tirto.id - Embel-embel “Olimpiade” cukup sakti untuk membuat sponsor berdatangan. “Olimpiade” adalah puncak tertinggi kompetisi olahraga global, yang hanya bisa disaingi ketenarannya oleh “Piala Dunia”. Karena itu, wajar jika banyak perusahaan multinasional berlomba menghamburkan uang, merayu Komite Olimpiade Internasional (IOC) agar bisa bergabung dalam jajaran eksklusif sebagai bagian dari sponsor resmi .
Setelah menjadi sponsor, maka IOC mati-matian akan melindungi partner mereka. Bagaimanapun, sumber pendanaan Olimpiade sebanyak 45 persennya berasal dari sponsor. Penyumbang dana terbesar bagi IOC saat ini masih dipegang merek global seperti Coca-Cola, McDonald’s, Samsung, dan Visa. Total kerja sama dalam tiga tahun terakhir bernilai lebih dari $957 juta. Sebagai sebuah lembaga berbadan hukum, IOC dilindungi oleh undang-undang untuk memanfaatkan merek Olimpiade.
Dev Saif Gangjee, seorang profesor yang ahli dalam Hukum Kekayaan Intelektual di Universitas Oxford menjelaskan, IOC tak hanya memakai hukum perlindungan konsumen atau merek dagang konvensional, untuk mencegah kebingungan konsumen.
Sebagai lembaga olahraga tertinggi dunia, mereka juga membuat undang-undang Olimpiade yang dipesan lebih dahulu untuk mencegah “perusahaan gelap” yang menumpang ikut berpromosi. Penggunaan logo dan nama “Olimpiade Rio 2016” sudah pasti dilarang. Tidak hanya itu, untuk melindungi sponsor hal-hal remeh temeh pun disoroti oleh IOC. Salah satu kebijakan IOC yang membuat heboh adalah larangan memakai istilah-istilah Olimpiade untuk dipakai perusahaan komersial non-sponsor.
Ada 20 kata yang masuk dalam kategori "Olympic-related terms". Kata-kata sepele seperti "Gold", "Silver" dan "Bronze" masuk dalam daftar. Kata-kata bias seperti "Victory", "Challenge", "Sponsor", "Games" pun masuk.
Aturan ini berlaku di manapun, entah itu dalam konteks kegiatan online ataupun offline. Aturan ketat mulai diberlakukan IOC di dunia maya. Mereka akan mengeret siapapun pihak non-sponsor yang memakai tagar-tagar dan kata-kata yang berkaitan dengan Olimpiade. Pendaftaran legalitas tagar dilakukan pada 2013 lalu, belajar dari Olimpiade 2012 yang dimana IOC banyak kecolongan "penumpang gelap".
Bagi orang awam tentunya penggunaan tagar itu dapat digunakan untuk mengangkat atau memberikan semangat kepada atlet yang diunggulkan. Namun, bagi sejumlah perusahaan-perusahaan non-sponsor masalahnya berbeda. Mereka akan mengasosiakan produk mereka dengan Olimpiade dalam upaya untuk meraih keuntungan tambahan atau perhatian publik. Istilah periklanan menyebutnya sebagai "ambush marketing".
Orang kini semakin kreatif dalam menjalankan “ambush marketing”. Banyak kampanye yang dilakukan secara tidak langsung seolah membangkitkan event tersebut dengan cara asosiasi halus, pintar dan lucu. Perusahaan rumah judi Paddy Power misalnya. Pada 2012 lalu mereka bukanlah sponsorship Olimpiade London. Namun, dengan cerdik mereka mensponsori sebuah acara atletik kecil-kecilan di London.
Status ini yang membuat mereka berani memasang billboard dengan kalimat “Official Sponsor of the largest athletic event in London This Year" yang tersebar di seluruh penjuru kota London. Orang pun berasosiasi bahwa Paddy Power mensponsori Olimpiade, padahal tidak. Ide kreatif ini sempat membuat IOC marah besar dan menuntut mereka ke pengadilan. Namun, gugatan itu kalah.
Inilah “ambush marketing” yang ditakuti oleh IOC. Jika dalam konteks marketing offline saja bisa diakali bagaimana dengan marketing yang dilakukan secara online. Untuk memperketatnya, dibuatlah hukum yang mengikat seluruh kontestan Olimpiade lewat Peraturan no 40. Aturan ini tidak permanen dan hanya berlangsung Olimpide Rio de Janeiro berlangsung saja, tepatnya sembilan hari sebelum Olimpide di buka dan tiga hari setelah Olimpide ditutup.
Aturan ini memerintahkan seluruh Olimpians harus memutuskan hubungan dengan para sponsor yang bukan mitra resmi Olimpiade. “Aturan 40 berlaku untuk semua penggunaan gambar, nama seorang atlet di semua jenis iklan (termasuk cetak, online dan digital (termasuk media sosial dan di aplikasi seluler), siaran TV, outdoor.”
Dalam konteks online, perusahaan si peng-endorse tidak boleh me-retweet para atlet, atau mengaitkan si atlet dengan kegiatan yang berkaitan dengan Olimpiade Rio.
“Aturan ini membuat kami sangat frustasi dan melarang kami merayakan banyak prestasi yang menakjubkan dari atlet kami," kata juru bicara New Balance Amy Dow. “Hal ini juga disayangkan bahwa banyak atlet tidak memiliki kebebasan atau kesempatan untuk mendukung merek yang mendukung mereka." Katanya lagi.
Bagaimanapun juga atlet tak akan berani vokal menentang aturan ini secara langsung, mereka hanya bisa menggerutu di twitter dengan tagar #Rule40.
Setiap pelanggaran memang akan berimbas sanksi, baik bagi atlet ataupun gugatan pada sponsor. Pada Aturan 40 memang tidak menyebutkan hukuman bagi atlet yang melanggar. Namun jika mengacu pada aturan 59 tentang hukuman prosedur disiplin, maka untuk setiap pelanggaran atlet diancam kehilangan identitasnya, diskualifikasi, atau medali dicabut.
Banyak pihak yang mengkritisi tindakan IOC ini terlalu berlebihan. Tindakan mereka untuk melindungi merek mitra memang hal wajar. Namun hal yang mereka lupa adalah Olimpiade ditopang oleh hasrat masyarakat global terhadap dunia olahraga. Tindakan IOC malah membuahkan antipati baik itu dari publik maupun atlet sendiri. Di dunia modern, olahraga terkadang tidak hanya membuat kita sehat, dalam konteks industri, olahraga membuat beberapa orang menjadi rakus. Dan IOC adalah contoh kecilnya.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti