tirto.id - Memasuki pertengahan tahun 2025, pariwisata di Bali mulai menggeliat naik. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, wisatawan mancanegara yang datang langsung ke Bali pada bulan April 2025 tercatat sebanyak 591.221 kunjungan, naik 25,56 persen dibandingkan bulan sebelumnya yang mencatatkan angka 470.851 kunjungan.
Geliat itu lantas tercermin dari Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel berbintang pada bulan April 2025 yang tercatat sebesar 57,23 persen, naik setinggi 10,62 persen poin jika dibandingkan dengan bulan Maret 2025 yang tercatat sebesar 46,61 persen. Hunian untuk hotel non-bintang berada di angka 41,86 persen atau naik 6,15 persen dibandingkan Maret 2025.
Tren positif pariwisata Bali juga ditunjukkan oleh data milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali yang menyebut kunjungan wisatawan mancanegara sepanjang 2024 berada di angka 6,4 juta dan domestik berjumlah 9,5 juta dengan kontribusi seluruhnya untuk perekonomian Bali sebesar 66 persen. Untuk wisatawan mancanegara, angka tersebut diprediksi meningkat hingga 7 juta kunjungan pada Desember 2025, yang akan menyalakan lagi perekonomian Bali.
Namun, mendadak angin dingin berembus di tengah geliat pariwisata. Dinas Ketenagakerjaan dan ESDM (Disnaker ESDM) Provinsi Bali mengungkap ada 100 pekerja di sektor pariwisata yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) mulai dari awal tahun hingga Juni 2025. Pekerja tersebut dominan ada di sektor hotel dan restoran yang kebanyakan berasal dari Kabupaten Badung. Hal ini merupakan imbas dari efisiensi anggaran pemerintah.
Kepala Disnaker ESDM Provinsi Bali, Ida Bagus Setiawan, menduga masih banyak pekerja terkena PHK yang tidak tercatat atau dilaporkan ke Disnaker setempat. Saat ini, dia mendorong kabupaten dan kota untuk melakukan inventarisasi atau penyesuaian dengan data BPJS Ketenagakerjaan.
“Di Bali, ketika ada PHK satu saja, itu masalah. Karena pariwisata sedang menggeliat, naik okupansi juga cukup tinggi. Kalau sampai ada PHK menjadi sebuah anomali, tetapi yang tercatat memang baru di 100 sekian,” ungkap Setiawan di Gedung DPRD Provinsi Bali, Selasa (10/6/2025).
Kondisi ekonomi global menjadi sebab lain terhadap pengurangan tenaga kerja. Namun, efisiensi tetap ambil kontribusi besar. Meskipun Menteri Dalam Negeri (Mendagri) memperbolehkan pemerintah daerah menggelar rapat di hotel, tetapi Setiawan menilai kondisi hotel dan restoran yang terimbas efisiensi tidak dapat pulih secara instan.
“Kembali lagi, dianggarkan atau enggak? Karena anggaran tidak bisa seketika dilakukan perubahan,” sambungnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian dan Ketenagakerjaan (Disperinaker) Kabupaten Badung, I Putu Eka Merthawan, mendetailkan bahwa terdapat 117 pekerja di Badung yang terkena PHK selama periode Januari hingga Mei 2025. Di luar itu, terdapat tambahan 70 pekerja pabrik Coca Cola yang terkena PHK, per minggu kedua Juni 2025.
“Sektor paling banyak di industri pariwisata, hotel non-bintang. Di Kecamatan Kuta dan Kuta Utara terbanyak,” kata Eka ketika dihubungi Tirto, Jumat (13/6/2025).
Eka mengatakan bahwa kondisi ekonomi tempat usaha yang tidak sehat adalah salah satu masalah utama yang sering dikeluhkan oleh pelaku industri. Masalah ini terjadi karena jumlah pengunjung menurun, sehingga produksi ikut menurun dan pendapatan pun berkurang.
