tirto.id - Bagaimana rasanya menjadi atlet yang tidak bisa bertanding?
Rami Anis, seorang atlet renang dari Suriah, punya jawabannya. “Rasanya seperti anda hanya disuruh belajar setiap hari tanpa tahu kapan akan ujian,” paparnya seperti dikutip dari laman UNHCR. Anis adalah seorang pengungsi yang meninggalkan Suriah akibat perang dan kini tinggal di Turki. Ia tidak bisa mengikuti pertandingan renang di negara itu karena Anis belum memiliki kewarganegaraan Turki.
Anis adalah satu dari sepuluh atlet yang tergabung dalam tim Olimpiade khusus pengungsi yang dibentuk oleh IOC. Presiden IOC, Thomas Bach, menginginkan supaya pembentukan tim khusus pengungsi ini menjadi simbol perdamaian sekaligus pesan bagi dunia supaya mengakui dan memperhatikan hak-hak para pengungsi yang tersebar di seluruh penjuru dunia.
“Kita semua begitu tersentuh oleh besarnya skala krisis pengungsi dunia saat ini. Dengan adanya tim ROA (Refugee Olympic Athletes/tim Olimpiade pengungsi) ini, kami ingin menyebarkan pesan-pesan harapan kepada seluruh pengungsi di dunia ini!,” paparnya seperti dikutip Readers Digest.
“Para pengungsi ini tidak memiliki rumah, tidak punya tim, bendera, dan lagu kebangsaan. […] Mereka akan menunjukkan kepada dunia bahwa terlepas dari segala tragedi tak terbayangkan yang telah mereka hadapi, mereka juga dapat menyumbang kepada peradaban melalui bakat, kemampuan, dan kekuatan dari semangat manusia,” lanjut Bach dikutip dari laman www.olympic.org.
Tim ROA akan memasuki arena pembukaan Olimpiade Rio 2016 sebelum kontingen tuan rumah Brazil. Mereka akan berbaris di bawah naungan bendera Olimpiade, mengingat mereka tidak memiliki afiliasi dengan komite olimpiade negara manapun. Segala fasilitas akan disediakan oleh IOC dan mereka juga berhak untuk mendapatkan pelayanan dan penghargaan yang sama dengan kontingen dari negara.
Kesepuluh atlet yang terpilih ke dalam tim ROA adalah: Rami Anis (Suriah, kini tinggal di Turki) dan Yusra Mardini (Suriah, tinggal di Jerman) pada cabang olahraga renang, Yolande Mabika dan Popole Misenga (keduanya asal Kongo dan tinggal di Jerman) pada cabang judo, Yonas Kinde (Ethiopia, tinggal di Luksemburg), serta lima pelari asal Sudan Selatan (yang mengungsi ke Kenya) akan turun di cabang atletik: James Nyang Chiengjiek, Yiech Pur Biel, Paulo Amotun Lokoro, Rose Nathike Lokonyen, dan Anjelina Nada Lohalith.
Para atlet ini mengungkapkan kegembiraannya karena bisa berpartisipasi di Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Beberapa di antaranya bahkan mengungkapkan sikap optimistis dapat meraih medali. “Sebelum datang ke sini, saya bahkan tidak memiliki sepatu. Kini, kami tahu bagaimana rasanya menjadi atlet seutuhnya,” beber Paul Amotun Lokoro kepada UNHCR. “Saya akan memenangkan medali dan akan kudedikasikan kepada seluruh pengungsi,” seru Popole Misenga.
Atlet lainnya mengungkapkan bahwa olahraga telah berjasa memberikan bagi arti bagi hidup mereka yang terenggut oleh konflik. “Judo belum memberiku uang, tapi judo membuat hatiku kuat,” ungkap Yolande Mabika. Yolande—yang sebelumnya mengungsi akibat perang di Kongo-- terdampar di Brazil setelah uang dan paspornya dilarikan oleh sang pelatih saat bertanding di negara itu. “Kuharap ceritaku bisa menjadi contoh buat semua orang, dan mungkin keluargaku akan menyaksikanku di Olimpiade, lalu kami akan bersatu kembali,” imbuhnya.
Olahraga dan perdamaian
Olahraga sejak dahulu telah menjadi salah satu metode yang diharapkan dapat membawa perdamaian bagi dunia. Olimpiade, sebagai ajang olahraga terbesar di dunia, dalam sejarahnya pun konon berasal dari upaya mengakhiri perang. Seperti dipaparkan Ensiklopedia Britannica, pelaksanaan Olimpiade pada masa Yunani Kuno berasal dari upaya dua raja di wilayah Olympia, Iphitos dan Cleomenes, untuk melakukan gencatan senjata/Oympic Truce (lazim disebut sebagai “Ekecheiria”).
Beberapa sumber menyatakan, gencatan senjata ini dilakukan secara menyeluruh. Di sisi lain, Ensiklopedia Britannica mencatat bahwa isi sebenarnya dari perjanjian tersebut adalah “melarang seluruh pihak untuk menyerang daerah Olympia selama Olimpiade berlangsung sekaligus melindungi para musafir yang bepergian dari dan menuju acara Olimpiade”.
Sejarah era modern mencatat beberapa momen, ketika olahraga menjadi sarana untuk menciptakan perdamaian, atau minimal, mengurangi dampak konflik. Salah satu contohnya ketika terjadi “Christmas Truce”/Gencatan Senjata Natal. Peristiwa ini mengacu kepada serangkaian gencatan senjata yang terjadi antara pasukan Perancis dan Jerman di Front Barat (sekitar perbatasan Belgia, Perancis, dan Jerman) pada hari-hari menjelang Natal 1914.
