Menuju konten utama
Dampak Efisiensi ke Pariwisata

Okupansi Menurun, 5.000 Karyawan Hotel di Yogyakarta Dirumahkan

Sejumlah pihak menilai kebijakan efisiensi dari pemerintah ambil peran besar terhadap permasalahan ini.

Okupansi Menurun, 5.000 Karyawan Hotel di Yogyakarta Dirumahkan
Pengendara melintas di kawasan Tugu Pal Putih, Yogyakarta, Senin (21/12/2020). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/wsj.

tirto.id - Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sedang tidak dalam kondisi yang baik-baik saja. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) DIY, Deddy Pranowo Eryono, bahkan menyebut terdapat 5.000 pekerja industri hotel dan restoran yang dirumahkan, setengah tahun 2025 berjalan.

"Dari pengurangan pekerja itu, kita sepakat nggak ada PHK, tapi dirumahkan. Dalam arti tetap mendapatkan gaji pokok, kecuali insentif bonus dan tunjangan lainnya," kata Deddy saat diwawancarai kontributor Tirto.

Deddy bilang, dari 5.000 pekerja yang dirumahkan ada yang statusnya karyawan tetap, kontrak, hingga daily worker. Namun PHRI mengaku belum mengeluarkan data resmi, sebab merasa perlu menjaga nama baik dari pihak hotel dan rumah makan di DIY.

"Tapi yang perlu digarisbawahi bahwa mereka (anggota PHRI) sepakat tidak akan ada PHK," ucap Deddy di Sekretariat PHRI DIY, awal Juni 2025 kemarin.

Dia mengatakan kondisi ini tidak lepas dari imbas kebijakan efisiensi dari pemerintah. Sejalan dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025.

Menurut Deddy, kebijakan efisiensi secara langsung membuat okupansi hotel dan restoran merosot sampai 30 persen. Hal ini masih diperparah lagi dengan larangan study tour yang berlaku di beberapa daerah.

Deddy Pranowo Eryono

Ketua PHRI DIY, Deddy Pranowo Eryono saat ditemui di Sekretariat PHRI DIY. tirto.id/ Abdul Haris

Kabar baiknya, pada bulan Mei 2025, Deddy menyebut data hunian penginapan mencapai 75 persen. Angkanya naik dibanding tahun lalu, yang hanya mencapai 60 persen. Meski, hal ini tidak menjamin kondisi ideal ke depannya juga. Sebab pada Libur Natal dan Tahun Baru 2024, okupansi hotel menurun sekitar 10 hingga 20 persen, dibanding periode yang sama, tahun sebelumnya.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel berbintang di DIY, memang tidak begitu menyenangkan pada tahun 2025. Sempat menyentuh angka 56,84 pada Januari 2025, angkanya terus turun pada Februari (52,34) dan Maret (23,15).

Bulan April 2025 –data terakhir tersedia– angkanya mencapai 49,98. Angkanya membaik, namun terbukti tidak dapat meredam dirumahkannya sejumlah tenaga kerja.

Sebagai Ketua PHRI DIY, Deddy, berpendapat perlu ada perhatian khusus dari pemerintah daerah. Perhatian tersebut dapat berupa relaksasi pajak, keringanan biaya pembayaran PDAM, hingga tarif listrik. Hal itu,menurutnya, bisa mengurangi beban biaya operasional.

"Kami sudah berkirim surat soal itu sebulan yang lalu, tapi hingga saat ini belum ada tanggapan dari pemerintah kota maupun kabupaten," pungkasnya.

Deddy sangat menyayangkan hal ini. Sebeb, industri hotel dan restoran berkontribusi besar sebagai penyumbang pajak terbesar di Yogyakarta.

Deddy juga berharap pemerintah dapat meninjau kembali Inpres No. 1/2025 soal efisiensi dan pelarangan study tour. "Supaya kita tuh saturasinya normal kembali, Seluruh BPD PHRI di Indonesia punya sikap dan rasa yang sama dengan kebijakan ini," tegasnya.

Pekerja Masih Sulit Mendapat Panggilan, Pemda Coba Berbagai Peluang

Ana –bukan nama sebenarnya– salah seorang pekerja harian industri pariwisata di salah satu hotel berbintang di DIY, yang ikut terdampak. Ia mengaku dirumahkan oleh pihak hotel akibat okupansi yang menurun.

Hal itu juga sebenarnya sudah sempat tercium potensinya sejak akhir tahun lalu. Saat Libur Nataru 2024, shift-nya cenderung berkurang dibanding tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut berdampak langsung pada pendapatannya.

Saat ini, bahkan dalam tiga minggu terakhir, ia masih menantikan kabar baik; panggilan dari hotel untuk bekerja.

