tirto.id - Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rivanlee Anandar mengatakan, pihaknya menduga penentuan penjabat kepala daerah tidak dilaksanakan secara akuntabel dan demokratis.
Hal tersebut didasarkan pada proses penunjukan lima penjabat gubernur dan beberapa wali kota/bupati yang diduga dilaksanakan tanpa melalui uji pemeriksaan yang komperhensif terkait rekam jejak dan kompetensi dalam kerangka vetting mechanism.
"Kemendagri seharusya menyaring dan mencegah agar orang-orang yang memiliki latar belakang bermasalah tidak memegang jabatan publik tertentu agar menghadirkan sosok berintegritas untuk memimpin suatu daerah yang bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat," kata Rivanlee dalam siaran persnya melalui kanal YouTube KontraS, Jumat, (27/5/2022).
Ia menambahkan, dengan nihilnya vetting mechanism tersebut dapat melahirkan potensi konflik kepentingan dalam proses penentuan, pengangkatan sampai dengan ketika mereka telah terpilih nantinya. Pasalnya, meskipun secara normatif para penjabat ini dilarang mengeluarkan kebijakan strategis, akan tetapi posisi strategis tersebut berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan tertentu, terlebih apabila prosesnya tidak transparan.
"Menurut kami, ini sama saja mengabaikan peraturan-peraturan normatif yang memang sudah mengatur perihal penentuan kepala daerah. Karena mau bagaimana pun juga, seseorang kepala daerah dari latar belakang apapun, memiliki tujuan untuk menyejahterakan masyarakat," jelas Rivanlee.
Dalam jumpa pers yang mengkritisi penunjukan penjabat kepala daerah, KontraS bersama ICW mendesak lima hal berikut kepada para pemangku kepentingan:
Pertama, pemerintah pusat dalam hal ini presiden menginstruksikan Kementerian Dalam Negeri untuk memperbaiki tata kelola penunjukan penjabat kepala daerah agar diselenggarakan secara transparan, akuntabel dan professional sesuai dengan AUPB.
Kedua, Mendagri harus membatalkan penempatan TNI-Polri sebagai penjabat kepala daerah. Langkah ini selain bertentangan dengan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan, juga hanya akan membangkitkan hantu dwi fungsi TNI-Polri sebagaimana terjadi pada era Orde Baru. Ketimbang menjadi penjabat kepala daerah, fokus utama lebih baik diperuntukan untuk memperbaiki institusi yang masih memiliki pekerjaan menumpuk.
Ketiga, Mendagri membuka informasi peraturan teknis sebagai turunan dari Pasal 201 UU Pilkada dan seluruh dokumen mengenai proses pengangkatan penjabat gubernur yang telah dilantik.
Keempat, Ombudsman RI untuk menyatakan maladministrasi tindakan pemerintah untuk menempatkan TNI-Polri sebagai penjabat kepala daerah, sebab melanggar berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan, seperti UU TNI, Polri, ASN, dan pemilihan kepala daerah.
Kelima, Lembaga pengawas pemerintah seperti DPR maupun aparat penegak hukum untuk mengawasi dan mencermati seluruh langkah penunjukan penjabat kepala daerah guna menghindari adanya muatan conflict of interest, terlebih dalam tindakan yang menyeret TNI-Polri untuk terlibat pada ranah sipil, seperti penjabat kepala daerah.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Fahreza Rizky