Saat itu, sekitar 100.000 pasukan Jerman dan Perancis yang tengah berperang memutuskan untuk mengakhiri kontak senjata untuk merayakan Natal. Salah satu cara yang mereka lakukan untuk merayakan Natal adalah dengan mengadakan pertandingan sepak bola antara sesama prajurit. Untuk mengenang pertandingan perdamaian ini, pemerintah Inggris mendirikan Christmas Truce Memorial pada 12 Desember 2014 yang diresmikan oleh Pangeran William, ketua Football Association Inggris Greg Dyke, dan pelatih tim nasional Inggris Roy Hodgson.
Usaha membangun perdamaian melalui olahraga di Indonesia pernah dilakukan oleh Sani Tawainella, mantan pemain timnas junior Indonesia. Ia melatih anak-anak Maluku yang turut mengalami konflik agama pada penghujung dekade '90an. Sani awalnya hanya mengajak anak-anak di sekitar rumahnya untuk bermain sepakbola setiap sore di lapangan Matuwaru, Tulehu.
Sani kemudian memimpin tim junior U-15 Maluku dalam ajang Piala Medco 2006. Saat itu, ia menyisipkan beberapa pemain beragama Nasrani di tengah-tengah tim yang berangkat ke Jakarta, sebuah langkah yang sempat menuai protes dari banyak pihak. ”Yang beta nilai ketika itu adalah kemampuan anak. Kalau dia memang dibutuhkan dalam tim, pasti beta masukkan. Beta tak melihat dari mana asalnya atau apa agamanya. Semua bermain untuk Maluku to?” tuturnya kepada Jawa Pos News Network.
Pengakuan dan perangkulan sang “Liyan”
Perkataan Sani memiliki kandungan pesan yang sama dengan langkah IOC dalam tim Olimpiade pengungsi. Mereka menyadari bahwa perang dan konflik telah sukses menyingkirkan dan memarjinalisasi beberapa golongan ke dalam golongan “liyan” yang dicerabut dari hak-haknya sebagai manusia seutuhnya. Status sebagai pengungsi, diakui maupun tidak, memiliki konsekuensi yang membuat identitas mereka kerapkali dipertanyakan secara sosial sekaligus akses mereka terhadap sumber-seumber kesejahteraan maupun aktualisasi menjadi dibatasi.
“Sebagian besar pengungsi memiliki bakat. Mereka hanya tidak punya kesempatan untuk menunjukkannya,” ujar salah satu atlet pengungsi, Rose Lokonyen kepada Foreign Policy edisi Juli 2016. “Sebagian besar pengungsi mengaku malu jika dipanggil 'pengungsi',” sambung atlet lainnya, Yiech Pur Biel. Olahraga selanjutnya diharapkan dapat menjadi saluran bagi kaum terpinggirkan untuk merebut kembali posisi mereka dalam masyarakat.
PBB dalam laporan bertajuk “Sport for development and peace: towards achieving the millennium development goals” (2003) menyatakan, olahraga dapat mendorong partisipasi publik secara luas, inklusi sosial, dan mempersatukan orang-orang melalui penekanan atas kesamaan yang mereka miliki. Olahraga juga dapat menumbuhkan sikap toleransi, kerja sama, dan respek terhadap orang lain melalui interaksi yang bersifat positif. Di sisi lain, olahraga pun dapat memupuk rasa percaya diri seseorang.
Di sisi lain, olahraga juga menyimpan potensi untuk memicu konflik. Paul Donnelly, peneliti dari Sport Northern Ireland menyatakan, olahraga secara alamiah merupakan sarana untuk mempromosikan agresivitas dan persaingan. Saat olahraga menjadi semakin elite dan terstruktur, para peserta akan mulai "tercerabut" dari semangat kolektivitas karena mereka semakin tergiur untuk meraih kemenangan. Selanjutnya, turnamen olahraga—yang seringkali dijalankan lewat sistem eliminasi-- cenderung melestarikan eksklusi dibandingkan inklusi, sehingga olahraga justru mengancam persatuan sebuah komunitas.
Terlepas dari sisi-sisi negatif yang mungkin terselip di dalamnya, tetapi olahraga tetap dapat menampilkan pengakuan bagi sebuah entitas secara simbolik. Hal ini misalnya terlihat dari sambutan dunia internasional yang sangat positif atas keikutsertaan Timor Leste dalam Olimpiade Sydney 2000. Saat itu, Timor Leste belum genap setahun melepaskan diri dari Indonesia. Empat atlet Timor Leste yang berjalan dalam balutan kostum putih dan berbaris di bawah bendera Olimpiade pada upacara pembukaan. Menurut catatan ESPN edisi Oktober 2000, mereka disambut dengan gemuruh tepuk tangan dari seantero stadion. Apresiasi serupa juga diterima oleh kontingen Sudan Selatan saat mengikuti Olimpiade London 2012.
Pada akhirnya, olahraga saja tidak akan sanggup untuk menciptakan perdamaian dunia. Namun, olahraga dapat menjadi pondasi yang melatari upaya-upaya perdamaian dalam tingkatan selanjutnya. Terkait hal ini, pernyataan dari Asad Ziar—orang yang mempopulerkan olahraga rugby di Afghanistan—sepertinya patut disimak.
“Kami tidak menyuarakan tuduhan-tuduhan tentang perang ataupun motivasi seseorang untuk terlibat di dalamnya. Kami hanya berharap untuk mendorong para pemuda Afghanistan supaya melakukan sesuatu yang positif, asyik, dan kompetitif. Dengan ini, semoga mereka dapat dijauhkan dari obat-obatan terlarang atau godaan untuk terlibat dalam kekerasan,” ujarnya kepada Aljazeera edisi Maret 2013.
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nuran Wibisono