Menuju konten utama

Uang Saja Tak Cukup untuk Menyembuhkan Trauma Korban Konflik Papua

Pemerintah tidak boleh hanya memberi bantuan yang sifatnya fisik untuk warga Nduga dan Wamena. Para korban juga perlu dipulihkan psikisnya.

Uang Saja Tak Cukup untuk Menyembuhkan Trauma Korban Konflik Papua
Puluhan massa dari #SaveNduga menggelar aksi lilin "Biarkan Dorang Natal dengan Damai" di Taman Aspirasi, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (26/12/18). tirto.id/Bhagavad Sambadha

tirto.id - Pemerintah menggelontorkan cukup banyak uang dan barang untuk korban konflik Wamena dan Nduga, Papua. Tapi itu tidak cukup. Mereka melupakan, atau setidaknya menomorduakan satu hal: bantuan untuk pemulihan trauma (trauma healing).

Awal pekan lalu, seperti dilaporkan Antara, Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat mengatakan “bantuan yang sudah ada di gudang di Wamena sudah terdistribusikan ke pengungsi Nduga.” Bantuan ini termasuk beras, minyak goreng, gula, pakaian sekolah, dan peralatan olahraga yang totalnya mencapai Rp36 miliar.

Sementara untuk Wamena, seperti diberitakan Antara pula, Kementerian Perhubungan mengumpulkan dana sebesar Rp1,5 miliar. Bantuan ini akan disalurkan dalam bentuk uang tunai, logistik, atau jasa transportasi.

Hipolitus Yolisandry Ringgi Wangge, anggota tim kemanusiaan yang sudah 10 bulan mendampingi pengungsi Nduga di Wamena, mengatakan kepada reporter Tirto, Selasa (15/10/2019), kalau korban pengungsian belum "mendapatkan penanganan pelayanan penyembuhan trauma".

Bantuan-bantuan yang sifatnya fisik itu tidak memulihkan psikologis mereka.

Para korban juga makin nelangsa karena mereka tinggal di gubuk-gubuk yang dibangun sendiri atau menumpang di rumah sanak saudara. Satu rumah bisa diisi 50 sampai 80 orang, kata Hipolitus. Sementara kondisi pengungsian makin memprihatinkan karena pasokan makanan dan obat menipis.

Warga Nduga mengungsi sejak Januari 2019 setelah aparat Indonesia terjun ke kampung-kampung mereka memburu milisi Organisasi Papua Merdeka (OPM). Operasi itu adalah buntut dari pembunuhan pekerja Jalan Trans Papua pada akhir 2018 lalu. Tim kemanusiaan bentukan Pemerintah Kabupaten Nduga—yang terdiri dari LSM HAM dan gereja—menyebut 37 ribu orang mengungsi.

Kerusuhan di Wamena berbeda, meski efeknya sama: sama-sama ada yang mengungsi dan trauma.

Pada 23 September lalu, Wamena ‘memanas’ karena tersebar desas-desus seorang guru bertindak rasis. Versi polisi, 22 orang meninggal dan puluhan lain terluka. Bangunan, juga mobil dan motor, rusak. Setelah kerusuhan itu ada yang memilih mengungsi ke kota lain, bahkan ke luar pulau.

Trauma yang dialami para warga lebih dalam dibanding, misalnya, trauma orang-orang yang terkena bencana alam, kata Koordinator Tim Layanan Dukungan Psikososial (LDP) Kemensos Milly Mildawati, seperti dikutip dari Antara. Mereka yang terdampak bencana alam dalam derajat tertentu akan lebih tegar karena sadar “bencana alam itu fenomena alam” dan bahkan ada yang menganggap “teguran dari tuhan”.

Sementara di Papua, trauma terjadi karena “bencana sosial,” bencana yang disebabkan langsung oleh manusia.

Milly dan tim mengatakan mereka memberikan layanan pemulihan trauma untuk warga Nduga, dari mulai bermain, bercerita, dan bernyanyi untuk anak-anak, dan dialog untuk orang dewasa.

Penyebab Harus Dihilangkan

Ketua Pusat Krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Dicky Pelupessy mengatakan “gangguan psikis terkait dengan kehilangan”. Dalam kasus Papua, katanya lewat pesan tertulis, Senin (14/10/2019), kehilangan yang dimaksud bisa berbentuk materiil seperti harta benda atau kehilangan imateriil seperti rasa aman, harapan, dan kepercayaan diri.

“Penting bagi mereka merasa didampingi dan dapat dukungan secara sosial,” kata Dicky.

Dokter spesialis kesehatan jiwa dari Rumah Sakit Mitra Keluarga, dr. Albert Maramis, SpKJ, mengatakan hal serupa: bahwa trauma warga di Papua kemungkinan besar terjadi karena mereka kehilangan rasa aman.

Albert menambahkan, selain trauma healing, penting pula bagi pemerintah untuk menghilangkan sumber rasa tidak aman tersebut.

“Sumber ketakutan dan yang menempatkan mereka pada situasi tertekan yang harus diselesaikan,” kata Albert kepada reporter Tirto, Senin (14/10/2019).

Hal ini nyata terjadi terhadap warga Nduga. Pendeta Kones Kogoya, Ketua Klasis Gereja Tinggi Distrik Mugi, Nduga, pernah mengatakan warga hanya akan pulang ke rumah masing-masing jika aparat balik kanan karena menganggap merekalah sumber bencana.

Atas dasar itu pula mereka sempat menolak bantuan Kemensos: karena yang menyalurkan aparat.

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara juga mendesak pemerintah lebih serius menangani masalah ini. Cara-cara pemerintah selama ini, menurutnya, “hanya sekadar formalitas belaka.”

“Tidak mudah bagi masyarakat Papua untuk bisa kembali tenang, damai dari segala macam,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait KONFLIK PAPUA atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Selfie Miftahul Jannah & Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino