tirto.id - Olimpiade Tokyo 2020 yang berlangsung sepanjang 23 Juli-8 Agustus 2021 bukan sekadar panggung kompetisi para atlet dunia, melainkan juga arena kampanye politik. Seiring kuatnya gelombang perlawanan terhadap ketimpangan dan penindasan terhadap kelompok minoritas di berbagai belahan dunia, semakin banyak atlet tak ragu menyuarakan apa yang mereka yakini.
Sebelum pertandingan sepak bola perempuan berlangsung, misalnya, para pemain dari Inggris Raya, Chili, Amerika Serikat, dan Swedia melakukan aksi bertekuk lutut sebagai bentuk dukungan terhadap gerakan antirasisme (hal yang setahun terakhir juga dilakukan sebelum pertandingan Liga Inggris). Tim Selandia Baru, sebelum melawan Australia, juga mengibarkan kain hitam dan merah dengan lingkaran kuning di tengahnya yang merupakan bendera Aborigin, penduduk asli Australia.
Sementara atlet tolak peluru asal AS berusia 25 tahun, Raven Saunders, mengangkat kedua tangan dan membentuk X setelah menerima medali perak di atas podium. Dia mengakui bahwa aksi ini sudah direncanakan bahkan disepakati di grup perpesanan para atlet untuk “merepresentasikan persatuan dengan orang-orang tertindas.” Bagi Saunders sendiri, simbol X merupakan bentuk solidaritas terhadap komunitas di mana ia merasa termasuk bagian di dalamnya: orang kulit hitam, LGBTQ, dan mereka yang tengah berjibaku dengan kesehatan mental.
Ada pula atlet anggar dari AS, Race Imboden, yang menorehkan simbol X dengan tinta hitam di punggung tangan kanan saat menerima medali perunggu. Imbolden mengatakan di akun Twitter bahwa dengan lambang tersebut dia ingin mendukung atlet kulit berwarna dan semua atlet yang menggunakan platform mereka untuk berpendapat sekaligus mengakhiri kekerasan senjata yang marak di AS. Imboden juga menggunakan simbol X sebagai “demonstrasi menentang Aturan 50.”
Aturan 50 (Rule 50) yang pertama kali ditulis di Piagam Olimpiade pada 1975 pada dasarnya dibuat untuk menjaga netralitas penyelenggaraan Olimpiade. Kebijakan ini melarang “segala bentuk demonstrasi atau propaganda politik, agama, dan rasial” di arena perlombaan dan sekitarnya.
Tiga pekan menjelang pelaksanaan Olimpiade, Komite Olimpiade Internasional (IOC) memutuskan memberikan kelonggaran kepada atlet untuk “mengekspresikan pandangannya” dengan menambahkan poin-poin panduan untuk memperjelas Aturan 50. Misalnya, protes tidak boleh dilakukan di atas podium saat menerima medali namun bisa dilakukan di arena pertandingan sebelum kompetisi dimulai, ketika konferensi pers, atau melalui media sosial. Melansir Associated Press, sewaktu bertanding, atlet juga diperbolehkan menyematkan simbol-simbol bertulisan “perdamaian, respek, solidaritas, inklusi, kesetaraan” di pakaiannya, meskipun slogan seperti “Black Lives Matter” dilarang.
Berdasarkan ketentuan tambahan itu, IOC memutuskan tetap mengivestigasi Saunders karena beraksi di atas podium meskipun prosesnya ditangguhkan ketika mendengar kabar ibu Saunders meninggal dunia. Sementara soal bertekuk lutut dan pengibaran bendera yang dilakukan tim nasional sepak bola perempuan, IOC menyimpulkan tidak ada pelanggaran dari aksi tersebut.
Belum diketahui apakah kelonggaran ini berlaku juga pada Olimpiade Musim Dingin yang diselenggarakan di Beijing Cina tahun depan, mengingat negara tersebut sarat kontroversi. Grup-grup aktivis telah menyerukan boikot karena pelanggaran HAM oleh otoritas Cina terhadap minoritas Uighur. Kritik serupa pernah disuarakan menjelang Olimpiade Beijing 2008.
Olimpiade yang Apolitis dan Kolonialisme
Sepanjang 125 tahun riwayat Olimpiade era modern, panitia penyelenggara selalu menekankan bahwa perhelatan ini pada dasarnya apolitis. Meski demikian, beberapa tahun belakangan mereka memperhalus retorika dengan menggunakan istilah “politik netral”. Menurut IOC, Olimpiade tidak memihak kepentingan politik apa pun, dan tidak memberikan ruang kepada siapa pun untuk menyuarakan protes politik.
Namun demikian, menurut Jules Boykoff dalam buku Power Games: A Political History of the Olympics (2016), Olimpiade dilandasi oleh pandangan-pandangan kontradiktif yang sesungguhnya tidak benar-benar bebas dari unsur politis.
Aristokrat Prancis di balik pelaksanaan Olimpiade modern, Baron Pierre de Coubertin (1863- 1937), memandang Olimpiade sebagai agama—kegiatan berbasis “doktrin filosofis-agamis” yang tak sepatutnya dinodai oleh kepentingan lain. Menurutnya Olimpiade adalah “suaka yang hanya ditujukan kepada atlet yang dipersuci dan dimurnikan”. Melalui kompetisi olahraga inilah atlet kelak menjadi pendeta atau pemimpin “religion of the muslces—agama otot.”
Pada saat yang sama, Coubertin meyakini Olimpiade dapat mendorong perdamaian dunia, seiring semua orang dari beragam latar belakang sosio-budaya dipersatukan dalam spirit keolahragaan atau agama olahraga itu sendiri.
Pada akhirnya, seperti Boykoff tulis, “Nasionalisme otot yang diserukan sang Baron [Courbertin] bekerja dalam ketegangan produktif dengan internasionalisme cinta damainya”. Boykoff juga menyorot bahwa Olimpiade dikritik membenturkan sauvinisme (patriotisme berlebihan terhadap tanah air) dengan internasionalisme.
Di balik segala kontradiksi yang ada, Coubertin bersikeras bahwa pencapaian setiap atlet harus dihargai terlepas latar belakang kebangsaannya. Pandangan itu dijunjung sebagai prinsip-prinsip Gerakan Olimpiade, kelak tercermin dalam Piagam Olimpiade pertama yang diterbitkan pada 1908.
Terlepas dari retorika apolitis yang melandasinya, Olimpiade tetap saja menyediakan ruang bagi para atlet untuk mengkritik. Contoh paling awal bisa ditemui pada Olimpiade Athena 1906—atau Olimpiade Selingan 1906. Pada kompetisi tersebut, empat atlet asal Irlandia melancarkan protes karena terpaksa berpartisipasi sebagai kontingen Britania Raya. Kala itu Irlandia masih dikuasai parlemen Inggris di Westminster. Irlandia juga belum punya komite olimpiade nasional, satu-satunya badan resmi yang bisa mendaftarkan delegasi ke Olimpiade.
Pada saat upacara pembukaan, mereka tampil seragam dengan blazer dan topi hijau bersematkan simbol daun semanggi empat (shamrock) yang merupakan simbol Irlandia. Mereka bahkan menjaga jarak dari rombongan Britania Raya dan mengabaikan perintah panitia untuk menyematkan lencana bendera Inggris, Union Jack, di pakaiannya, tulis Boykoff dalam Power Games.
Sewaktu mengikuti upacara penerimaan medali, salah satu atlet Irlandia Peter O’Connor, yang memenangkan medali perak dan emas untuk cabang atletik lintasan dan lapangan, nekat memanjat tiang bendera Inggris. Dia tak terima; merasa bukan bagian dari Inggris. O’Connor lalu mengibarkan bendera hijau Irlandia dengan simbol harpa emas dan slogan berbahasa Gaelik: Erin go Bragh ‘Irlandia Selamanya’.
Partisipasi dalam Olimpiade semakin lekat dengan sentimen-sentimen nasionalis, tak terkecuali India yang merupakan koloni Inggris. India menjadi koloni Asia pertama yang mengirimkan perwakilan—empat atlet lari dan dua pegulat—ke Olimpiade Antwerp 1920. Mereka disponsori oleh Dorabji Tata, pengusaha India berpengaruh. Nyaris satu dekade kemudian, dalam surat yang ditujukan kepada Presiden IOC Henri de Baillet-Latour, Tata bercerita bahwa proposalnya untuk mengirimkan atlet India ke Antwerp sudah “memicu ambisi-ambisi dari elemen nasionalis” mereka. Tata berharap, di bawah asuhan pelatih-pelatih Inggris kala itu, usaha atlet-atlet India akan “menuai pujian untuk India.”
