasi dari deklarasi ini.”
Kabar terakhir, Jumat 17 Juli lalu, Bupati Mimika Eltinus Omaleng menegaskan pemerintah setempat belum mengizinkan para pengungsi kembali atau ‘naik’ “karena belum aman.” Sementara jumlah pengungsi terus bertambah. Jumlahnya sudah lebih dari 1.500 orang per 19 Juli lalu.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino