Menuju konten utama

Ombudsman Beberkan Tiga Penyebab Kenaikan Harga Beras

Yeka Hendra Fatika membeberkan tiga penyebab kenaikan harga beras. Pertama, berkurangnya pasokan gabah ke penggilingan padi.

Ombudsman Beberkan Tiga Penyebab Kenaikan Harga Beras
Pekerja menunjukkan beras untuk dikemas di Pasar Baru, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (7/9/2023). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/rwa.

tirto.id - Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika membeberkan tiga penyebab kenaikan harga beras. Pertama, berkurangnya pasokan gabah ke penggilingan padi. Kedua, adanya kesenjangan antara kapasitas penggilingan padi yang terpasang dengan produksi gabah. Ketiga, suplai beras di dunia yang menipis.

"Terkait penyebab pertama, Ombudsman melihat saat ini dengan semakin kecilnya luas penguasaan lahan sawah mengakibatkan motivasi petani untuk menahan gabah lebih tinggi daripada menjual gabah," imbau Yeka dalam keterangan tertulis, Kamis (14/9/2023).

Salah satu contoh di Desa Bantarjati, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor tidak ada satu pun petani yang menjual gabah hasil panennya. Para petani memilih menyimpan dan kemudian menggiling gabahnya sesuai keperluan sehari-hari.

Dengan seperti itu, menurut hitungan mereka, sama dengan membeli beras dengan harga yang jauh lebih murah. Imbasnya, suplai gabah di pasar menjadi berkurang.

Penyebab kedua, adanya kesenjangan antara kapasitas penggilingan dengan produksi gabah. Menurut keterangan Persatuan Perusahaan Penggilingan Padi (Perpadi), kapasitas terpasang mesin penggilingan padi saat ini mampu untuk memproduksi 100 juta ton per tahun, sementara suplainya hanya berkisar 54 juta per tahun.

"Sehingga semua penggilingan padi berjalan di bawah kapasitas produksinya yang mengakibatkan rebutan gabah di tingkat penggilingan padi. Alhasil, harga gabah naik tidak karu-karuan,” kata Yeka.

Selain itu, penyebab ketiga karena suplai beras di pasar internasional sudah menipis. Dalam hal ini, kewajiban Bulog untuk mengimpor beras sebanyak 400.000 ton.

Bulog harus mengambil peran dengan melakukan evaluasi tata kelola impor beras yang dilakukan selama ini, agar Indonesia mampu berstrategi untuk mendapatkan beras impor di tengah tipisnya suplai beras di pasar internasional.

Di sisi lain, Ombudsman mendorong pemerintah melakukan evaluasi penerapan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras. Evaluasi ini penting mengingat HET beras kerap kali dilanggar di pasar tradisional.

"Harga HET ini hanya berlaku di pasar modern sedangkan di pasar tradisional HET ini kerap kali dilanggar sehingga tidak terwujud. Evaluasi HET akan memperlancar pasokan beras di pasar modern. Saat ini, beberapa pasar modern sudah melakukan pembatasan dalam pembelian beras. Hal ini tidak boleh terjadi, karena bisa memicu panic buying," imbau Yeka.

Yeka juga mengimbau pemerintah agar melakukan mitigasi serius terhadap dampak yang ditimbulkan dari kenaikan harga beras. Pemerintah dalam hal ini wajib mempertimbangkan semua kemungkinan terburuk.

"Berkaca pada kasus minyak goreng, kesalahan pemerintah adalah ketidakmampuan mitigasi terhadap harga CPO (Crude Palm Oil) yang sebenarnya sudah terpantau meningkat pada tahun 2020 dan akhirnya pada 2022 kita mengalami permasalahan kenaikan harga minyak goreng. Hal ini jangan sampai terulang kembali, karena saat ini harga gabah dan beras juga sudah mulai mengalami peningkatan," tegas Yeka.

Baca juga artikel terkait KENAIKAN HARGA BERAS atau tulisan lainnya dari Faesal Mubarok

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Faesal Mubarok
Penulis: Faesal Mubarok
Editor: Anggun P Situmorang