tirto.id - Indonesia Basketball League [IBL] musim 2018/2019 rampung ketika Stapac Jakarta berhasil mengalahkan Satria Muda Britama di laga final. Dalam format best of three, Stapac menang dua gim langsung, 68-79 dan 74-56. Meski laga final sudah berakhir pada 23 Maret 2019 lalu, akan tetapi genta IBL ternyata masih berbunyi nyaring sampai sekarang. Penyebabnya pun di luar dugaan: politik.
Pada Senin (1/4) lalu, melalui pesan di sebuah grup WhatsApp, klub-klub di IBL diminta untuk menghadiri acara Deklarasi Dukungan Komunitas Olahraga Bersama Para Ikon Olahraga untuk memberikan dukungan kepada salah satu pasangan capres dan cawapres. Mengingat dinilai menyalahi regulasi IBL [pasal 8], undangan itu tentu memunculkan tanda tanya.
Hasan Gozali, Direktur IBL, membenarkan adanya undangan itu sekaligus menjelaskan bahwa undangan itu tidak bersifat memaksa. Menurutnya, undangan itu tidak menyalahi aturan. Terlebih regulasi yang melarang setiap personel klub IBL untuk menyatakan pandangan politik secara berlebihan itu sudah dihapus pada musim ini.
“Bentuknya undangan doang, bukan wajib. Kalau mau datang, ya datang, kalau tidak, ya tidak. Jadi, kami mendapatkan undangan itu dari PB Perbasi dan minta disampaikan kepada tim-tim,” kata Hasan, dilansir dari DetikSport.
Soal larangan dalam regulasi, Hasan lantas menambahkan, “Untuk peraturan pelaksanaan itu sebenarnya itu peraturan tahun lalu, tahun ini tidak ada. Dan di sana ditulis kalau berlebihan. Jadi kalau tidak provokasi atau menjatuhkan satu sisi tidak masalah.”
Selain mengejutkan, apa yang dilakukan IBL itu tentu dapat memancing perdebatan. Meski Hasan berkilah bahwa undangan itu tidak bersifat memaksa, sebagai otoritas penyelenggara liga basket dalam skala nasional, IBL memang sepantasnya harus bersifat netral; bahwa basket dan olahraga apa pun seharusnya juga bukan ajang untuk berpolitik.
Namun, karena olahraga menjadi komsumsi oleh banyak orang, politik dan olahraga pada kenyataannya memang tidak dapat dipisahkan: ia adalah panggung yang kelewat besar untuk dilewatkan, karena harapannya dapat memberikan pengaruh terhadap orang banyak.
Ihwal kaitan antara basket dan politik, keadaan di Amerika Serikat, tempat basket digandrungi banyak orang, setidaknya bisa menjadi bukti.
Basket Sarana Kampanye dan Kritik Politik
Pada Pemilu presiden Amerika Serikat 2008, selain akan menghadapi John McCain, Barack Obama juga akan menantang sejarah; hingga saat itu belum ada satu pun Presiden Amerika yang berkulit hitam. Meski begitu, Obama yakin bahwa ia bisa menang sekaligus mampu mengubah sejarah. Alasan Obama pun menarik: ia mencintai basket.
Dalam memoirnya yang berjudul Dreams for My Father, Obama pernah menulis, “Di sanalah [lapangan basket] aku mampu menjadikan orang kulit putih sebagai teman dekat, di wilayah di mana kegelapan tidak akan menjadi sebuah kerugian.” Maka, pada saat ia berkampanye di depan ribuan prajurit Amerika yang berada di Kuwait menjelang Pemilu 2008, Obama memilih lapangan basket sebagai tempatnya.
Di lapangan basket itu, Obama tak perlu banyak berkata-kata untuk meyakinkan orang-orang. Mengenakan baju kasual berwarna hitam dan celana panjang, ia hanya perlu meminta bola basket, berdiri di salah satu titik tembakan tiga angka, lalu membidik ke arah keranjang. Dalam satu kesempatan, tembakannya masuk. Reaksi para prajurit Amerika kemudian tidak bisa bohong: mereka ingin Obama menjadi Presiden Amerika.
Dari sana Obama lantas mendapatkan banyak dukungan dari para bintang basket Amerika Serikat. Dan salah satunya karena dukungan para pesohor basket itulah Obama akhirnya berhasil mengubah sejarah dan menjadi presiden kulit hitam pertama Amerika Serikat.
“Dalam menggunakan olahraga untuk berkampanye, Obama adalah presiden Amerika yang paling efektif daripada presiden-presiden sebelumnya,” tutur Alexander Wolf, penulis buku The Audacity of Hoop: Basketball and the Age of Obama.
Yang menarik, basket ternyata tak melulu menguntungkan bagi para penguasa di Amerika. Bahkan pada era kepemimpinan Donal Trump, basket justru seringkali menjadi sarana untuk melontarkan kritik terhadap kepemimpinannya.
Pada tahun 1963 lalu, John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat saat itu, mengundang Boston Celtics untuk berkunjung ke Gedung Putih. Celtics, yang baru saja menjadi juara NBA, mengiyakan ajakan itu dan menjadi peraih gelar NBA pertama yang mengunjungi Gedung Putih. Sejak saat itu, undangan dari presiden Amerika Serikat untuk tim-tim juara NBA menjadi sebuah tradisi. Namun pada tahun 2017 lalu, tradisi itu putus setelah Donal Trump membatalkan undangan untuk Golden State Warriors.
