Menuju konten utama

Pertaruhan Besar Pesta Olahraga Terakbar

Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro menuai ganjalan akibat resesi ekonomi terparah yang dialami Brasil sejak 1930. Inflasi naik tajam, sedangkan nilai pertumbuhan PDB minus. Rakyat miskin (kota) jadi korban pertaruhan terbesar. Apakah pesta olahraga terakbar selama bulan Agustus mendatang mampu menyelamatkan negara dengan potensi ekonomi terbesar di Amerika Selatan itu, setidaknya untuk balik modal?

Pertaruhan Besar Pesta Olahraga Terakbar
Seorang pemulung kaleng minuman di Rocinha, kawasan favela atau perkampungan kumuh terpadat di Rio de Janeiro, Brazil. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Ubira Santos (63) adalah seorang seniman pematung pasir yang sehari-hari memanfaatkan pantai Copacabana di Rio de Janeiro sebagai medium dalam berkarya. Kreasinya yang terbaru kala diajak mengobrol oleh jurnalis The Guardian pada pertengahan Juli 2016 kemarin adalah patung perempuan yang sedang berbaring, seakan sedang menjemur badannya, tepat di bawah patung lain berbentuk Kristus Sang Penebus—ikon paling terkenal di Rio.

Olimpiade 2016 yang akan segera digelar di Rio, Brazil membuncahkan harapan Santos. Pesta olahraga terakbar sejagat yang tinggal 20 hari lagi digelar itu diharapkan membantu meramaikan bisnis seni patungnya. Bayaran ala kadarnya usai foto bersama hasil karyanya sudah lebih dari cukup.

Sayang, kondisi ekonomi Brasil yang sedang resesi membuat Santos pesimistis akan janji-janji manis pemerintah kepada Kota Olimpiade. “Keadaan amat sangat buruk belakangan ini di Brazil. Saya hanya berharap kedatangan para turis akan membuatnya menjadi lebih baik,” keluhnya.

Pelaksanaan Olimpiade sejatinya menjadi harapan bagi Santos dan kurang lebih 22,03 persen warga Rio yang masih tergolong miskin, menurut data IBGE atau Instituto Brasileiro de Geografia e Estatistica. Brazil memang sedang dilanda kelesuan ekonomi. Resesi yang dialami negara tersebut merupakan yang terparah sejak 25 tahun terakhir. The Huffington Post bahkan tak ragu menyebutnya sebagai yang terparah sejak 100 tahun Brazil eksis sebagai sebuah negara.

Resesi Brazil

Laju nilai pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Brazil mengalami pasang surut sejak 10 tahun yang lalu. Menurut data Bank Dunia, pada 2006 Brazil masih mencatat laju pertumbuhan sebesar 4 persen dan naik menjadi 6,1 persen di tahun 2007. Setelah turun 1 persen setahun setelahnya, tahun 2009 secara mengejutkan nilai pertumbuhan PDB Brazil turun hingga -0,10 persen.

Meskipun sempat naik drastis hingga angka 7,5 persen, di tahun-tahun setelahnya Brazil segera mengalami penurunan yang sangat tajam. Dimulai dari angka 3,9 persen di tahun 2011, turun menjadi 1,9 persen setahun setelahnya, dan naik lagi menjadi 3 persen di tahun 2013. Setahun setelahnya dampak dari resesi Brazil mulai terasa dengan turunnya pertumbuhan PDB kembali di angka 0,10 persen. Pada 2015, angkanya kembali terjun bebas ke minus 3,8 persen.

Sementara dari sisi inflasi, terjadi kenaikan yang signifikan, terutama dalam 10 tahun terakhir. Inflasi yang tadinya hanya berkisar 3,6 persen pelan-pelan naik menjadi 4,9 di tahun 2009, lalu 5,0 setahun setelahnya dan akhirnya mencapai 6,6 persen di tahun 2011. Tahun lalu, kenaikan inflasi makin menggila: mencapai angka 9 persen.

Inflasi tinggi diikuti kenaikan tingkat pengangguran. Awal Juni 2016 CNN melansir pernyataan resmi dari pemerintah Brazil yang mengumumkan tingkat pengangguran di negara dengan penduduk sebanyak 200 juta lebih itu mencapai 11,2 persen antara bulan Februari-April. Ada kurang lebih 11,4 juta penganggur di Brazil atau naik sebanyak 20 persen sejak tahun lalu.

Perilaku korup politisi korup dan para pengusaha di Brazil menjad salah satu faktor yang memperburuk keadaan. Skandal korupsi korporasi minyak negara, Petrobras, yang dilakukan oleh petinggi perusahaan dan melibatkan elite politik Brazil memakan korban karyawan Petrobras sendiri. Hanya butuh dua tahun bagi Petrobras untuk memangkas 61 persen karyawannya yang total berjumlah 276.000 orang. Perusahaan konstruksi terbesar di Brazil, Odebrecht, juga melakukan hal yang sama.

Orang-orang berkeliaran di jalan atau menetap di rumahnya masing-masing dengan kondisi menganggur. Inflasi yang meninggi membuat mereka kesusahan memenuhi kebutuhan hidupnya sehar-hari. Harga barang-barang naik, sementara tingkat konsumsi masyarakat menurun tajam. Santos dan kelompoknya merupakan pihak yang paling terjepit. Sebelum resesi saja ia berada dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan. Kala resesi menerpa, Santos dan jutaan rakyat miskin Rio dan Brazil lainnya makin tercekik.

Pertaruhan yang Tak Adil

Alih-alih mengurus dampak resesi tersebut, pemerintah Brazil justru menutup mata serta telinganya dan terus-menerus menenangkan tekanan dari dalam maupun luar negeri dengan beragam pledoi yang intinya, “Brazil baik-baik saja. Olimpiade akan terus jalan. Justru dengan Olimpiade ini lah kami akan mengentaskan resesi ini”.

Pemerintah Brazil sebetulnya sedang menjadikan Olimpiade tahun ini sebagai sebuah pertaruhan yang tak adil sejak dalam rencana. Jika kalah, rakyat miskin Brazil tentu yang jadi korban. Kalaupun menang, keuntungan yang dihasilkan dari Olimpiade menurut para pengamat ekonomi ternyata tak cukup untuk menutupi modal persiapan kompetisi yang amat sangat besar itu. Pendek kata, rakyat miskin Brazil tak dapat apa-apa.

Mengutip CNN, Brazil telah menggelontorkan dana sebesar 7,1 miliar dolar AS untuk membangun infrastruktur, hanya untuk Rio saja. Dana tersebut lebih besar dibanding dana untuk menggelar ajang Piala Dunia 2014 yang tersebar di 12 kota, tetapi tak akan menyelamatkan negara dengan potensi ekonomi terbesar di Amerika Latin itu. Ketika Piala Dunia 2014 dilaksanakan, ekonomi Brazil bahkan hanya tumbuh 01,0 persen. Mengapa?

Pertumbuhan ekonomi Brasil yang tahun lalu menyentuh angka 3,8 persen diperkirakan hanya akan membaik menjadi 3,5 persen di tahun ini, meski ada sedikit genjotan dari Olimpiade. Jika kondisi ini tak ada perubahan signifikan, IMF memperkirakan tahun 2017 Brazil masih mendapat rapor merah. Artinya, resesi berkepanjangan Brazil belum akan terobati.

Pertengahan Mei lalu Bloomberg merilis analisis Barbara Mattos dari Moody's yang mengatakan bahwa, “Olimpiade hanya akan diselenggarakan selama satu bulan, dan ini tak akan memberikan stimulus yang cukup dibandingkan dengan merosotnya ekonomi Brasil saat ini”.

Barbara memang mengakui bahwa ada beberapa pihak yang jelas untung besar dengan adanya Olimpiade. Mereka antara lain penyewaan mobil, maskapai penerbangan internasional, dan tempat penyewaan fasilitas olahraga. Namun, keuntungan tersebut hanya lari di area metropolitan Rio, bukan di favela, slum area-nya Rio, atau tempat bermukim masyarakat kalangan bawah lainnya. Mengingat hanya diselenggarakan di satu kota, efek ekonomi Olimpiade akan sulit terasa di tingkat nasional.

Kondisi tersebut hanya akan memperparah kesenjangan antara masyarakat kalangan atas dan bawah yang memang sudah sejak dulu selebar jurang. Dampak lanjutannya: kriminalitas meningkat, angka kekerasan aparat kepolisian juga naik.