“Karena tamu yang datang berkurang. Salah satu penyebabnya adalah ada efisiensi. Kemudian juga ada pembatasan dari beberapa daerah, tidak memperkenankan studi banding untuk anak-anak, dan sebagainya,” jelasnya.
Hotel non-bintang dan restoran menerima dampak terbesar dikarenakan segmen pasarnya berasal dari wisatawan domestik. Eka menambahkan, berbanding terbalik, hotel berbintang tidak terlalu terkena dampak karena masih mempunyai pasar internasional.
“Fenomena sekarang ini adalah wisatawan beralih ke tempat yang tidak terdata, artinya yang hotel bodong, vila bodong. Larinya ke sana. Yang PHK, yang resmi-resmi semua, sudah tercatat. Jika tidak resmi, tidak tercatat, tidak bayar pajak, itu seenaknya dia,” beber Eka, terkait masalah lainnya soal pendataan PHK.
Ia mengatakan belum bisa memastikan sampai kapan gelombang PHK di sektor pariwisata akan terus terjadi. Menurutnya, situasi global yang makin sulit diprediksi ikut memengaruhi kondisi ini. Perusahaan-perusahaan pun sedang diuji ketahanannya, baik dari segi jumlah kunjungan wisatawan maupun tingkat produksinya.
“Itu eksesnya yang kita cari sekarang dan berisiko menimbulkan pengangguran terbuka dan kemiskinan ekstrem. Dulu dia bekerja dan mendapatkan upah, sekarang sama sekali tidak bekerja. Itu menimbulkan kemiskinan ekstrem,” katanya.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali membenarkan sepinya kegiatan meeting, incentive, convention and exhibition (MICE) berbuah PHK tenaga kerja di sektor pariwisata di Bali. Menurut Wakil Ketua PHRI Bali, I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya, industri MICE sempat mengalami kematian di tengah gempuran efisiensi anggaran dan pembatasan dari pemerintah daerah (pemda).
Dia menyebut, angka wisatawan yang datang untuk berlibur ke Bali sudah menanjak, berhubung sudah memasuki musim liburan. Namun, ada penurunan pesanan akomodasi untuk pertemuan dan konferensi. Ia menjabarkan, di Bali, sebanyak 70 persen wisatawan datang untuk berlibur, sementara MICE menyumbang 30 persen sisanya.
"Bali ini masih tertolong dengan banyaknya wisatawan asing yang datang. International tourist-nya bagus, masih 18 ribu per hari dengan 43 penerbangan setiap hari. Beda dengan kota-kota besar, MICE-nya turun drastis, hampir 70 persen," kata Rai di sela acara ‘Bali and Beyond Travel Fair 2025’ (BBTF), Rabu (11/06/2025).
Rai mengatakan gelombang PHK seharusnya tidak terjadi di Bali. Sebab tingkat hunian hotel sudah ada yang mencapai 80 persen. Menurut hitungannya hotel yang memiliki tingkat hunian di atas 60 persen sudah dapat menghasilkan keuntungan (profit). Dia juga menyoroti kebijakan Kemendagri terkait izin menggelar rapat dan kegiatan di hotel, yang jadi angin segar bagi insan pariwisata.
"Khususnya bisnis MICE, ini akan bisa meningkat lagi. Di samping itu, ini tentu membantu okupansi dari hotel. Multiplyer effect-nya dari bisnis MICE ini akan sangat luar biasa dampaknya, khususnya terhadap UMKM kita," tambahnya.
Anomali di Tengah Naiknya Pendapatan Pajak
Gubernur Bali, Wayan Koster, mengerutkan dahi ketika mendengar adanya PHK di sektor pariwisata. Tingginya kunjungan wisatawan dan okupansi hotel di Bali membuatnya heran akan fenomena tersebut. Menurutnya, pajak hotel dan restoran pada tahun 2025 pun mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2024.
“Ini menurut saya aneh. Enggak mungkin untuk hotel. Tingkat hunian hotelnya sekarang itu terburuk 57 persen, ini sensusnya BPS. Kalau hotel-hotel seperti Nusa Dua, Sanur, Ubud, itu (okupansinya) 70 persen, bahkan 80 sampai 90 persen,” ucap Koster saat konferensi pers BBTF, Kamis (12/06/2025).
Koster curiga narasi gelombang PHK sektor pariwisata di Bali hanyalah isu belaka. Untuk itu, dia meminta Ketua Bali Tourism Board (BTB), Ida Bagus Agung Partha Adnyana, untuk memeriksa kebenaran informasi PHK di sejumlah hotel yang ada di Bali.
“Ini pasti gosip-gosip orang yang sakit hati atau apa gitu. Saya kira gosip saja ini. Saya pastikan enggak. PHK untuk (sektor pariwisata) di Bali saya kira enggak. Mungkin di luar pariwisata ada,” imbuhnya.
Ajang BBTF 2025, pada 11-13 Juni, diharapkan dapat memacu lagi sektor pariwisata, yang jadi tulang punggung Pulau Dewata. Ada potensi transaksi mencapai Rp7,84 triliun dari gelaran tersebut. Melihat hal tersebut, menurut Koster, pemerintah pusat dapat memberikan insentif bagi daerah yang berkontribusi besar di sektor pariwisata agar semakin gerilya memacu sektor tersebut.
“Nanti kita kumpul para kepala daerah yang memiliki destinasi pariwisata, supaya pemerintah pusat memberikan insentif kepada daerah-daerah yang berkontribusi di bidang pariwisata, terutama yang berkaitan dengan infrastruktur dan kelestarian ekosistem alam dan budaya,” ungkapnya.
Sependapat, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Association of the Indonesian Tours and Travels Agencies (ASITA) Bali, I Putu Winastra, menyebut pihaknya belum melihat adanya PHK di sektor pariwisata. Meskipun industri MICE terdampak karena efisiensi dari pemerintah, Bali masih memiliki pasar wisatawan mancanegara yang besar.
“Kalau kita berbicara MICE, cenderung di Nusa Dua yang mempunyai meeting room yang besar. Di Ubud, Bangli, Karangasem, Tabanan, dan Singaraja, itu enggak punya meeting room yang besar. Jadi ketika ada efisiensi, itu tidak terlalu berpengaruh,” ucap Winastra ketika ditemui Tirto di sela acara BBTF, Kamis (12/06/2025).
Winastra menilai ajang BBTF sendiri turut membantu meringankan efek dari lesunya perekonomian dan menyokong tenaga kerja pariwisata Bali. Terdapat 529 buyer dari 45 negara dan 499 seller dari 284 perusahaan yang ambil bagian dalam acara tersebut, sehingga sekaligus mempromosikan wisata Indonesia ke mata dunia.
“Secara tidak langsung membantu karena ini (BBTF) bisa membawa tamu ribuan ke Indonesia. Tidak langsung ke customer, tetapi ke perusahaan atau travel-nya,” imbuhnya.
Menteri Pariwisata (Menpar), Widiyanti Putri Wardhana, turut merespons isu gelombang PHK di sektor pariwisata Bali. Saat ini, Kementerian Pariwisata sedang mengkaji isu tersebut, sebab Bali menjadi pusat destinasi di Indonesia dengan menyumbang 44 persen dari tourism international foreign exchange (devisa pariwisata) Indonesia.
"Kami memahami bahwa beberapa bulan ini ada penurunan okupansi hotel, (akibat) dari penyesuaian pola penghematan pemerintah. Tapi Kemendagri telah mengeluarkan imbauan bahwa Pemda dapat mulai meeting, melakukan event di hotel-hotel. Jadi kami harap okupansi dan pendapatan MICE akan membaik," kata Widiyanti pada konferensi pers BBTF 2025, Rabu (11/6/2025).
Widiyanti menyebut pemerintah pusat telah memberikan insentif dan diskon perjalanan, seperti diskon tiket pesawat, kereta, kapal, dan tol. Harapannya perjalanan wisatawan ke Bali, khususnya yang domestik, dapat pulih kembali.
"Kita lihat bahwa keadaan akan membaik, sehingga orang-orang yang dirumahkan bisa kembali bekerja," harapnya.
Secercah Harapan di Tengah Gelombang PHK
Gelombang PHK terhadap lebih dari 100 orang pekerja di sektor pariwisata menjadi ironi di tengah tren positif pemulihan ekonomi pariwisata. Apalagi indikator pajak hotel dan restoran mengalami peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Undiknas Denpasar, Ida Bagus Raka Suardana, menyebut adanya PHK menunjukkan bahwa pertumbuhan belum merata atau tidak sepenuhnya terserap oleh tenaga kerja lokal.
“Kemungkinan besar, PHK tersebut terjadi karena efisiensi operasional, perubahan struktur bisnis, atau peralihan ke model kerja yang lebih padat modal dan teknologi. Ini menjadi sinyal penting bahwa meskipun ekonomi menggeliat, kerentanan tenaga kerja di sektor pariwisata masih tinggi,” terang Raka saat Tirto hubungi, Kamis (12/6/2025).
Efek efisiensi dan penurunan kunjungan wisatawan lebih terasa di hotel non-bintang dan restoran, karena mereka sangat bergantung pada tamu harian serta tamu domestik. Tekanan efisiensi operasional yang dirasakan berdampak pada margin keuntungan yang tipis, sehingga mereka harus merumahkan karyawan untuk menekan biaya.
“Hotel non-bintang dan restoran tidak memiliki cadangan finansial seperti hotel bintang besar, sehingga lebih cepat terdampak saat omset turun,” jelasnya.
Raka juga menyambut positif kebijakan Mendagri yang membolehkan instansi pemerintah menggelar rapat dan konferensi di hotel dan restoran. Lini usaha tersebut –secara khusus yang ada di Bali– bisa memperoleh peluang tambahan selain dari wisatawan.
“Hal itu membantu menciptakan okupansi yang lebih stabil, memperluas peluang kerja, serta mendorong konsumsi jasa pendukung, seperti catering, transportasi, dan penyedia logistik acara. Jika dikelola dengan transparansi dan efisiensi, kebijakan itu bisa menjadi instrumen fiskal yang mendukung pemulihan sektor jasa secara berkelanjutan,” bebernya.
Adanya PHK, menurut Raka, menjadi sinyal bagi pemerintah daerah untuk segera memikirkan kebijakan jangka panjang. Inisiatif itu mencakup; diversifikasi model bisnis pariwisata, peningkatan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan adaptif, serta insentif bagi pelaku usaha yang mempertahankan tenaga kerja lokal.
“Pemerintah juga perlu mengembangkan ekosistem pariwisata yang lebih tangguh melalui digitalisasi, penguatan pariwisata domestik, serta penataan sistem hubungan industrial yang menjamin perlindungan pekerja. Kolaborasi antara pemerintah, asosiasi pengusaha, dan serikat pekerja sangat penting untuk menciptakan stabilitas tenaga kerja di sektor ini,” tambahnya.
Sementara itu, untuk hotel non-bintang, Raka menyarankan diversifikasi segmen tamu dengan menyasar pasar lokal, workcation, atau long-stay dengan paket inklusif. Hotel-hotel tersebut juga dapat melakukan kolaborasi dan promosi bersama dengan asosiasi lokal dan UMKM untuk promosi paket staycation.
“Manfaatkan insentif pemerintah dengan mengajukan keringanan pajak, subsidi upah, dan program pelatihan dari Disperinaker, serta melaksanakan pelatihan ulang staf agar bisa multifungsi dan meningkatkan fleksibilitas tenaga kerja,” jelasnya.
Sementara Pengamat Pariwisata, I Made Bayu Wisnawa, menganggap PHK di sektor pariwisata merupakan ironi yang harus dicermati secara kritis. Tanda-tanda pemulihan pariwisata di Bali memang sudah terlihat, tetapi gelombang PHK yang terjadi merupakan cermin ketidakseimbangan antara pemulihan permukaan (surface recovery) dan kondisi kelembagaan dan manajemen sumber daya manusia di lapangan.