Pada dekade awal, Olimpiade memang sarat dengan pandangan kolonialis dan rasis yang mencerminkan kondisi sosio-politik dunia kala itu. “Teori yang menyatakan bahwa semua ras manusia punya hak-hak setara mengarah pada garis kebijakan yang menghambat kemajuan di negeri koloni,” demikian Coubertin pernah menulis, dikutip dari Power Games. Ia melanjutkan, “Ras yang superior berhak sepenuhnya untuk menolak [memberikan] hak-hak istimewa dalam kehidupan beradab kepada ras yang lebih rendah.”
Pada akhirnya Coubertin memang mendorong partisipasi negara-negara Afrika, meskipun inisiatif ini tetap dilatarbelakangi oleh pandangan khas kolonialis dan stereotip rasis. Dalam rapat IOC di Roma pada 1923, Coubertin berpendapat masih terlalu dini untuk memperkenalkan kompetisi olahraga kepada “benua yang ketinggalan zaman dan di antara masyarakatnya masih tidak punya kebudayaan dasar.” Di mata Coubertin, ras Afrika punya sejumlah sifat terbelakang, di antaranya “kemalasan individual” serta “kebencian dan kecemburuan” terhadap orang kulit putih sehingga mereka ingin “meniru dan berbagi hak-hak istimewanya.” Di balik itu semua, Coubertin berharap aktivitas olahraga bisa “menenangkan Afrika” karena fungsinya “membantu menciptakan tatanan dan menjernihkan pikiran.”
Black Power sampai Identitas Suku Asli
Protes politik melalui Olimpiade semakin kentara pada puncak era perjuangan hak-hak sipil di AS dan gerakan aktivisme hak asasi yang mengglobal, yaitu pada Olimpiade Musim Panas di Meksiko pada 1968. Christine O’Bonsawin dalam studi “From Black Power to Indigenous Activism: The Olympic Movement and the Marginalization of Oppressed Peoples (1968–2012)” (2015) mengatakan tujuan aktivisme ini tidak lain untuk menyampaikan keluhan di depan publik dan pada akhirnya menentang penindasan yang disponsori negara.
Aktivisme misalnya ditampilkan oleh para pemenang cabang olahraga lari 200 meter pria. Setelah menerima medali emas dan perunggu di atas podium, atlet AS keturunan Afrika, Tommie Smith dan John Carlos, mengepalkan tangan yang dibalut sarung tangan hitam dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Aksi mereka kelak dikenal sebagai salam Black Power. Smith menjabarkan, sarung tangan hitam di tangan kanannya menyimbolkan kekuatan orang kulit hitam AS, sementara di tangan Carlos melambangkan persatuan mereka.
Baik Smith dan Carlos naik ke podium hanya dengan mengenakan kaos kaki hitam untuk menyimbolkan kemiskinan di kalangan masyarakat kulit hitam. Carlos juga tidak menutup ritsleting jaket sebagai bentuk solidaritas terhadap kelas pekerja di AS. Selain itu, ia memakai kalung manik-manik untuk menghormati para korban lynching, pembunuhan orang kulit hitam yang marak di AS pada akhir abad ke-19.
Atas segala tindakan tersebut, IOC menghukum dengan segera memulangkan keduanya ke AS. Mereka kelak dilarang berpartisipasi dalam pertandingan-pertandingan di Munich (1972) dan Montreal (1976). Di negaranya, Smith dan Carlos dapat ancaman pembunuhan sampai kesulitan mencari pekerjaan.
Di samping podium Smith dan Carlos ada orang kulit putih asal Australia, Peter Norman, yang memperoleh medali perak. Norman, seorang guru dari keluarga kelas pekerja di Melbourne, pun menentang rasisme yang juga tengah menyeruak di Negeri Kanguru. Kala itu otoritas Australia memang telah tiga tahun memberikan hak pilih bagi penduduk asli, namun masih lazim praktik pemisahan anak-anak keturunan suku asli dari keluarganya. Di samping itu, Norman juga kritis terhadap White Australia Policy, kebijakan yang melarang orang dari etnis non-Eropa bermigrasi ke Australia.
Ia berdiri di podium sambil mengenakan lencana Proyek Olimpiade untuk Hak Asasi Manusia (OHPR) yang juga dikenakan oleh Smith dan Carlos. OPHR adalah organisasi bentukan sosiolog Harry Edwards pada 1967 dan diikuti oleh sejumlah atlet Olimpiade untuk mengkritik perlakuan rasis terhadap atlet kulit hitam di AS.