Kekerasan ini tak lain adalah perintah dari pemerintah Brasil sendiri yang ingin Olimpiade aman dan stabil. Setidaknya itu citra yang dunia luar tangkap mengingat selama ini stigma instabilitas politik dan sosial masyarakat Brazil, terutama di Rio, masih terbilang buruk. Pesan ini juga ditujukan demi menghalau aksi protes dari pihak-pihak di Brasil yang menentang Olimpiade 2016.

Travis Waldron dari The Huffington Post menjadikan topik kekerasan polisi ini sebagai salah satu penyebab mengapa Olimpiade 2016 di Brazil adalah sebuah keputusan yang keliru. Alasannya, aparat kepolisian Brazil didaulat sebagai yang paling ganas sedunia.

Aparat Negara yang Mengganas

Menurut data Amnesty International, aparat kepolisian Brazil bertanggung jawab terhadap 1 dari 5 pembunuhan yang terjadi di Rio de Janeiro tahun 2015 lalu. Kematian yang melibatkan polisi di Rio meroket hingga mencapai 580 korban jiwa di tahun 2014 atau meningkat 40 persen dibanding tahun 2013, dan tahun 2015 meningkat lagi menjadi 645 pembunuhan.

Ada tambahan 11 kematian yang melibatkan polisi pada tiga minggu pertama bulan April 2016 dan menurut Amnesty Internasional, para korban adalah “para pria berkulit hitam yang berasal dari kawasan favela dan area yang terpinggirkan”.

Bulan Desember 2015 PBB menuduh aparat kepolisian Brazil telah melakukan pembunuhan sistematis kepada anak-anak kulit hitam demi “membersihkan jalanan” dalam rangka menyambut Olimpiade. Brazil sendiri akan menerjunkan 80.000 polisi dan anggota militer untuk melakukan pengamanan selama Olimpiade berlangsung (angka ini dua kali lipat lebih banyak ketimbang aparat keamanan di Olimpiade 2012 di London, Inggris). Keputusan ini dinilai akan makin meningkatkan ketegangan pun jumlah korban selama bulan Agustus mendatang.

Banyak pengamat yang menilai bahwa Olimpiade mendatang hanyalah akrobat dari pemerintah Brazil yang ingin pamer bahwa kondisi di negara tersebut tak seseram yang orang-orang bayangkan. Faktanya, mereka tak hanya menutup mata atas resesi dan efek domino yang telah disebutkan di atas, tetapi juga tak peduli bahwa kondisi politik pemerintahan Brazil juga belum stabil setelah terjadi pemakzulan presiden dan pergantian kekuasaan di tingkat elite.

Ini belum ditambah persoalan-persolan lain yang masih membayang-bayangi karena dampaknya yang tak sepele dan juga penting untuk segera diatasi. Antara lain masih adanya potensi penyebaran virus Zika, masalah kerusakan lingkungan yang parah akibat pembangunan venue cabang layar di Teluk Guanabara, atau kasus penggusuran 77.000 warga miskin Rio dari rumahnya.

Masyarakat Brazil bukannya diam dengan kondisi ini. Dilansir dari Antara, pada Selasa (19/7/2016) diumumkan hasil jajak pendapat Datafolha yang dipublikasikan di surat kabar Folha bahwa 50 persen warga Brazil menolak Olimpiade Rio.

Penolakan ini meningkat dua kali lipat dari hasil jajak pendapat tiga tahun yang lalu. Kata 63 persen responden, Olimpiade pertama yang digelar di Amerika Selatan itu akan mendatangkan lebih banyak dampak negatif ketimbang dampak positif bagi Brazil.

Sayang, pemerintah nampaknya tak menggubris suara ini. Awal Juli lalu Presiden ad interim Brazil, Michel Temer, tampil di sebuah video singkat yang disebarluaskan oleh media-media Brazil. Temer, dengan gesture meyakinkan berkata kepada dunia dan rakyatnya sendiri,

“Saya ingin agar orang-orang tenang. Tidak ada kekhawatiran, dan tidak perlu ada yang dikhawatirkan...”

Baca juga artikel terkait MILD REPORT atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti