Menuju konten utama

Ombudsman Temukan Sejumlah Kendala Penyaluran KUR bagi UMKM

Mayoritas UMKM atau 53 persen mengeluhkan persoalan agunan dalam penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Ombudsman Temukan Sejumlah Kendala Penyaluran KUR bagi UMKM
Pekerja memproduksi kerupuk di Bogor, Jawa Barat, Senin (3/12/2018). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/aww.

tirto.id - Ombudsman RI menemukan sejumlah permasalahan dalam penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi UMKM. Temuan itu terungkap saat Ombudsman membuat posko pengaduan KUR pada 31 Agustus-20 September 2023 di enam titik.

Posko pengaduan KUR berada di Kantor Pusat Ombudsman, Kantor Perwakilan Ombudsman di Sumatera Utara, Jawa Barat, Bali, Papua, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan.

Anggota Ombudsman Dadan Suharmawijaya mengatakan, dari total 80 konsultasi masyarakat dan 18 pelaporan. Mayoritas masyarakat atau 53 persen dari pengaduan mengeluhkan persoalan agunan.

Selanjutnya, tak ada kepastian atas tindak lanjut permohonan KUR sebesar 37 persen, dan 10 persen masyarakat merasa dipersulit dalam pengajuan KUR.

Dadan mengungkapkan ada juga sejumlah laporan terkait dengan pengajuan KUR, antara lain lamanya realisasi dan verifikasi persetujuan kredit. Hal itu menunjukkan keengganan petugas untuk memberikan KUR kepada masyarakat kecil.

"Ada pengakuan pelapor yang merasa dipersulit seperti lamanya realisasi dan verifikasi persetujuan kredit. Seolah ada keengganan petugas untuk menindaklanjuti permintaan masyarakat kelas kecil," ungkap Dadan

Keluhan masyarakat itu, kata Dadan, menunjukkan bahwa program KUR tidak sejalan antara komitmen direksi dengan kinerja pegawai bank di lapangan. Bahkan kredit untuk UMKM dinomorduakan daripada nasabah kredit komersil.

"Kita melihat ada kesenjangan antara komitmen direksi dengan pelaksanaan di lapangan. Program ini kerap dianggap sepele. Bank melihat bunganya. Padahal ini kan dapat subsidi, selisih bunganya dibayar negara," bebernya.

Data yang dihimpun oleh Ombudsman, terungkap bahwa sosialisasi terkait program KUR masih rendah. Hal itu terbukti dengan banyaknya masyarakat yang menanyakan regulasi dan tata cara pengajuan KUR.
"Rendahnya pemahaman masyarakat tentang program KUR mengindikasi kurangnya sosialisasi program," terang Dadan.
Belum maksimalnya sosialisasi program KUR juga membuat masyarakat di tingkat desa tidak tahu kalau pinjaman KUR tidak perlu menggunakan jaminan. Misalnya di Bali, masyarakat belum tahu ada pinjaman tanpa harus ada jaminan.

Selain itu, Ombudsman juga menemukan persoalan agunan. Pada 2021 contohnya, untuk pengajuan KUR sebesar Rp50 juta maka pihak bank meminta BPKB motor sebagai agunan.

Namun, pada 2022, nilai KUR yang sama sebesar Rp50 juga, pihak ban meminta agunan lebih berat yakni sertifikat hak milik (SHM) rumah. Meski meminta SHM, perbankan tidak memberikan salinan perjanjian kredit dengan dalih dokumen hanya disimpan.

"Bank masih ada ketakutan pada masyarakat kalau kredit akan macet," lanjut Dadan.

Kemudian, sejumlah orang juga merasa keberatan jika BI Checking dijadikan indikator penerimaan atau penolakan pengajuan KUR. Sebab, bagi yang memiliki kredit macet tidak akan bisa mengajukan KUR.

Ia menambahkan bahwa Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK dan agunan menjadi kendala dominan yang dihadapi masyarakat dalam mengakses KUR.

Menurutnya, persoalan tersebut membuat KUR tidak terserap dengan baik bagi UMKM. Hingga Sabtu (30/9/2023), realisasi KUR masih relatif rendah yakni sekitar Rp175,73 triliun dari target Rp297 triliun.

"Pelaksanaan program KUR oleh lembaga penyalur nampaknya belum optimal. Padahal ada atensi publik terhadap program KUR," jelas Dadan.

Sulitnya mengakses KUR, tambah Dadan membuat masyarakat kembali beralih ke pinjaman online. "Lebih mudah pinjaman online. Padahal bantuan KUR ini untuk meminimalisir pinjaman online," tukasnya.

Baca juga artikel terkait OMBUDSMAN RI atau tulisan lainnya dari Iftinavia Pradinantia

tirto.id - Bisnis
Reporter: Iftinavia Pradinantia
Penulis: Iftinavia Pradinantia
Editor: Reja Hidayat