"Bisa jadi mencerminkan bahwa pemulihan pariwisata belum berjalan berkelanjutan. Efisiensi operasional yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk menyesuaikan diri dengan pola permintaan baru, transformasi digital dalam pelayanan –yang mengurangi kebutuhan tenaga kerja konvensional, atau pergeseran struktur bisnis yang belum berpihak pada pekerja lokal," jelas Bayu kepada Tirto, Jumat (13/6/2025).
Bayu juga punya pandangan sendiri soal anomali pariwisata di Bali belakangan. Jumlah wisatawan memang mengalami peningkatan, tetapi menurut dia, mereka cenderung menginap di fasilitas akomodasi lainnya, seperti homestay, guest house, capsule hotel, dan vila. Pengetatan anggaran oleh pemerintah jadi katalis pelengkapnya.
"Meskipun jumlah wisatawan mulai naik, hal ini tidak serta merta menjamin stabilitas pekerjaan karena banyak perusahaan mungkin masih dalam tahap konsolidasi keuangan atau belum mencapai titik impas (break-even point)," ungkapnya.
Secara keseluruhan, Bayu menilai pariwisata di Bali sedang dalam fase transisi menuju pemulihan penuh. Bangkitnya sektor leisure tourism (wisata) dan MICE jadi indikasi awalnya.
Dia juga menyoroti sektor leisure tourism. Terjadi perubahan perilaku wisatawan yang kini lebih tertarik pada pengalaman autentik, berkelanjutan, dan berbasis komunitas. Pelaku industri harus menyesuaikan produk dan layanan mereka agar tetap relevan.
"Sementara untuk sektor MICE, masih terdapat tantangan berupa anggaran yang terbatas dari berbagai institusi serta adopsi format hybrid yang mengurangi intensitas kebutuhan tatap muka secara langsung," terangnya.
Bayu menyatakan bahwa langkah pertama untuk mencegah gelombang PHK kembali terjadi di sektor pariwisata Bali adalah meningkatkan kemampuan adaptasi industri perhotelan. Adaptasi ini terutama penting terhadap berbagai perubahan, termasuk melalui pemanfaatan teknologi digital dan penguatan manajemen krisis.
Mengutip studi dalam International Journal of Applied Sciences in Tourism and Events, Bayu mengatakan, pelaku pariwisata yang mengadopsi teknologi seperti sistem reservasi online, event hybrid, dan promosi digital, lebih mampu bertahan dalam situasi yang tidak menentu. Sementara manajemen krisis diperlukan agar industri pariwisata lebih siap menghadapi gangguan pasar seperti pandemi atau pembatalan massal agenda pemerintahan.
"Langkah kedua adalah membangun sistem pengelolaan sumber daya manusia yang lebih berkelanjutan dan berpihak pada kesejahteraan karyawan. Dengan memperlakukan tenaga kerja bukan hanya sebagai bagian dari operasional, tetapi sebagai aset jangka panjang, perusahaan akan lebih terdorong untuk mempertahankan mereka di masa sulit, ketimbang mengambil jalan pintas berupa PHK," tutur Bayu.
Terakhir, menurut Bayu, Bali perlu melakukan diversifikasi produk, seperti mengembangkan desa wisata dan ekowisata, serta memberdayakan UMKM lokal yang mendukung kegiatan MICE. Hal ini dikarenakan ketergantungan pada agenda pemerintah untuk konferensi dan rapat di luar kantor membuat industri menjadi rentan terhadap dinamika kebijakan pusat.
"Dengan membangun sistem yang lebih inklusif dan beragam, sektor pariwisata Bali akan memiliki ketahanan yang lebih kuat terhadap krisis dan mampu menciptakan lapangan kerja yang lebih stabil," tutupnya.
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Alfons Yoshio Hartanto