Menuju konten utama

Ombudsman Temukan Masalah Pengelolaan Barang Bukti di Kejaksaan

Permasalahan dalam penyelenggaraan barang bukti tersebut, yakni sumber daya manusia (SDM), sarana dan prasarana hingga koordinasi antarinstansi. 

Ombudsman Temukan Masalah Pengelolaan Barang Bukti di Kejaksaan
Barang bukti kasus penerimaan suap dari Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra milik tersangka Pinangki Sirna Malasari yang terpakir di gedung Bundar Kompleks Gedung Kejakasaan Agung, Jakarta, Rabu (2/9/2020). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/foc.

tirto.id - Ombudsman RI menyatakan adanya persoalan dalam pengelolaan barang bukti di Polri, Kejaksaan, dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan)- Kemenkumham. Hal itu diungkapkan Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro.

Johanes menjelaskan, terdapat berbagai persoalan dalam penyelenggaraan barang bukti tersebut, yakni sumber daya manusia (SDM), sarana dan prasarana hingga koordinasi antarinstansi.

Ombudsman, kata Johanes, mendapati fakta bahwa Kepolisian, Kejaksaan, dan Rupbasan memiliki aturan masing-masing terkait dengan pengelolaan barang bukti, sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

Dibeberkan Johanes, jumlah SDM yang mengelola barang bukti di Kepolisian, Kejaksaan, dan Rupbasan belum memadai. Ia mengatakan, di Kepolisian dan Kejaksaan tidak terdapat SDM yang mempunyai kualifikasi tertentu sesuai dengan spesifikasi barang bukti.

“Demikian juga di Rupbasan di mana SDM dengan kualifikasi tertentu jumlahnya terbatas pada petugas penilai, selebihnya belum ada SDM dengan kualifikasi khusus seperti perkayuan, zat berbahaya, zat kimia,” kata Johanes dalam keterangan tertulis, Jumat (6/10/2023).

Ombudsman, kata Johanes, juga menemukan penempatan barang bukti pada gudang penyimpanan belum seluruhnya sesuai dengan pengklasifikasian penyimpanan barang bukti. Misalnya pengklasifikasian barang bukti dengan jenis gudang, seperti gudang umum, gudang berharga, gudang berbahaya, gudang terbuka dan gudang hewan ternak/tumbuhan, dikarenakan terbatasnya gudang yang ada untuk penyimpanan barang bukti.

Selain itu, Ombudsman menemukan persoalan klasik seperti anggaran juga mengemuka.

“Bahkan di beberapa Polres tidak memiliki anggaran untuk melakukan pengelolaan barang bukti,” ungkapnya.

Lebih lanjut Johanes menerangkan, koordinasi antar instansi juga belum selaras. Kejaksaan dan Kepolisian cenderung untuk melakukan pengelolaan barang bukti sendiri dan tidak melibatkan Rupbasan.

“Padahal Rupbasan memiliki sarana dan prasarana yang lebih baik untuk melakukan pengelolaan. Selain itu, penanggung jawab yuridis atas barang bukti sering kali tidak memberikan informasi terkait dengan perkembangan status barang bukti yang dititipkan di Rupbasan, sehingga banyak barang bukti yang overstay,” jelasnya.

Di Polri, kata Johanes, terdapat Polres yang penyimpanan barang bukti oleh bagian penyidik, bukan dilakukan oleh Satuan Perawatan Tahanan dan Barang Bukti (Sattahti). Selain itu, juga belum meratanya pencatatan secara digital dalam melakukan pengelolaan barang bukti.

Tak hanya itu, Ombudsman menemukan adanya barang bukti yang dikembalikan kepada pemiliknya dengan kondisi tidak sama seperti saat awal dilakukan penyitaan.

“Ombudsman RI menerima laporan masyarakat terkait tata kelola barang bukti di antaranya adanya barang bukti yang rusak, hilang dan mengalami penurunan nilai,” tutur Johanes.

Dari persoalan yang ditemukan, Ombudsman memberikan rekomendasi agar Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham saling berkoordinasi guna mengatur, menegaskan, serta memberikan kepastian aturan terkait kewenangan pengelolaan barang bukti dalam suatu proses penanganan perkara pidana.

Kedua, peraturan bersama pengelolaan barang bukti yang mengatur single register dalam pengelolaan barang bukti pada Kepolisian, Kejaksaan, dan Rupbasan juga perlu disusun.

Ketiga, perlu dilakukan pengembangan Sistem Penanganan Perkara Tindak Pidana secara Terpadu berbasis Teknologi Informasi (SPPT-TI) dengan menambahkan fitur pengelolaan barang bukti, sehingga memudahkan penelusuran status barang bukti. Terakhir, perlu dilakukan penguatan sistem pengawasan dalam pengelolaan barang bukti.

Secara umum, kata Johanes, pejabat pengelola barang bukti baik di tingkat Mabes Polri, Polda, dan Polres harus berpedoman pada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2014.

Di sisi lain, perlu adanya ruang penyimpanan barang bukti yang proporsional sesuai dengan kebutuhan di masing-masing unit kerja. Selain itu, meningkatkan struktur organisasi, anggaran, sumber daya manusia, dan keterampilan di setiap unit pengelola barang bukti.

Kepada Kejaksaan Agung, Ombudsman diminta untuk memastikan penggunaan aplikasi Asset Recovery Secured-data System di setiap Kejaksaan Negeri dalam pengelolaan barang bukti serta optimalisasi pemulihan aset tindak pidana.

Lalu, diminta untuk menyediakan ruang penyimpanan barang bukti yang proporsional sesuai dengan kebutuhan di setiap Kejaksaan Negeri. Selain itu, disarankan meningkatkan anggaran, sumber daya manusia, dan keterampilan di setiap seksi Pengelolaan Barang Bukti dan Barang Rampasan di setiap Kejaksaan Negeri.

Kepada Kementerian Hukum dan HAM RI, Ombudsman menyarankan adanya standarisasi penataan dan pengelolaan barang sitaan dan barang rampasan sesuai Permenkumham Nomor 16 Tahun 2014. Lalu, disarankan meningkatkan tenaga fungsional penilai dan peneliti dengan melakukan pendidikan dan pelatihan secara berjenjang.

Terkahir, meningkatkan struktur organisasi Rupbasan, serta sarana dan prasarana yang sesuai dengan standar kualifikasi barang bukti sehingga barang bukti dapat dikelola secara optimal.

Baca juga artikel terkait BARANG BUKTI atau tulisan lainnya dari Ayu Mumpuni

tirto.id - Hukum
Reporter: Ayu Mumpuni
Penulis: Ayu Mumpuni
Editor: Reja Hidayat