“Biasanya kalau hotel rame, pendapatanku jadi daily worker bisa lumayan lah. Bisa untuk ngirim ke kampung dan sisanya buat nabung. Tapi ini kerasa banget penurunannya, shift nggak padat kayak biasanya,” ujar sarjana pariwisata asal Kebumen, Jawa Tengah itu.

Kepada Tirto, dia menyampaikan harapan, agar industri pariwisata bisa kembali hidup. Dia menyebut mencari pekerjaan di sektor pariwisata di tengah efisiensi bukanlah hal mudah.

Hotel Royal Ambarukmo

Hotel Royal Ambarukmo, Salah satu hotel berbintang lima yang juga masuk dalam daftar anggota PHRI DIY. tirto.id/ Abdul Haris

Menanggapi kondisi yang terjadi, Kepala Dinas Pariwisata DIY, Imam Pratanadi, tidak menyangkal. Dia mengakui adanya pengurangan penggunaan hotel untuk kegiatan pemerintah akibat imbas efisiensi melalui Inpres No. 1/2025.

"Jumlahnya jauh menurun. Sebelum Inpres, kunjungan dan pemanfaatan hotel untuk kegiatan dinas sangat tinggi, sekarang sangat terbatas. Ini tentu jadi keprihatinan kita bersama," tanggap Imam, beberapa waktu lalu, kepada wartawan Abdul Haris, yang melaporkan untuk Tirto.

Namun, menurutnya masih ada peluang dari kunjungan-kunjungan dari DPRD provinsi tetangga. Misal kunjungan dari DPRD provinsi luar pulau, seperti dari Kalimantan atau Sumatra masih terjadi. Meski besarnya masih tidak sebanding dengan sebelum Inpres diterbitkan.

Imam Pratanadi

Kepala Dinas Pariwisata DIY, Imam Pratanadi saat diwawancarai mengenai okupansi hotel yang menurun di Kantor Dispar pada Kamis, 5 Juni 2025. tirto.id / Abdul Haris

Imam mengatakan, pemda juga bukannya tinggal diam. Mereka berupaya menyusun sejumlah strategi untuk memulihkan tingkat kunjungan wisatawan. Salah satu inisiatif mereka lewat kolaborasi antara penyelenggara event, perhotelan, penyedia transportasi (organda), dan asosiasi pariwisata; membuat paket menyatukan produk dengan harga khusus.

"Pasti bukan harga yang terus kemudian rugi ya, pasti untuk penyelenggaraan ekonomi kan harus untung. Tapi bagaimana bisa menyediakan harga yang baik untuk di-bundling-kan dengan event yang nantinya banyak orang yang datang ," jelasnya.

Tak ketinggalan, pemerintah juga terus mendorong promosi lewat kanal digital resmi seperti Visiting Jogja, Instagram, dan YouTube, kata Imam.

Dia juga mengungkapkan terdapat sejumlah peluang lain yang tidak kala potensial. Sektor wellness tourism misalnya, mulai digarap. Berkembangnya fasilitas kesehatan seperti ortopedi di DIY, menjadi potensi untuk menyumbang tingkat hunian hotel.

“Untuk ortopedi misalnya, ketika pasien datang, biasanya mereka membawa keluarga. Nah, keluarga yang menunggu ini kita pastikan mereka mendapatkan harga yang baik untuk menginap, sembari bisa memanfaatkan waktu untuk berkunjung ke destinasi wisata yang ada di Yogyakarta,” terangnya.

WISATA ALTERNATIF DI YOGYAKARTA

Pengendara sepeda motor melaju di kawasan Dobangsan, Giripeni, Wates, Kulon Progo, D.I Yogyakarta, Rabu (19/8/2020).ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/aww.

Selain itu ada juga peluang dari sektor pendidikan. Imam merinci ada lebih dari 100 perguruan tinggi di DIY. Mereka rutin menggelar wisuda yang menjadi momentum berkumpulnya keluarga mahasiswa. Pemerintah mengupayakan strategi bundling untuk mengaitkan momen wisuda dengan promo hotel dan wisata.

Sementara untuk menambal segmen study tour, komunitas masyarakat seperti kelompok PKK dan pedagang kecil bisa menjadi alternatif sementara.

Imam juga mendorong percepatan adaptasi kebijakan oleh pemerintah kota dan kabupaten di DIY untuk bisa menurunkan bantuan kepada pelaku usaha perhotelan dan restoran. PHRI bisa ambil peran dengan membagikan data harian okupansi hotel. Menurut dia, informasi tersebut bisa jadi dasar pertimbangan dalam membuat insentif atau kebijakan fiskal.

"Saya rasa ini perlu dikomunikasikan. Belum ada data yang valid dari PHRI, kepada pemerintah kabupaten maupun kota. Biar pembicaraan seperti ini tidak berlarut-larut," tuturnya.

Ia mencontohkan, seperti halnya PLN yang hanya bisa menurunkan abodemen listrik bila ada bukti penurunan aktivitas yang signifikan. Hal serupa bisa berlaku untuk hotel.

Dia juga menambahkan, kekuatan ekonomi wisatawan yang menurun mengakibatkan mereka memilih penginapan yang lebih murah. Kondisi ini menjadi perhatian serius, terutama bagi Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Sebab di dua wilayah tersebut kontribusi PDRB-nya sangat tergantung dari sektor akomodasi dan kuliner.

Tebing Breksi

Tebing Breksi sleman, yogyakarta. foto/istockphoto

Pengamat Sepakat Kebijakan Efisiensi Perlu Tinjauan Ulang

Pengamat ekonomi dari Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, mengatakan penurunan tingkat hunian hotel terjadi di banyak daerah di Indonesia. Secara makro, hampir seluruh daerah—kecuali DKI Jakarta—masih sangat bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Kalau kebijakan efisiensi ini diterapkan merata, akan berdampak langsung pada daerah yang lemah secara ekonomi, apalagi sektor perhotelan sangat bergantung pada okupansi dari kegiatan pemerintah,” ujarnya kepada kontributor Tirto, Jumat (14/6/2025).

Ia menambahkan hotel kerap dianggap sebagai bagian dari ekosistem pembangunan daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor hotel dan restoran merupakan salah satu yang tertinggi, terutama di daerah non-tambang. Sehingga, ketika efisiensi anggaran pemerintah memotong kegiatan-kegiatan yang sebelumnya dilaksanakan di hotel, imbasnya langsung terasa, Aditya menambahkan.

Liburan ke Jogja

Liburan ke Jogja. foto/istockphoto

Kondisi ini pernah terjadi saat pandemi Covid-19. Aditya mengatakan, kala itu masih ada upaya perlindungan tenaga kerja, pendekatan pengurangan jam kerja ketimbang PHK, misalnya. Namun kini, langkah efisiensi lebih sering berujung pada pemutusan hubungan kerja tanpa skema perlindungan yang memadai.

“Kalau dirumahkan tapi tidak bekerja, artinya tetap harus ada kompensasi. Dia bukan sakit, bukan mangkir, tapi diposisikan tidak bekerja oleh manajemen. Dia punya keluarga, tanggungan, bahkan tetap membayar BPJS,” ujarnya.

Dia menyebut, merujuk UU Ketenagakerjaan, pekerja yang di-PHK semestinya menerima pesangon 60 persen dari gaji, selama enam bulan. Namun, di lapangan, implementasi hal tersebut masih jauh dari ideal.

House of Raminten resto Jogja

House of Raminten resto Jogja. Foto/raminten

Aditya juga menyinggung keberadaan Satgas PHK yang semestinya hadir menjadi pengawas sekaligus mediator di tengah gelombang efisiensi. Namun, fungsinya dianggap tidak optimal.

“Kebijakan ini terlihat sepihak. Padahal ada dewan pengupahan, ada Satgas PHK. Stakeholder ini mestinya duduk bersama untuk merumuskan kebijakan, bukan malah membiarkan kebijakan nasional mengalir tanpa kontrol di daerah,” tambahnya.

Yogyakarta sebagai pusat pariwisata nasional menjadi contoh nyata yang merasakan dampak efisiensi lembaga pemerintahan. Sebagai kota yang bergantung pada pariwisata dan pelayanan publik, pembatasan kegiatan lembaga pemerintahan di hotel berdampak langsung terhadap tingkat hunian dan keberlangsungan usaha.

Selain faktor kebijakan nasional, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKP Yogyakarta itu, menyoroti gejolak global yang juga ikut memukul sektor perhotelan.

Penghentian pendanaan dari lembaga donor USAID, juga berdampak pada industri perhotelan. Sebab, kegiatan lembaga-lembaga donor tersebut juga turut menjadi bagian dari aktivitas yang menopang okupansi hotel.

Oleh karena itu, Dia mendorong agar kebijakan efisiensi pusat ditinjau ulang dan pemerintah daerah ikut menyempurnakan dengan langkah-langkah mitigasi yang lebih berpihak pada pekerja.

“Kalau mau PHK, ikuti aturan. Kalau dirumahkan, beri kompensasi. Kalau sudah keluar, sediakan lapangan kerja baru, pelatihan, atau minimal subsidi sosial. Kalau tidak, ini bukan hanya krisis ekonomi, tapi juga krisis keadilan,” tegasnya.

Baca juga artikel terkait PARIWISATA atau tulisan lainnya dari Abdul Haris

tirto.id - News
Kontributor: Abdul Haris
Penulis: Abdul Haris
Editor: Alfons Yoshio Hartanto