Pembatalan itu berawal dari pernyataan Kevin Plank, Kepala Perusahan Under Armor, yang menyebut bahwa Trump merupakan “aset terbesar” bagi Amerika. Mendengar pendapat itu, Stephen Curry, bintang Golden State Warriors yang tidak menyukai tingkah polah Trump, justru meledek: Ia setuju dengan pernyataan Plank asalkan kata huruf “et” dalam kata “asset” dihilangkan.
Setelah Golden State Warriors meraih gelar NBA, Curry lantas melangkah lebih jauh lagi. Saat mereka mendapatkan undangan dari Trump untuk datang ke Gedung Putih, Curry menolak dan ia mendapatkan banyak dukungan dari rekan-rekannya serta dari Steve Kerr, pelatih Golden State Warriors. Trump yang kebakaran jenggot pun memilih membatalkan undangannya.
Mengingat tingkah absurd Donald Trump, Curry dan Golden State Warriors tentu bukan satu-satunya pelaku basket yang “menghajar” Donald Trump. Pada Oktober 2017 lalu, Gregg Popovich, pelatih legendaris San Antonio Spurs, bahkan sampai mengundang Dave Zirin, editor olahraga di The Nation, untuk menanggapi pernyataan kontroversial Trump tentang empat prajurit Amerika Serikat yang meninggal di Nigeria.
Untuk Trump yang tidak mau menghubungi keluarga korban dengan alasan bahwa Presiden-Presiden Amerika sebelumnya juga tidak berbuat seperti itu, Popovich mengatakan, “Aku kaget dan kecewa dengan banyak hal yang dikatakan Presiden dan pendekatannya dalam mengelola negara ini, yang tampak seperti membuat perpecahan tanpa akhir".
"Namun, komentarnya hari ini tentang orang-orang yang kehilangan para sosok yang terkasih karena perang dan kebohongan bahwa Presiden Amerika sebelumnya, Obama dan Bush, tidak pernah menghubungi keluarga korban perang telah melampaui batas. Aku tidak bisa berkata-kata lagi."
Setelah itu, mantan prajurit Amerika itu mengeluarkan pernyataan yang bisa membuat telinga Trump merah: Popovich menyebut Trump sebagai seorang "pengecut yang tidak mempunyai jiwa".
Kasus Victor Oladipo
“Pilihlah [Joe] Donelli!”
Obama pernah memanfaatkan basket sebagai sarana untuk berpolitik. Golden State Warrior dan Greg Popovic pernah memanfaatkan ketenarannya di jagad basket untuk mengkritik pelaku politik. Namun, saat Victor Oladipo, guard Indiana Pacers, mengeluarkan pernyataan di atas, ia tampak berbeda dari Obama, Golden State Warriors, maupun Popovich: Oladipo terlihat seperti seorang pemain basket yang cocok menjadi pelaku politik.
Oladipo berkata seperti itu mendekati akhir tahun 2018 lalu, di hadapan sekitar 1.800 orang, di Hammond, Indiana. Ia menjadi pembicara kejutan dalam kampanye Joe Donelli yang kembali mencalonkan diri sebagai Senator Indiana. Meski itu adalah pernyataan politik pertamanya di depan umum, ia tampak luwes dan berwibawa.
Pertama-tama, ia menjelaskan ke orang-orang bahwa ia berada di sana karena Donelly, lalu menceritakan perjalanan kariernya, hingga menjelaskan mengapa ia menerima ajakan Donelly. Kata-katanya mengalir tanpa banyak jargon yang tak ada gunanya.
“Ibuku dulu memberitahuku: ‘Ambil yang kamu punya dan gunakan itu',” kata Oaldipo. Saat melihat orang-orang terlihat antusias mendengar orasinya, ia mengatakan, “Betapa kalian sangat peduli dengan negara [bagian] ini. Aku hanya ingin memberi tahu kalian bahwa aku juga peduli.”
Yang menarik, setelah ikut dalam kampanye itu, banyak orang yang percaya bahwa Oladipo cocok menjadi seorang politisi. Salah satunya adalah Tim Swarens, dari Indianapolis Stars, yang menyebut bahwa Oladipo "mempunyai masa depan cerah sebagai politisi". Terlebih Oladipo, yang saat ini masih berusia 26 tahun, ternyata juga tak puas jika ia hanya menjadi seorang atlet.
“Pada akhirnya, kita bukan hanya seorang atlet,” tutur Oladipo. “Aku mempunyai gelar kinesiologi dari Universitas Indiana... Menjadi atlet bukan hanya mendribel bola, melempar bola, atau menendang bola. Banyak hal yang harus kita lakukan di luar itu. Banyak belajar hal-hal di luar itu atau kita hancur. Itu benar-benar terjadi. Orang-orang boleh mempunyai pendapat, tetapi bagi aku pribadi, aku tidak percaya bahwa kita hanya manusia yang hanya bekerja dari jam 9 pagi hingga jam 5 sore.”
Pertanyaannya: mengingat cedera parah yang diderita Oladipo baru-baru ini, apakah Oladipo akan banting stir menjadi politisi dalam waktu dekat?
Editor: Suhendra