Atlet-atlet keturunan suku asli juga tak kalah ekspresif. Pada 1984 di Los Angeles, atlet kayak keturunan Mohawk asal Kanada, Alwyn Morris, mengangkat tinggi-tinggi helai bulu elang—lambang dari kehormatan dan keberanian di kebudayaan suku asli Amerika Utara—setelah menerima medali di podium. Kala itu Morris menjadi peraih medali emas pertama dan satu-satunya dari latar belakang suku asli Kanada. Ini dilakukan Morris untuk menghormati mendiang kakeknya sekaligus identitas Mohawk yang mengalir dalam darahnya.
Persis seperti Morris, pada Olimpiade London 2012, petinju keturunan Kamilaroi dan Manandanji dari Australia Damien Hooper mengenakan kaos dengan desain bendera suku Aborigin saat berlaga. Hooper lantas ditegur oleh panitia IOC karena dianggap sudah melanggar Aturan 50. Ia lantas berjanji untuk tidak memakai kaos yang sama lagi di pertandingan selanjutnya.
Berkaca dari pengalaman Morris dan Hooper, O’Bonsawin mengatakan Olimpiade sudah memaksa atlet-atlet suku asli untuk menerima identitas kewarganegaraan dari penjajah. Hal ini, tulis O’Bonsawin, “secara lebih jauh memvalidasi otoritas politik dari struktur pemerintahan yang dipaksakan secara ilegal.”
Kuasa Olimpiade: Warisan Dunia Reagan & Thatcher
Tony Collins dalam Sport in Capitalist Society: A Short History (2013) mengatakan meningkatnya represi dari panitia acara olahraga terhadap atlet diakibatkan oleh konservatisme sosial warisan era Presiden AS 1981-1989 Ronald Reagan dan Perdana Menteri Inggris 1979-1990 Margaret Thatcher, serta berbagai dorongan untuk menarik kembali pencapaian dari perjuangan sosio-politik pada dekade 1960 sampai 1970-an. “Sejak dekade 1980-an, kebutuhan akan ‘keamanan’ di acara-acara olahraga semakin dijadikan alasan bagi serangan-serangan pemerintahan terhadap kebebasan sipil,” tulis Collins.
Collins mengatakan Olimpiade Los Angeles 1984 adalah “model otoriter” untuk Olimpiade-Olimpiade selanjutnya. Lokasi penyelenggaraan berubah menjadi “zona militer”, ribuan polisi tambahan dan agen rahasia militer dipekerjakan. Panitia juga melarang demonstrasi dan membersihkan kota dari gelandangan serta pekerja seks.
Acara ini juga dipuji sebagai Olimpiade pertama yang disponsori besar-besaran oleh korporat. Gerai makanan cepat saji McDonald dikabarkan menyumbang 4 juta dolar AS untuk stadion kolam renang dan makanan senilai 5 juta dolar AS (nilainya sekarang lebih dari Rp300 miliar).
Memasuki abad ke-21, Olimpiade semakin menyerupai “negara totaliter” yang berkeliling dari kota ke kota untuk “menaklukkan penduduk, terutama yang miskin dan tertindas secara rasial,” tulis Collins. Contohnya adalah Olimpiade Musim Dingin di Vancouver, Kanada pada 2010. Penyelenggaraannya diprotes oleh masyarakat suku asli dan aktivis karena dipandang berdampak buruk pada kehidupan sosial dan lingkungan. Slogan protesnya: “Tidak ada Olimpiade di tanah curian milik penduduk asli.” Pemerintah kota sampai menerbitkan aturan hukum baru yang melarang pamflet-pamflet dan demonstrasi tanpa izin. Bahkan, badan intelijen Kanada menyebut “aktivis-aktivis First Nations, antiglobalisasi, dan antikorporat” sebagai ancaman terhadap keamanan Olimpiade.
Demikianlah, sejak awal Olimpiade tak pernah lepas dari politik, bahkan pada awalnya lekat dengan pandangan-pandangan kolonialis dan rasis. Apa yang dilakukan oleh para atlet kemudian sekadar membalik itu: menggunakan panggung yang tersedia juga untuk politik, tapi yang berpihak pada kaum marjinal.
Editor: Rio Apinino